RGE Nyatakan Tetap Jalankan Komitmen Bebas Deforestasi
Royal Golden Eagle Group (RGE) membantah keterkaitan dengan dua perusahaan pulp atau bubur kertas yang diduga membabat hutan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan pulp atau bubur kertas Royal Golden Eagle Group atau RGE menyatakan tetap pada komitmen bebas deforestasi. Grup perusahaan ini, termasuk jejaring perusahaan-perusahaannya, tetap akan menjalankan aktivitas yang berkelanjutan. Hal ini sekaligus membantah tudingan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mengaitkan RGE dengan aktivitas perusahaan yang melakukan penggundulan hutan.
Dalam laporan kolaborasi sejumlah organisasi lingkungan tersebut, RGE diduga menerima bahan baku dari PT Balikpapan Chip Lestari yang terlibat penggundulan hutan alam, setidaknya seluas 37.105 hektar di Kalimantan 2016-2022. Selain itu, laporan tersebut juga mengkaji profil perusahaan yang mengidentifikasi keterhubungan RGE dengan PT Phoenix Resources International, pabrik pulp raksasa yang tengah dibangun di Tarakan, Kalimantan Utara.
Kepada Kompas, PT RGE membantah tuduhan dalam laporan investigasi dari sejumlah organisasi tersebut. Head of Corporate Communications PT RGE Indonesia Ignatius Ari Djoko Purnomo mengungkapkan, perusahaan yang dimiliki Sukanto Tanoto tersebut tidak terkait dengan PT Balikpapan Chip Lestari dan PT Phoenix Resources International. Menurut dia, tidak satu pun argumen yang dituduhkan dalam laporan tersebut memiliki dasar bahwa ada hubungan dan bentuk kontrol RGE terhadap perusahaan-perusahan yang disebutkan.
”Oleh karena itu, tidak mungkin dan tidak pada tempatnya RGE memberikan komentar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan entitas-entitas tersebut karena tidak berhubungan dengan RGE,” kata Ignatius dalam jawaban tertulisnya, Rabu (24/5/2023).
Ignatius menambahkan, perusahaan-perusahaan dalam Grup RGE beroperasi sesuai dengan komitmen kerangka kerja keberlanjutan yang ditetapkan pada 2015. Jaringan perusahaan berkomitmen tidak melakukan deforestasi, tetapi justru akan mengembangkan dan memperkuat kebijakan keberlanjutannya dalam komitmen yang telah disepakati.
”Perusahaan-perusahaan ini memiliki target keberlanjutan 2030 yang ambisius yang bertujuan berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan secara nasional dan global terhadap iklim, perlindungan alam dan lingkungan, serta pembangunan berkelanjutan,” ujar Ignatius.
Selain itu, Ignatius menegaskan anak perusahaan RGE, yakni APRIL, tetap menjaga komitmen keberlanjutan yang tertuang dalam APRIL2030. APRIL mengalokasikan 1 dollar AS per ton kayu dari hasil panen perkebunan sebagai dana program konservasi berbasis lanskap. APRIL juga melanjutkan komitmen ”1 banding 1”, yakni untuk mencapai satu hektar area konservasi untuk setiap satu hektar area perkebunan. Saat ini APRIL telah mengonservasi 80 persen areal konsesinya.
Adapun temuan dari laporan investigasi merupakan kolaborasi organisasi dalam negeri dan luar negeri, yakni Environmental Paper Network, Rainforest Action Network, Auriga Nusantara, Greenpeace International, dan Woods & Wayside International yang disusun dengan tiga metode. Metode pertama dengan analisis geospasial yang melacak deforestasi tahunan melalui gambar satelit. Pada metode kedua, dengan menggunakan data ekspor Indonesia diambil dari penyedia data perdagangan komersial data ekspor resmi yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adapun metode ketiga dengan pemetaan struktur korporasi beserta anak perusahaannya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, melihat adanya kerumitan dalam jaringan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di bawah RGE. ”RGE harus transparan dan membuka kepada publik jaringan perusahaan mereka. Dengan demikian, tuduhan perusahaan yang terlibat dalam laporan bisa jelas diketahui oleh publik,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Kampanye Hutan dan Keuangan Rainforest Action Network, Tom Picken, meminta lembaga pembiayaan untuk menahan penyaluran dana kepada RGE. Menurut dia, upaya ini untuk menekan RGE segera melakukan pembuktian secara terbuka atas dugaan yang ada.
”Apalagi perusahaan pembiayaan tersebut punya komitmen untuk tidak menyalurkan dana kepada korporasi yang kemungkinan terlibat deforestasi. Mereka perlu ditekan untuk mau terbuka,” kata Picken.