Mengurangi Ancaman Kebakaran di Tengah Potensi El Nino
Tahun ini Indonesia diprediksi mengalami El Nino yang berdampak terhadap penurunan curah hujan. Kesiapsiagaan terhadap ancaman kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah perlu terus disiapkan.
Indonesia merupakan negara dengan posisi geografis yang sangat kompleks dipengaruhi oleh berbagai macam faktor atmosfer, baik di skala lokal, regional, maupun global. Posisi Indonesia yang berada di ekuator antara dua benua dan dua samudra menyebabkan negara ini juga memiliki pola cuaca dan iklim yang sangat dinamis.
Beberapa fenomena atmosfer global yang terjadi dalam skala tahunan turut memengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia, yakni La Nina dan El Nino. Secara umum, La Nina terjadi ketika suhu muka laut mengalami pendinginan hingga di bawah suhu normalsehingga menyebabkan peningkatan curah hujan di sejumlah tempat di Indonesia.
Sebaliknya, El Nino terjadi ketika suhu permukaan air menjadi lebih hangat dari biasanya. Hal ini berdampak terhadap penurunan curah hujan dan peningkatan kemarau yang lebih panjang. Akan tetapi, penurunan curah hujan ini juga tergantung dari intensitas, waktu atau musim yang berlangsung, dan kombinasi dengan faktor lainnya.
KLHK akan melakukan supervisi terkait kesiapsiagaan dari pemegang izin konsesi untuk melihat sejumlah persyaratan dalam upaya pencegahan karhutla.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, Indonesia mengalami El Nino pada 2019, 2015, dan 2010. Pada 2015 dan 2019, fenomena El Nino cukup ekstrem hingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang cukup besar. Tercatat luas karhutla pada 2015 mencapai 2,6 juta hektar dan 1,6 juta hektar pada 2019.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Radjab dalam webinar terkait antisipasi El Nino dan kekeringan, pekan lalu, menyampaikan, tahun ini Indonesia kembali berpotensi mengalami El Nino setelah tiga tahun terakhir berada dalam periode La Nina. Periode La Nina ini berdampak terhadap peningkatan curah hujan di sejumlah wilayah.
”Meskipun kemungkinan El Nino tidak kuat, tetapi mengingat sudah tiga tahun kita dalam periode basah sehingga kekeringan tahun ini harus diwaspadai dan diantisipasi,” ujarnya.
Berdasarkan analisis anomali suhu muka laut dasarian II Mei 2023 yang dilakukan BMKG, terlihat wilayah Nino3,4, yakni pasifik tengah dan timur mulai terjadi peningkatan suhu muka air laut. Nilai indeks dipole mode memang masih minus 0,60, tetapi nilai indeks Nino3,4 telah mencapai plus 0,53. Artinya, kondisi ini telah memasuki fase El Nino.
Baca juga: Ujian El Nino untuk Indonesia
Fachri menjelaskan, sejumlah lembaga bidang meteorologi dan klimatologi di dunia pada umumnya memberikan prediksi adanya pergerakan grafik El Nino. Sementara prediksi dari BMKG menunjukkan El Nino semakin menguat sejak bulan Juni hingga Desember 2023.
Hasil monitoring hari tanpa hujan hingga pertengahan Mei 2023 memang menunjukkan sebagian besar titik pengamatan masih terdapat hujan. Namun, beberapa wilayah, seperti Lampung, sudah mengalami jeda hujan hingga 10 hari. Kemudian sebagian wilayah di pantai utara Jawa serta wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sudah mengalami jeda hujan hingga 20 hari.
”Prakiraan curah hujan bulanan di Juni untuk wilayah Jawa sudah rendah dan meluas ke wilayah Sumatera bagian selatan pada bulan Juli. Pada bulan Agustus dan September, hampir seluruh wilayah Indonesia masuk kategori curah hujan rendah. Kemudian bulan Oktober mulai ada peningkatan hujan dan terus bertambah pada November,” ujar Fachri.
Fachri menyebut bahwa fenomena El Nino yang berdampak terhadap menurunnya curah hujan juga akan berisiko memunculkan titik panas (hotspot) yang memicu karhutla. Dari hasil analisis BMKG untuk bulan Juni 2023, terdapat risiko munculnya hotspot dengan kategori moderat di wilayah Sumatera bagian selatan.
Risiko munculnya hotspot dengan kategori moderat juga kembali terjadi pada Juli-Agustus. Hotspot ini berisiko muncul di wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan serta Kalimantan bagian barat. Risiko ini akan semakin meluas di semua wilayah Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, NTB-NTT, dan Papua bagian selatan pada bulan Septemer-Oktober.
Upaya pencegahan
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Thomas Nifinluri mengatakan, pengendalian karhutla dilakukan dengan memprioritaskan upaya pencegahan. Upaya tersebut, di antaranya, melalui deteksi dini, monitoring areal rawan hotspot, dan pemantauan kondisi harian di lapangan.
”Infrastruktur monitoring dan pengawasan harus sampai ke bawah. Kolaborasi melibatkan babinsa, bhabinkamtibmas, kepala desa, masyarakat peduli api, dan korporasi. Bahkan, masyarakat yang tidak masuk dalam kategori kelompok pun ikut terlibat,” ucapnya.
Baca juga: Inisiatif Masyarakat Dayun dan Penyengat Cegah Kebakaran Lahan Terulang
Selain itu, upaya pencegahan lainnya yang dilakukan salah satunya dengan patroli terpadu bersama TNI dan Polri. Di sisi lain, organisasi kemasyarakatan, termasuk tokoh agama, juga diajak untuk melakukan kampanye penyadartahuan terkait dengan pengendalian karhutla.
”Pelaksanaan TMC (teknologi modifikasi cuaca) juga saat ini tengah berlangsung di Riau. Jadi, kami sudah ada jadwal koordinasi dengan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) serta selalu mengadakan pertemuan berkala dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) untuk rencana pelaksanaan operasi TMC khusus di provinsi rawan,” katanya.
Khusus untuk para pemegang izin konsesi, KLHK juga mulai menerapkan uji kepatuhan. Pada 2023, kata Thomas, KLHK akan melakukan supervisi terkait dengan kesiapsiagaan dari pemegang izin konsesi untuk melihat sejumlah persyaratan dalam upaya pencegahan karhutla.
Sementara untuk penanganan pascaterjadi karhutla, KLHK selalu melakukan penghitungan luas areal terbakar dan emisi yang dihasilkan dari kebakaran tersebut. Laporan penanganan pasca-karhutla disampaikan secara periodik kepada menteri dan presiden.
Pemetaan karhutla
Salah satu upaya untuk pencegahan, pemantauan, hingga penanggulangan karhutla dilakukan melalui pemetaan berbasis citra satelit penginderaan jauh.Saat ini,organisasi lingkungan Auriga Nusantara dan Mapbiomas Brasil juga tengah menginisiasi pemetaan karhutladi Indonesia dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan komputasi awan.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Lailan Syaufina mengatakan, upaya monitoring karhutla dapat dilakukan sebelum kejadian kebakaran tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki upaya terdepan, khususnya di wilayah Asia Tenggara, dalam pengendalian, termasuk monitoring karhutla.
Sistem informasi karhutla dapat digunakan untuk tiga pemantauan, yakni sebelum, saat, dan setelah terjadinya kebakaran. Sistem tersebut meliputi sistem peringatan dini (early warning system/EWS), sistem deteksi dini kebakaran (early fire detection system), dan sistem penilaian dampak kebakaran (fire impact assessment system).
Khusus dalam sistem penilaian dampak kebakaran, jenis informasi yang dikumpulkan, yakni pemetaan areal terbakar dan pemetaan tingkat keparahan kebakaran. Akan tetapi, di Indonesia masih sedikit sekali penelitian terkait penilaian dampak kebakaran tersebut.
”Indonesia memiliki banyak platform yang sudah bagus, seperti Sipongi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dapat memantau hotspot sebagai indikator karhutla. Sekarang sistem tersebut tinggal disinergikan antar-semua institusi,” ujarnya.
Lailan menekankan bahwa pengembangan pemetaan area atau luas karhutla harus mengedepankan pemahaman yang sama dan transparansi, khususnya terkait dengan metodologi yang digunakan. Hal ini bertujuan agar hasil pemetaan tersebut dapat diterima semua pihak sekaligus meminimalkan potensi perbedaan luas data.
”Hal terpenting lainnya untuk aspek penguatan dalam pengembangan sistem ini, yaitu terkait dengan verifikasi di lapangan. Secanggih apa pun metodologi yang dilakukan, bila tidak didukung verifikasi, tentu hasilnya akan tetap dipertanyakan,” ucapnya.
Baca juga: Antisipasi Karhutla Tetap Dilakukan meski La Nina Menguat
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bambang Surya Putra menyatakan, BNPB juga memiliki platform bernama Inarisk yang bisa digunakan untuk pemantauan karhutla. Sistem ini merupakan portal hasil kajian risiko dengan menggunakan peladen (server) Arcgis sebagai pelayanan data yang menggambarkan cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak, hingga potensi kerusakan lingkungan.
Meski demikian, Bambang mengakui bahwa platform pemantauan karhutla yang ada dari berbagai institusi ini masih belum terintegrasi dengan baik. Ia berharap ke depan semua platform ini bisa saling tukar data, terintegrasi, dan digunakan bersama sesuai dengan kewenangan institusi atau lembaganya masing-masing.