Resahnya Generasi Muda, Tanda Bumi Tidak Baik-baik Saja
Kaum muda terancam tidak punya Bumi yang layak huni di masa depan jika kerusakan lingkungan terus terjadi. Agar itu tak terjadi, mereka pun turun tangan menanganinya.
Walau kadang tampak santai dan urakan, hati pemuda-pemudi sebetulnya sedang resah. Sampah berserakan sampai mencemari tanah serta air, dan orang-orang masih suka tak peduli soal ini. Kaum muda pun sadar: daripada mengharapkan orang lain, lebih baik kami saja yang bergerak!
Saat mendaki Gunung Rinjani 10 tahunan silam, Siska Nirmala (36) gelisah melihat salah satu tempat kesukaannya itu dipenuhi sampah. Masalah ini terus mengganggu pikirannya.
Siska berbicara dengan salah satu temannya, lantas disarankan untuk mencoba mendaki gunung sekali lagi. Kali ini, pendakian harus menghasilkan sampah sesedikit mungkin. Kalau bisa, nol sampah. Ide ini menjadi proyek pribadi Siska yang dinamai Ekspedisi Nol Sampah atau Zero Waste Adventure. Ekspedisi ini pertama kali diwujudkan di Gunung Gede, Jawa Barat, pada 2013.
Ekspedisi Nol Sampah dilanjutkan hingga beberapa tahun setelahnya. Dalam tiga tahun, Siska mendaki lima gunung sambil berupaya nyampah sesedikit mungkin.
”Habis lima kali mencoba (mendaki gunung) dengan konsep minim sampah, ternyata ini bisa dilakukan. Terjawab sudah kegelisahanku,” kata Siska melalui sambungan telepon, Jumat (2/6/2023).
Baca juga: Siska Nirmala Bertualang Kampanye Nol Sampah
Perjalanan mendaki gunung itu lantas ditulis menjadi buku yang dicetak mandiri berjudul Zero Waste Adventure. Buku tersebut dicetak kembali oleh Elex Media Komputindo dengan judul Zero Waste Adventure(Ekspedisi Pendakian Lima Gunung Tanpa Menghasilkan Sampah). Konsep Ekspedisi Nol Sampah lantas jadi bahan diskusi berbagai komunitas, organisasi, individu, bahkan diadopsi oleh mereka. Aturan pembatasan dan bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan tiap pendaki ini pun diterapkan oleh sejumlah pengelola jalur dan lokasi pendakian.
Konsep nol sampah ini merambat ke gaya hidup Siska. Sebisa mungkin ia belanja tanpa sampah dengan membawa wadah atau tas kain sendiri, menghindari beli barang baru, serta menghindari beli makanan atau minuman kemasan.
Gaya hidup ini juga bermuara ke toko kelontong Nol Sampah yang didirikan Siska pada 2020 di Bandung. Toko ini menjual berbagai bahan makanan, bumbu, dan kebutuhan rumah tangga curahan. Pembeli tinggal membawa wadah dari rumah untuk menampung barang belanjaannya.
Di rumah, mantan wartawan ini berupaya mengolah sampah dengan memilah sampah dan membuat komposter. Cara ini ditularkan kepada keluarganya. Setelah bertahun-tahun, ibu dan kakaknya mulai mengadopsi cara ini.
”Prosesnya lama (untuk mengajarkan keluarga). Tiga tahunan setelah aku zero waste di rumah, mama mulai punya komposter,” ucapnya. ”Rasanya mau edukasi orang-orang terdekat. Tapi, mereka tidak bisa langsung berubah. Aku sambil belajar mengedukasi tanpa menggurui,” tambahnya.
Agen perubahan
Sementara itu, bagi warga Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Wa Ode Sri Andriani (27), dan warga Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Rahmat Al Amin (22), kaum muda bisa jadi agen perubahan. Itu sebabnya mereka bergabung dengan organisasi lingkungan World Cleanup Day (WCD) Indonesia untuk menambah wawasan soal lingkungan dan memperluas jaringan.
Aku sambil belajar mengedukasi tanpa menggurui.
Bersama puluhan kaum muda lain di seluruh provinsi, keduanya berkumpul di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk mengikuti pembekalan selama empat hari untuk kader-kader WCD Indonesia. Ada sejumlah lokakarya dan diskusi dalam acara bernama Leaders Academy ini. Salah satu hal yang dipelajari adalah pengolahan sampah. Mereka diharapkan bisa berbagi ilmu dan pengalaman saat kembali ke daerah masing-masing.
Wa Ode, atau yang kerap dipanggil Arin, berencana pesiar sambil belajar ke beberapa tempat setelah lokakarya selesai. Menurut Arin, ia mesti banyak belajar agar bisa pulang membawa oleh-oleh ilmu untuk teman-temannya.
Baca juga: 13 Juta Sukarelawan Diajak Bersih-bersih Sampah
”WCD di Muna kebetulan mau regenerasi. Saya mau lanjutkan ilmu ini ke adik-adik di sana,” kata Arin yang juga Leader WCD Indonesia Kabupaten Muna.
Ia merasa perlu lebih banyak orang yang bergerak menangani isu sampah. Sebab, masih banyak orang di kabupatennya yang buang sampah sembarangan. Di sisi lain, tidak banyak tempat pengolahan sampah di sana. Jika dibiarkan, sampah bakal menumpuk, lalu terlepas ke lingkungan dan menjadi polutan yang berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup.
Adapun Rahmat berencana menyebarkan ilmu yang didapat dari lingkungan terdekat dulu, seperti keluarga dan lingkungan kampus. Ia tidak mau bermimpi muluk-muluk untuk mengubah masyarakat agar sadar lingkungan. Menurut dia, hal itu bisa dicapai jika ada agen-agen perubahan yang konsisten bersuara dan beraksi. Dalam aksi itu, anak muda memegang peranan penting.
”Peran anak muda di semua bidang sebenarnya penting. Kalau bukan anak muda, siapa lagi? Kita bisa menyuarakan (aspirasi) ke pemerintah, atau mungkin mengajak mereka berkontribusi agar tidak melulu fokus di kantor,” kata Rahmat.
Baca juga: Anak Muda Peduli Lingkungan
Relevan
Kepedulian kaum muda sebetulnya timbul karena isu lingkungan relevan dengan masa depan mereka. Bumi hanya ada satu, tetapi kini kondisi Bumi tidak baik-baik saja. Bumi terancam tak layak huni di masa depan jika kerusakan terus terjadi. Mau tak mau, kaum muda mesti turun tangan.
Beberapa pihak menilai, generasi muda lebih mudah ”dibentuk” untuk peduli lingkungan dibandingkan dengan generasi senior. Kaum muda juga dinilai lebih bisa mencari peluang di balik masalah sampah, misalnya dengan membuat bank sampah dan membangun start up persampahan.
Sampah ini masalah mental.
Ada lagi kaum muda yang beramai-ramai bergerak dengan membersihkan sungai, pantai, atau perkotaan dari sampah. Aksi bersih-bersih ini bakal dilaksanakan lagi pada September 2023 di ajang WCD Indonesia di seluruh provinsi.
”Sampah ini masalah mental,” ucap Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan, dan Prestasi Olahraga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Maman Wijaya. ”Dalam revolusi mental, yang terpenting adalah aksi nyata. Peran kalian (kaum muda) adalah aksi nyata dari revolusi mental,” tambahnya.
Sekali lagi, beban berat tertumpu di pundak anak muda. Semoga punggung kita tetap tegak.