Generasi muda menunjukkan keluwesan dalam beragama. Mereka memahami agama secara cair, antara pedoman hidup dan sebagai identitas.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Letak rumah ibadah Masjid Agung Al Jauhar Yasfii (kanan), Gereja Katolik Santo Servatius (tengah), dan Gereja Kristen Pasundan (kiri) di Kampung Sawah, Bekasi, yang berdampingan dengan rukun, Rabu (13/12/2017). Kampung Sawah yang mayoritas masyarakat Betawi tetap mampu hidup rukun dengan beragam keyakinan.
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda secara umum menunjukkan keluwesan dalam hal-hal keagamaan. Namun, perhatian mereka terhadap wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan relatif terbatas. Pembahasan isu ini, khususnya yang dialami kelompok minoritas agama, masih dipandang rawan dan berisiko.
Penelitian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bekerja sama dengan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) menyebutkan, kaum muda ”cair” dan fleksibel dalam beragama. Mereka toleran terhadap perbedaan dengan kadar toleransi berjenjang.
”Secara umum, kaum muda menunjukkan keluwesan dalam beragama. Mereka memahami agama secara cair, antara pedoman hidup dan sebagai identitas,” ujar peneliti ICRS, Leonard Chrysostomos Epafras, dalam peluncuran laporan penelitian ”Dinamika Aktivisme Digital Kaum Muda Indonesia dalam Wacana Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” di Grha Oikoumene PGI, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana peluncuran laporan penelitian Dinamika Aktivisme Digital Kaum Muda Indonesia dalam Wacana Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Grha Oikoumene PGI, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Penelitian dilakukan dengan metode campuran wawancara, survei, diskusi kelompok terpadu (FGD), pengamatan media sosial, dan analisis mahadata. Riset digelar dua putaran, yaitu Oktober-Desember 2021 dan Mei-Agustus 2022.
Leonard mengatakan, dengan berbagai keterbatasan akibat pandemi Covid-19, penelitian putaran pertama digelar secara daring yang diikuti generasi Z berusia 17-23 tahun. Survei dan FGD daring menyasar 1.228 mahasiswa di 21 perguruan tinggi.
Pada penelitian putaran kedua, riset melibatkan generasi Z dan generasi Y atau milenial. Survei diikuti 922 responden. Peneliti mewawancarai langsung 94 narasumber di lima kota, yaitu Padang, Jakarta, Pontianak, Denpasar, dan Manado. Selain itu, juga dilakukan pemantauan terhadap 52 unggahan media sosial.
”Jadi, bingkainya hanya satu, ingin memahami bagaimana kaum muda merespons sikap atau tanggapan terhadap wacana KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan). Kasusnya yang sudah diberitakan sejumlah media,” jelasnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Semangat pluralisme terus dikampanyekan masyarakat melalui berbagai cara, salah satunya dengan mural, seperti terlihat di kawasan Beji, Depok, Jawa Barat, Minggu (25/12/2022).
Peneliti juga melakukan analisis jaringan sosial (SNA) pada delapan kasus terkait isu KBB. Beberapa topik, di antaranya kasus rendang babi, penendangan sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, penolakan renovasi wihara, perusakan mushala, dan lagu ”Tuhan Yesus Tidak Berubah” versi remix yang viral di Tiktok.
Salah satu hasil penelitian itu menunjukkan, generasi muda ”cair” dan fleksibel dalam beragama. Namun, derajat fleksibilitas bergantung pada kemajemukan lingkungan, keluarga yang membesarkannya, budaya, dan konteks lokal. Urusan kesehatan, hiburan, pekerjaan, dan jejaring politik lebih mendominasi aktivitas anak muda di media sosial.
Generasi muda pun peka pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. ”Namun, terbatas perhatiannya terhadap wacana KBB,” ucapnya.
Menurut Leonard, generasi Y dan Z masih berada di bawah bayang-bayang struktur otoritas sosial dan logika mayoritas-minoritas yang menentukan ekspresi keagamaan serta sikap terhadap kasus-kasus terkait KBB. Mereka cenderung enggan merespons isu tersebut karena dianggap berisiko memicu polarisasi.
Generasi muda pun peka pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Namun, terbatas perhatiannya terhadap wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan.
”Mereka menghindari masuk ke ranah itu karena rawan sekali. Namun, untuk isu yang ada gratifikasi kebanggaan dan dimobilisasi dengan cara menarik, mereka sangat bersemangat,” ucapnya.
Rekomendasi
Selain Leonard, tim peneliti terdiri dari Evelyn Suleeman dan Daisy Indira Yasmine. PGI dan ICRS merekomendasikan beberapa hal, salah satunya demistifikasi sekat generasi dengan mempertalikannya dalam ikatan lintas generasi.
Wacana KBB pun perlu menjadi bagian pendidikan umum secara terprogram dengan metode yang menyesuaikan dinamika anak muda, lintas generasi, dan konteks lokalnya. Penelitian ini menunjukkan pentingnya kolaborasi institusi pendidikan, institusi agama, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, masyarakat sipil, media, platform digital, serta lembaga internasional untuk membangun sistem pembelajaran dan pemberdayaan kaum muda.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Warga berbagi makanan pada pencanangan Desa Banjarpanepen sebagai Desa Sadar Kerukunan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (2/9/2019).
”Belajar dari dan merangkul para micro-preacher serta religious influencer (pemengaruh agama) dalam diskusi dan pengembangan KBB di media sosial,” ujar Leonard.
Leonard mengakui, penelitian tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Survei daring, misalnya, belum mampu menghasilkan generalisasi dan abstraksi memadai yang dapat diberlakukan pada populasi keseluruhan. Sebab, sampel yang diperoleh tidak acak.
Sekretaris Umum PGI Jacklevyn Frits Manuputty menuturkan, isu pergumulan masyarakat, seperti KBB, harus menjadi perhatian dan kepedulian lintas iman. Apalagi penelitian itu berfokus pada generasi muda dalam transformasi digital sehingga berkelindan dengan bonus demografi yang dihadapi Indonesia.
Menurut Jacklevyn, anak muda cukup aktif dalam gerakan advokasi berbagai bidang, termasuk melalui virtual. Mereka mempunyai perhatian terhadap dinamika sosial dan berupaya terlibat di dalamnya.
Sejumlah anak bermain dengan diiringi lagu daerah Jawa Tengah berjudul "Cublak-Cublak Suweng" dalam konser musik memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi RI ke-72 di Gereja Isa Almasih Lengkong Besar, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/8/2017).
”Melalui penelitian ini, kita mendapat satu potret. Mungkin belum terang benderang, tetapi setidaknya memberi peta jalan bagaimana fokus anak muda, termasuk warga gereja, dalam transformasi digital,” ujarnya.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, penanggap dalam peluncuran penelitian itu, mengatakan, pihaknya juga menemukan hal serupa tentang generasi muda yang lebih fleksibel dalam beragama. Fokus utama mereka saat ini adalah isu sosial dan lingkungan.
”Alasan anak muda lebih terbuka itu logis karena keterbukaan akses informasi. Kalau demokrasi dikurangi dan akses informasi dibatasi, akan berbeda hasilnya. Meski belum sepenuhnya ideal, kita lebih optimistis,” katanya.