Kaitan Konsumsi Makanan Ultra-olahan dengan Masalah Psikososial Remaja
Temuan terbaru menunjukkan kaitan konsumsi makanan dan minuman ultra-olahan dengan masalah kesehatan mental, terutama di kalangan remaja.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi makanan dan minuman ultra-olahan atau ultraproses terus meningkat dan sudah banyak yang mengaitkannya dengan kesehatan tubuh. Temuan terbaru menunjukkan kaitan konsumsi makanan dan minuman ultra-olahan dengan masalah kesehatan mental di kalangan remaja.
Keterkaitan konsumsi ultra-processed food atau makanan dan minuman ultra-olahan dengan kesehatan mental remaja ini dipublikasikan di jurnal Nutrients terbaru. Hasil kajian para peneliti dari Institute of Environmental Science and Technology of the Universitat Autònoma de Barcelona (ICTA-UAB) dan the Girona Biomedical Research Institute (IDIBGI) ini dirilis pada Selasa (23/5/2023).
Penelitian dilakukan dengan menganalisis kebiasaan lima ratus remaja Spanyol berusia 13-18 tahun. Dalam paper-nya, para peneliti menyebutkan, konsumsi akanan dan minuman ultra-olahan telah meningkat tiga kali lipat di Spanyol dalam beberapa dekade terakhir. Remaja menjadi konsumen terbesar dari jenis produk industri ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa makan lebih banyak makanan ultra-olahan dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi.
Makanan dan minuman ultra-olahan ini ditandai dengan kandungan nutrisi rendah, misalnya rendah protein dan serat. Selain itu, makanan-minuman ini memiliki kepadatan energi yang tinggi, ditandai kaya lemak dan gula tambahan, dan adanya aditif seperti pewarna dan penguat rasa yang membuatnya sangat menarik, enak, dan membuat ketagihan.
Studi ini menganalisis hubungan antara asupan makanan ultra-olahan dan kesulitan psikososial—seperti suasana hati yang rendah, perasaan tidak enak, kecemasan, masalah perhatian, dan gejala perilaku lainnya. Hal ini dibandingkan dengan konsumsi buah dan sayur setiap hari dan aktivitas fisik mingguan para peserta, variabel yang telah terbukti memiliki efek positif pada kesehatan mental.
Penelitian tersebut menunjukkan hubungan langsung antara tingginya konsumsi makanan-minuman ultra-olahan, tekanan emosional dan masalah perilaku, dengan hubungan yang paling signifikan dengan suasana hati rendah yang dilaporkan oleh peserta remaja.
Ditemukan, para remaja melaporkan konsumsi rata-rata 7,7 makanan ultra-olahan pada hari sebelum wawancara, dengan konsumsi yang lebih tinggi di kalangan remaja laki-laki. Perbandingannya, 8,6 makanan ultra-olahan untuk anak laki-laki dibandingkan dengan 7 makanan ultra-olahan untuk anak perempuan.
Sebagian besar peserta melaporkan mengonsumsi sosis, biskuit, dan daging olahan (50-60 persen), produk cokelat, makanan ringan, minuman dan saus cokelat (40-50 persen), dan yoghurt rasa, roti dan kue olahan, sereal manis, minuman ringan, buah kemasan, jus, dan keripik olahan (30-40 persen).
Mengenai konsumsi buah dan sayur, remaja melaporkan konsumsi rata-rata 1,93 porsi per hari, jauh dari anjuran lima porsi per hari, dan melaporkan aktivitas fisik rata-rata 2,9 hari per minggu. Sementara konsumsi buah dan sayuran lebih tinggi di kalangan remaja perempuan 2 porsi dibandingkan 1,7 porsi untuk laki-laki, remaja laki-laki melaporkan tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi 3,6 hari dibandingkan dengan 2,3 hari untuk perempuan.
Selain itu, 26,2 persen peserta menunjukkan beberapa jenis masalah psikososial, 33,9 persen terkait dengan tekanan emosional, terutama depresi atau kecemasan, 9,5 persen terkait dengan masalah atensi, dan 3,9 persen terkait dengan masalah perilaku. Berdasarkan jenis kelamin, anak perempuan menunjukkan masalah psikososial yang lebih besar di semua bidang, mencapai 26,4 persen dibandingkan 22,2 persen, terutama dalam kaitannya dengan suasana hati yang rendah dan perasaan cemas, kecuali masalah perilaku yang serupa di antara kedua jenis kelamin.
”Hubungan antara konsumsi ultra-processed food dengan masalah mood dan kecemasan pada remaja konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada sampel serupa,” kata Pietro Tonini, peneliti ICTA-UAB dan penulis pertama studi tersebut.
Anggota tim peneliti, Marta Reales dari IDIBGI, menambahkan, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa hubungan konsumsi produk tersebut dengan masalah atensi dan perilaku harus dipelajari lebih mendalam.
”Hubungan antara produk ultra-olahan dan masalah psikososial lebih terlihat di kalangan remaja laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan oleh hipotesis bahwa mereka mengonsumsi lebih banyak jenis produk ultraproses tertentu, seperti minuman manis (minuman ringan dan berenergi), jus buah kemasan, dan daging olahan, serta fakta bahwa mereka makan lebih sedikit buah dan sayuran,” kata Tonini.
Memicu depresi
Temuan ini menguatkan kajian sebelumnya yang dipublikasikan di Journal of Affective Disorders pada 16 Mei 2023. Penelitian di Australia ini untuk pertama kalinya menetapkan hubungan antara pola konsumsi yang didominasi ultra-olahan dan peningkatan risiko depresi.
Melissa Lane dari Food and Mood Center Deakin University, Australia, menjadi penulis pertama paper ini. Bekerja sama dengan Priscila Machado dari Deakin’s Institute for Physical Activity and Nutrition (IPAN) dan Associate Professor Allison Hodge dari Cancer Council Victoria, Lane mengamati hubungan antara konsumsi makanan ultra-olahan dan depresi pada lebih dari 23.000 warga Australia dari Melbourne Studi Kohort Kolaboratif.
Hasil kajiannya menunjukkan risiko depresi melonjak tajam di antara orang-orang yang diet hariannya mencakup lebih dari 30 persen makanan ultra-olahan. Hal ini memberikan bukti lebih lanjut tentang bahaya luas dari diet yang sarat dengan makanan enak yang murah, dipasarkan dengan baik tetapi sering kali bergizi buruk.
Makanan ultra-olahan tidak terbatas pada makanan cepat saji dan cepat saji. Mereka juga termasuk produk yang diproduksi secara massal yang mungkin dianggap relatif ”netral” atau bahkan ”sehat” seperti minuman ringan diet, beberapa jus buah dan yoghurt beraroma, margarin, olahan paket makanan seperti telur orak-arik dan kentang tumbuk dan banyak makanan siap saji yang tinggal dipanaskan serta berbagai hidangan pasta.
Lane mengatakan, meskipun tidak membuktikan bahwa makanan ultra-olahan menyebabkan depresi, penelitian ini menunjukkan bahwa makan lebih banyak makanan ultra-olahan dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi.
Depresi adalah salah satu gangguan mental yang paling umum di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan utama karena secara negatif memengaruhi kehidupan dan kesejahteraan sehari-hari melalui energi rendah yang bertahan lama, perubahan nafsu makan dan tidur, kehilangan minat atau kesenangan, kesedihan, dan terkadang berpikir untuk bunuh diri.
”Mengidentifikasi tingkat kritis konsumsi yang dapat meningkatkan risiko depresi akan membantu konsumen, profesional perawatan kesehatan, dan pembuat kebijakan membuat keputusan yang lebih tepat seputar pilihan diet, intervensi, dan strategi kesehatan masyarakat,” katanya.