Kesepakatan dana mitigasi iklim harus disertai komitmen kuat untuk mengurangi emisi. Peran Indonesia sebagai Presiden G-20 akan turut menentukan perubahan kebijakan iklim global.
Oleh
A Tomy Trinugroho, dari Glasgow, Skotlandia
·5 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — Para kepala negara yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Skotlandia, Selasa (2/11/2021), berjanji menyisihkan dana 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 285 triliun) untuk mitigasi perubahan iklim. Komitmen ini ditanggapi lesu oleh para pengamat lingkungan.
”Dana ini untuk menghentikan penebangan hutan atau deforestasi per tahun 2030. Hutan adalah paru-paru dunia dan sumber kehidupan kita semua,” kata Perdana Menteri Inggris Boris Johnson selaku tuan rumah.
Kesepakatan dana mitigasi perubahan iklim ditandatangani oleh 100 kepala negara, termasuk dari negara-negara yang memiliki 85 persen hutan dunia, yaitu Indonesia, AS, Kanada, Rusia, China, Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Inggris. Penghentian deforestasi adalah salah satu upaya penyerapan karbon.
Presiden Joko Widodo dalam pidato di COP 26 menegaskan komitmen Indonesia menangani perubahan iklim. Namun, Presiden juga menagih kontribusi negara maju. ”Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi emisi nol dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang terhambat akibat pandemi?” katanya.
Presiden menyampaikan capaian Indonesia dalam menangani perubahan iklim, antara lain, deforestasi yang turun signifikan dan terendah dalam 20 tahun terakhir, kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020, dan dimulainya rehabilitasi hutan bakau.
”Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia,akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030,” ujarnya.
Tidak berharap
Mengingat mengecewakannya hasil KTT 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia atau G-20, pekan lalu, dalam komitmen terhadap mitigasi krisis iklim, para pengamat lingkungan tidak berani berharap banyak dari janji COP 26 ini. ”Di Kesepakatan Paris 2015, negara-negara kaya berjanji menghibahkan 100 miliar dollar AS untuk mitigasi krisis iklim di negara-negara berkembang dan miskin per tahun 2020. Namun, setelah itu mereka mengumumkan tidak mampu memenuhi komitmen itu hingga tahun 2023. Wajar jika masyarakat skeptis dengan janji kali ini,” tutur Direktur Pusat Perkembangan dan Perubahan Iklim Bangladesh Saleemul Haq.
Dana mitigasi ini penting karena industri di negara-negara berkembang berasal dari investasi negara-negara maju. Pabrik-pabrik di negara berkembang umumnya memproduksi barang-barang dari jenama ataupun hak cipta negara maju. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang bergantung pada tarif listrik murah yang disokong batubara.
Apabila negara berkembang harus menurunkan emisi, butuh investasi dana dan teknologi agar bisa memperbanyak pembangkit listrik ramah lingkungan. Ini juga harus didukung kemauan politik dalam negeri dan desakan dunia internasional. Oleh sebab itu, misi dekarbonisasi tidak bisa dilihat sebagai capaian sendiri-sendiri, melainkan saling terkait secara global.
Peran Indonesia
Terkait tantangan itu, posisi Indonesia sebagai Presidensi G-20 dinilai strategis untuk menggalang komitmen para pemimpin politik guna mengatasi perubahan iklim. ”Dari aspek sains dampak perubahan iklim sebagaimana dilaporkan IPCC sangat jelas. Jika laju pemanasan seperti sekarang, suhu bisa 4 derajat celsius di akhir abad ini dan pada 2030-2042 kita sudah mencapai titik kritis 1,5 derajat celsius dibandingkan praindustri. Tinggal komitmen politik dari para pemimpin,” kata Edvin Aldrian, profesor riset tentang iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Menurut Edvin, negosiasi iklim dalam COP 26 hanya akan berhasil jika para pemimpin dunia, terutama dari negara-negara G-20 sebagai emiter utama gas rumah kaca, memiliki komitmen kuat untuk mengatasinya. ”Sebagai Presiden G-20, peran Indonesia dalam satu tahun ke depan sangat menentukan perubahan kebijakan iklim,” ujarnya.
Selain posisinya di G-20, menurut Edvin, Indonesia juga bisa berperan strategis karena besarnya populasi dan keberadaan hutan hujan tropis yang berpotensi menyerap karbon atau sebaliknya malah memicu emisi. ”Indonesia adidaya dalam hal perubahan iklim karena populasi kita nomor empat di dunia. Apa yang kita lakukan menentukan,” ujarnya.
Terkait sektor hutan dan lahan (forest and land use/FoLU), Presiden Jokowi dalam pernyataan nasional di World Leaders Summit COP 26 bertekad menjadikan hutan dan lahan Indonesia penyerap karbon (net carbon sink) selambatnya tahun 2030. Ini sejalan dengan Global Forest Deal yang diluncurkan di Glasgow.
Selain FoLU, Edvin mengatakan, sektor energi menjadi kunci untuk menurunkan emisi. ”Kita harus menetapkan target. Kapan kita akan mengakhiri pembangkit batubara. Targetnya harus jelas dan sekali lagi ini tergantung kemauan pemerintah,” ujarnya.
Di sisi lain, merujuk Kongres Konservasi Global di Marseille, Perancis, September lalu, pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan terkait pemanfaatan hasil hutan sangat penting. Langkah itu untuk memastikan tidak ada tindakan yang merusak alam.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengapresiasi target terkait FoLU ini. Namun, dibutuhkan langkah-langkah tegas agar target tersebut bisa terealisasi. ”Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan, termasuk pemulihan ekonomi nasional, yang konsisten dengan agenda net sink FoLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030,” kata Nadia.
Menurut dia, dengan melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Saat ini masih ada 9,6 juta hektar bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam.
Di Paviliun Indonesia di Glasgow, Senin sore, digelar diskusi mengenai upaya korporasi besar di Tanah Air dalam mengurangi emisi karbon. ”Deforestasi yang berkurang memberikan modal bagi Indonesia untuk bangga saat berbicara di panggung dunia, apalagi RI akan menjadi pimpinan G-20 tahun ini,” ujar Anderson Tanoto, Managing Director RGE.
PT PLN (Persero) juga berkomitmen mengurangi emisi karbon yang dihasilkan pembangkit listrik bertenaga batubara guna mendukung target pemerintah menuju Carbon Neutral 2060. (AP/AFP/REUTERS/DNE/INA/AIK/MTK)