Mengonsumsi Makanan Olahan Merugikan Otak
Mengonsumsi makanan ultraolahan tidak hanya merugikan kesehatan tubuh, tetapi juga terbukti bisa merugikan otak kita. Riset membuktikan kaitan antara makanan ultraolahan dan risiko demensia.
Banyak ahli kesehatan telah memperingatkan, konsumsi makanan ultraolahan atau ultraproses bisa meningkatkan obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker. Kini, serangkaian penelitian terbaru juga menunjukkan konsumsi makanan, seperti mi instan, minuman manis, hot dog, es krim, dan berbagai makanan beku, dikaitkan dengan penurunan kognisi.
Makanan ultraolahan (ultraprocessed food) sekarang telah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Bahkan, studi tentang diet Amerika pada 2016 mengungkapkan bahwa 58 persen kalori dikonsumsi melalui makanan olahan.
Makanan ini umumnya mengandung bahan utuh yang sangat sedikit dan hanya memerlukan sedikit persiapan sehingga kerap mudah dikonsumsi. Namun, makanan olahan sering kali mengandung perasa, pewarna, atau bahan tambahan lainnya. Oleh karena itu, makanan ultraolahan ini biasanya tinggi gula tambahan, lemak dan garam, serta rendah protein dan serat.
Hal itu termasuk di antaranya minuman ringan, makanan ringan asin dan manis, es krim, sosis, ayam goreng, yogurt, kacang panggang dan tomat kalengan, saus tomat, mayones, mi instan, roti kemasan, aneka sereal berasa, kerupuk, permen, soda, dan hot dog. Makanan beku juga menjadi yang terdepan dalam makanan olahan.
Penelitian kami tidak hanya menemukan bahwa makanan ultraolahan dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia, ditemukan juga menggantinya dengan pilihan sehat dapat menurunkan risiko demensia.
Cate Shanahan, ahli toksikologi makanan dan penulis buku Deep Nutrition: Why Your Genes Need Traditional Food menggambarkan makanan yang digoreng di restoran sebagai ”yang terburuk dari yang terburuk” dan mencatat bahwa kentang goreng telah menjadi salah satu makanan yang paling menggemukkan.
Kini, studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Neurologi, yang edisi daringnya bisa diakses pada 27 Juli 2022 menunjukkan, orang yang kerap mengonsumsi makanan ultraolahan dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena demensia. Para peneliti juga menemukan bahwa mengganti makanan ultraolahan dengan makanan segar dikaitkan dengan risiko demensia yang lebih rendah.
Studi ini memang tidak membuktikan bahwa makanan ultraolahan menyebabkan demensia, tapi hanya menunjukkan asosiasi atau keterkaitan. Sekalipun demikian, temuan ini menjadi alarm bahaya tambahan dari makanan ultraolahan, yang selama ini telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan.
”Makanan ultraolahan dimaksudkan agar nyaman dan enak, tetapi mereka mengurangi kualitas diet seseorang,” kata penulis studi, Huiping Li, dari Tianjin Medical University di China, sebagaimana dirilis American Academy of Neurology.
Menurut Li, makanan ultraolahan yangg juga mengandung zat aditif atau molekul dari kemasan atau diproduksi selama pemanasan, yang semuanya telah ditunjukkan dalam penelitian lain, memiliki efek negatif pada kemampuan berpikir dan memori. ”Penelitian kami tidak hanya menemukan bahwa makanan ultraolahan dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia, ditemukan juga menggantinya dengan pilihan sehat dapat menurunkan risiko demensia,” katanya.
Dalam kajian ini, para peneliti mengidentifikasi 72.083 orang dari UK Biobank, basis data besar yang berisi informasi kesehatan setengah juta orang yang tinggal di Inggris. Peserta berusia 55 tahun ke atas dan tidak memiliki demensia pada awal penelitian. Mereka diikuti selama rata-rata 10 tahun. Pada akhir penelitian, 518 orang didiagnosis menderita demensia.
Baca juga: Diet Tepat Atasi Obesitas
Selama penelitian, peserta mengisi setidaknya dua kuesioner tentang apa yang mereka makan dan minum pada hari sebelumnya. Para peneliti menentukan berapa banyak makanan ultraolahan yang dimakan orang dengan menghitung gram per hari dan membandingkannya dengan gram per hari dari makanan lain untuk membuat persentase dari diet harian mereka. Mereka kemudian membagi peserta menjadi empat kelompok yang sama dari persentase konsumsi makanan ultra-olahan terendah hingga tertinggi.
Untuk kelompok terendah, makanan ultra-olahan menempati porsi 9 persen dari diet harian atau rata-rata konsumsinya 225 gram per hari. Sedangkan kelompok tertinggi mengonsumsi rata-rata 814 gram per hari atau sekitar 28 persen dari porsi diet mereka. Sebagai catatan, satu porsi makanan seperti pizza atau stik ikan setara dengan 150 gram.
Dalam kajian ini, kelompok makanan utama yang berkontribusi terhadap tingginya asupan makanan ultraolahan adalah minuman, diikuti oleh produk-produk manis dan produk susu ultraolahan. Pada kelompok terendah, 105 dari 18.021 orang mengembangkan demensia, dibandingkan dengan 150 dari 18.021 orang pada kelompok tertinggi.
Beralih ke makanan segar
Setelah menyesuaikan dengan usia, jenis kelamin, serta riwayat keluarga dengan demensia dan penyakit jantung dan faktor lain yang dapat mempengaruhi risiko demensia, para peneliti menemukan bahwa untuk setiap 10 persen peningkatan asupan harian makanan ultraolahan, risiko demensia bisa meningkat 25 persen lebih tinggi.
Para peneliti juga menggunakan data penelitian untuk memperkirakan apa yang akan terjadi jika seseorang mengganti 10 persen makanan ultra-olahan dengan makanan yang tidak diproses atau diproses minimal, seperti buah segar, sayuran, kacang-kacangan, susu, dan daging. Mereka menemukan bahwa penggantian seperti itu dikaitkan dengan risiko demensia 19 persen lebih rendah.
”Hasil kami juga menunjukkan peningkatan makanan yang tidak diproses atau diproses minimal dengan hanya 50 gram sehari, yang setara dengan setengah apel, satu porsi jagung, atau semangkuk sereal utuh, dan secara bersamaan mengurangi makanan ultraolahan sebesar 50 gram sehari, setara dengan sebatang cokelat atau satu porsi stik ikan, dikaitkan dengan 3 persen penurunan risiko demensia,” kata Li.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan pola makan, dari makanan ultraolahan ke makanan segara dapat membuat perbedaan signifikan dalam menurunkan risiko demensia.
Dua potong kue
Bahaya makanan ultraolahan bagi kesehatan kognisi juga dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Asosiasi Alzheimer di San Diego minggu ini sebagaimana dilaporkan medicalxpress.com, pada Selasa (3/8/2022). Profesor kesehatan masyarakat di Universitas Yale Rafael Perez-Escamilla menyebutkan, ”Bukan rahasia lagi bahwa kesehatan fisik dan mental-kognitif saling terkait erat, jadi tidak mengherankan jika penelitian terbaru ini menunjukkan kerusakan otak juga.”
Baca juga: Manfaat Diet Rendah Garam pada Pasien Gagal Jantung
Menurut Escamilla, hanya 100 kalori dari makanan olahan atau sekitar dua potong kue dapat memengaruhi kesehatan fisik Anda. Sejumlah penelitian telah mengaitkan konsumsi makanan ultraolahan dengan masalah kesehatan tubuh, seperti obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker. ”Dan sekarang, kami mulai menyadari bahwa mereka memengaruhi pikiran,” kata Perez-Escamilla.
Menurut Escamilla, mengonsumsi makanan ultraolahan dapat menyebabkan peradangan, yang pada akhirnya dapat memengaruhi neurotransmiter di otak. Makanan olahan juga beroperasi pada tingkat mikro yang bisa menganggu keseimbangan miliaran sel bakteri di saluran pencernaan kita.
Escamilla menyampaikan hal ini menanggapi presentasi dari temuan sebuah penelitian—belum ditinjau oleh rekan sejawat—di Brasil yang meneliti diet dan kognisi 10.000 orang dewasa paruh baya dan lebih tua. Kajian itu menemukan bahwa peserta yang mendapatkan 20 persen atau lebih kalori harian mereka dari makanan ultraolahan mengalami penurunan kinerja kognitif yang jauh lebih cepat selama rentang enam hingga 10 tahun dibandingkan orang-orang dengan diet yang mengandung sedikit makanan olahan.
”Ini adalah penelitian yang kuat, dan buktinya sangat konsisten dengan apa yang telah diamati dengan makanan ultraolahan dari waktu ke waktu,” kata Perez-Escamilla, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Menurut Escamilla, makanan ultraolahan saat ini sering disamarkan menjadi produk makanan sehat dan telah dikonsumsi dari awal kehidupan pada anak balita dan periode prasekolah. ”Saat itulah anak-anak mengembangkan rasa atau preferensi untuk makanan ultraolahan yang menentukan risiko di masa depan,” katanya.
Baca juga: Makanan Tak Sehat "Membunuh" 1 dari 5 Orang Per Tahun
Makanan ultraolahan bisa menjadi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan perut. Namun, hal ini ternyata bisa menjadi sumber masalah bagi kesehatan tubuh dan otak kita. Padahal, di sekitar kita sering kali ada sumber makanan yang sehat, seperti aneka sayuran dan buah segar.