Gaya Hidup Sehat sejak Dini Tekan Risiko Penyakit Jantung
Faktor risiko penyakit jantung dapat dicegah dengan menerapkan gaya hidup sehat. Mengurangi makanan tinggi lemak, garam, dan gula serta tidak merokok merupakan salah satu cara menjauhkan penyakit jantung di masa depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit jantung masih menjadi salah satu penyebab utama kematian di Indonesia. Gaya hidup tidak sehat, seperti merokok, malas bergerak, dan konsumsi makanan minim nutrisi, meningkatkan risiko penyakit ini. Untuk mencegahnya, kesadaran publik untuk menjalani gaya hidup sehat sejak dini mesti ditingkatkan.
Ketua Yayasan Jantung Indonesia Esti Nurjadin mengatakan, penyakit jantung tidak hanya dialami orang lanjut usia, tetapi juga bisa menyerang orang muda. Mengutip laman Kementerian Kesehatan, prevalensi serangan jantung pada kelompok usia kurang dari 40 tahun meningkat 2 persen di periode 2000-2016.
”Penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit jantung koroner, terjadi karena gaya hidup (tidak sehat). Penyebab penyakit jantung koroner ini bisa dari rokok, hipertensi, gula, dan kolesterol. Dengan gaya hidup sehat, kita sebetulnya bisa menghindari penyakit jantung koroner,” kata Esti di Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Ia menambahkan, penyakit jantung sejatinya terjadi karena banyak faktor. Misalnya, seseorang yang tidak merokok tetap rentan mengalami penyakit jantung jika ia tidak rutin berolahraga. Orang yang rutin berolahraga pun tetap bisa kena penyakit jantung jika setelahnya ia merokok atau tidak menjaga pola makan sehat.
Selain gaya hidup sehat, manajemen stres dan istirahat yang cukup pun penting untuk menghindari penyakit jantung. Menurut Esti, hal ini kerap dilupakan masyarakat.
Penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit jantung koroner, terjadi karena gaya hidup (tidak sehat).
“Kadang kita merasa olahraga saja sudah cukup, atau menjaga makan saja sudah cukup. Padahal tidak begitu. Bahkan kalau mau olahraga, kita harus tidur cukup semalam sebelumnya, setidaknya enam jam,” tutur Esti.
Menurut dokter spesialis jantung di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, Ario Soeryo Kuncoro, konsumsi makanan bergizi seimbang dapat mengurangi risiko penyakit jantung. Asupan makanan ke tubuh pun mesti diperhatikan. Sebab, sebagian makanan Indonesia memiliki kandungan garam, lemak, dan gula yang tinggi.
Kementerian Kesehatan mengeluarkan panduan makan bergizi seimbang melalui konsep Isi Piringku. Pada dasarnya, satu piring dibagi menjadi tiga bagian yang sama besar. Bagian pertama berisi makanan pokok atau karbohidrat. Bagian kedua sayuran. Bagian ketiga berisi protein dan buah.
“Intinya seimbangkan gizi, enyahkan rokok, hindari stres, ukur tekanan darah, dan olahraga secara teratur. Jika ini dilakukan, kita melakukan (tindakan) preventif) lengkap untuk mengurangi faktor risiko penyakit jantung,” kata Ario.
Adapun gaya hidup sehat sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Yayasan Jantung Indonesia pun mengkampanyekan gaya hidup sehat ke berbagai kalangan, mulai dari sekolah hingga area perkantoran.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia adalah 0,5 persen. Angka ini naik menjadi 1,5 persen pada 2018. Adapun berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, sebanyak 17,9 juta orang di dunia meninggal karena penyakit jantung.
Tingginya angka penyakit jantung berpengaruh ke tingginya biaya kesehatan yang dikeluarkan negara. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2020 menunjukkan penyakit jantung menjadi penyakit dengan biaya terbesar, yakni Rp 10,3 triliun. Penyakit jantung masih menjadi beban biaya terbesar BPJS Kesehatan pada 2021 dengan angka mencapai Rp 7,7 triliun.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyatakan, BPJS Kesehatan menggelontorkan dana Rp 9,7 triliun per tahun untuk menangani penyakit jantung di Indonesia.
Upaya promotif dan preventif kesehatan pun dilakukan agar masyarakat terhindar dari masalah kesehatan, termasuk penyakit jantung. Salah satu upaya itu adalah dengan memberi label nilai gizi di kemasan makanan dan minuman.
”Aturan ini juga akan diperluas pada makanan siap saji. Saat ini sedang disusun peraturan menteri kesehatan yang mewajibkan untuk menampilkan kadar gula, lemak, dan garam di dalam makanan siap saji. Diharapkan bisa memberikan pengingat kepada masyarakat untuk terus memantau konsumsi gula, garam, dan lemak mereka,” ucap Dante (Kompas.id, 19/1/2023).