Suasana menjelang tahun politik 2024 menebar ancaman pembelahan masyarakat menggunakan politik identitas. Kondisi ini mengingatkan pentingnya membangun empati lintas batas untuk mengantisipasi polarisasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pejalan kaki melintas di depan mural tentang keberagaman saat berlangsungnya Gerakan Sehari di Rumah Saja di Kecamatan Sidomukti, Salatiga, Jawa Tengah, Minggu (11/7/2021). Semangat menjunjung tinggi keberagaman terus digaungkan di kota itu melalui berbagai media, termasuk mural.
JAKARTA, KOMPAS — Kurangnya empati sosial dan kepekaan menghargai perbedaan semakin tajam menjelang Pemilu 2024. Ruang digital pun menjadi lahan subur menyebarkan kebencian berbasis identitas. Empati lintas batas perlu dibangun untuk meredam polarisasi dan pembelahan masyarakat.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, akhir-akhir ini muncul perbincangan di media sosial yang menunjukkan kurangnya kepekaan sosial di berbagai kalangan. Terdapat tren memamerkan gaya hidup konsumtif.
Hal itu menunjukkan minimnya kepedulian pada kelompok yang berkekurangan secara ekonomi dan semakin mempertontonkan ketimpangan sosial. Di tataran struktural, muncul kebijakan di tingkat lokal yang membatasi hak untuk melakukan praktik budaya.
Selain itu, suasana menjelang tahun politik menebar ancaman pembelahan masyarakat menggunakan politik identitas berbasis suku, agama, ras, dan golongan. Padahal, seharusnya kemajemukan bangsa ditopang oleh solidaritas yang kokoh.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (27/1/2023). Pada 14 Februari 2024, Indonesia akan menggelar pemihan presiden-wakil presiden dan pemilu legislatif.
”Membangun empati lintas batas merupakan hal mendasar dalam memastikan ketangguhan dan keberlanjutan Indonesia,” ujarnya dalam diskusi daring ”Membangun Empati Lintas Batas”, Jumat (26/5/2023).
Menurut Ketua Komisi Kebudayaan AIPI Prof M Amin Abdullah, terdapat sejumlah fenomena sosial di era digital, salah satunya membenci dan menolak kehadiran kelompok yang berbeda. Fenomena lainnya adalah ketidakharmonisan hubungan internal umat beragama, saling curiga, politisasi agama, dan melemahnya kohesi sosial.
”Maka, kepekaan sosial, menghargai orang lain, sekarang paling berat karena ada fasilitas media sosial,” ucapnya.
Kondisi ini patut dijadikan keprihatinan bersama. Sebab, penyebaran kebencian menolak kehadiran kelompok yang berbeda berbasis agama sudah sangat kentara.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melakukan aksi simbolik penolakan penyebarluasan hoaks, ujaran kebencian, dan praktik politik uang dalam acara yang digelar Bawaslu Kota Yogyakarta di Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Minggu (24/2/2019).
”Jadi, religiositas kita minus kemampuan berdialog. Hubungan antara agama dan kewargaan belum tuntas. Hal itu menjadi tantangan pendidikan agama dalam masyarakat multi-iman di era digital. Ini adalah perennial problem yang harus kita cermati,” katanya.
Amin menyebutkan empat isu strategis prioritas nasional dalam menghadapi kondisi tersebut, yaitu inklusi sosial, keadilan sosial, pelembagaan, dan ruang siber. Fenomena polarisasi dan fragmentasi sosial terjadi di mana-mana.
Terdapat sejumlah fenomena sosial di era digital, salah satunya membenci dan menolak kehadiran kelompok yang berbeda. Fenomena lainnya adalah ketidakharmonisan hubungan internal umat beragama, saling curiga, politisasi agama, dan melemahnya kohesi sosial.
Tingginya tingkat kesenjangan atau disparitas ekonomi dan sosial menjadi masalah dalam mewujudkan keadilan sosial. Institusionalisasi nilai-nilai kebangsaan dalam lembaga sosial politik, ekonomi, budaya, dan agama juga lemah.
Sementara ruang siber banyak digunakan sebagai wadah menyebarkan konten-konten bernuansa negatif. Negara perlu hadir sebagai regulator yang baik agar ruang siber tidak menjadi ajal bagi demokrasi Indonesia.
Langkah strategis
Amin menuturkan, langkah strategi membangun empati lintas batas mesti ditempuh melalui jalur pendidikan. Dengan begitu, literasi keagamaan lintas budaya mesti dikampanyekan.
”Pendidikan agama tidak bisa monoreligion, tetapi harus multi atau interreligious. Peserta didik diajak berpikir lebih mendasar sehingga otomatis melibatkan filsafat,” jelasnya.
Oleh sebab itu, literasi keagamaan menjadi sangat penting. Hal ini memerlukan dua cara, yaitu mengarusutamakan pendekatan kemanusiaan dan menggaungkan literasi lintas budaya dalam masyarakat yang majemuk.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Masjid Al-Amanah dan Wihara Giri Metta di RT 002 RW 002 Kampung Paledang, Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat, berdiri berdekatan dengan damai, Jumat (12/5). Kehidupan kerukunan dan toleransi beragama di kampung ini menjadi contoh kebinekaan di Indonesia.
Amin menambahkan, lembaga adat, agama, pemerintah, swadaya masyarakat, pendidikan, dan media seharusnya bergerak bersama untuk memperkuat resiliensi masyarakat. ”Berkolaborasi dan bersinergi. Bukan terpisah-pisah dalam menanamkan empati lintas batas,” ucapnya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Siti Musdah Mulia, mengatakan, literasi agama di kalangan anak muda butuh diperkuat. Pendidikan agama mesti bisa merebut hati generasi milenial agar lebih condong pada pendidikan yang terstruktur, bukan hanya mengandalkan referensi dari media sosial.
Paradoks
Menurut Siti, kehidupan berbangsa saat ini mengalami paradoks keagamaan dan paradoks kehidupan sosial. Intensifikasi keagamaan kuat, tetapi minus implementasi etika.
Potret Masjid Raya Al Jabbar, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (30/12/2022).
Ia mencontohkan bangunan rumah ibadah yang megah tanpa dibarengi dengan penguatan literasi beragama. Selain itu, kesejahteraan serta kesehatan masyarakat kurang diprioritaskan. Kesenjangan sosial dan ekonomi antara elite dan masyarakat miskin semakin lebar.
”(Generasi) milenial cenderung masih mengungkapkan narasi ekstremisme dan ujaran kebencian yang terkait agama. Ini juga menyedihkan. Agama tidak mengajarkan orang mengekspresikan kebencian, tetapi lebih berempati pada sesama,” jelasnya.
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI, Haryatmoko, mengatakan, ujaran kebencian sering bersembunyi di balik kedok kebebasan berpendapat. Padahal, polarisasi dan kubu-kubuan ideologi gampang menyulut konflik. Empati di media sosial juga cenderung lebih tumpul.
”Hoaks bukan hanya masalah tingkat pendidikan, tetapi melibatkan emosi dan keyakinan pada ideologi. Jadi, ini masalah bagaimana memperkuat pemikiran kritis,” ujarnya.