Seiring pertumbuhan populasi dan ekonomi, China telah menjadi adidaya baru dalam sains. Bagaimana dengan Indonesia?
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Untuk pertama kalinya, China telah menggeser Amerika Serikat sebagai negara peringkat nomor satu dalam Nature Index, sebuah penilaian terhadap kontribusi lembaga penelitian dan negara terhadap artikel yang diterbitkan di jurnal ilmu pengetahuan alam berkualitas tinggi. Data ini menjadi modal besar China untuk menjadi negara adidaya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Data afiliasi penulis dari 82 jurnal yang dilacak oleh Nature Index menunjukkan bahwa China berkontribusi terhadap 19.373 artikel ilmiah dari Januari hingga Desember 2022, dibandingkan dengan 17.610 artikel untuk Amerika Serikat. Jerman berada di peringkat ketiga dengan 4.193 artikel.
Dalam daftar ini, Indonesia berada di urutan ke-53 dengan hanya menyumbang 15 artikel. Di Asia Tenggara, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura yang berada di peringkat ke-17 dengan kontribusi 503 artikel, Thailand di peringkat ke-40 dengan 67 artikel, dan Vietnam di peringkat ke-47 dengan kontribusi 27 artikel.
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai masalah membelenggu dunia sains Indonesia karena kebijakan yang belum prosains.
Nature Index, diinisiasi oleh penerbit jurnal Nature, berupaya melacak kontribusi negara dan lembaga penelitian—akademik, pemerintah, dan komersial—di 68 jurnal ilmiah berkualitas tinggi, yang dipilih secara independen oleh ilmuwan aktif. Analisis database ini memberikan wawasan tentang hotspot global untuk penelitian berkualitas tinggi.
Kontribusi suatu negara dihitung dari persentase penulis dari negara tersebut pada setiap makalah yang diterbitkan dalam jurnal yang masuk dalam Nature Index. Misalnya, artikel yang diterbitkan seluruhnya oleh para peneliti yang berbasis di China akan menghasilkan skor 1 untuk China.
Menurut laporan Nature pada 19 Mei 2023, sejak Nature Index pertama kali diperkenalkan pada 2014, konstribusi China telah berkembang pesat dan menjadi negara terdepan dalam ilmu fisika dan kimia pada 2021.
Data termutakhir hingga April 2023 menunjukkan, China juga menyalip Amerika Serikat dalam ilmu bumi dan lingkungan untuk pertama kalinya. Kini, hanya menyisakan satu kategori ilmu alam, yaitu ilmu hayati, yang masih dimenangi Amerika Serikat.
Pemeringkatan Nature Index ini menambah deretan fakta mengenai dominasi China dalam sains global pada beberapa tahun terakhir. Laporan United States National Science Foundation tahun 2018 juga menunjukkan, China menerbitkan jumlah makalah terbanyak.
Tak hanya dalam kuantitas. Laporan Japan’s National Institute of Science and Technology Policy pada 2022 juga menunjukkan, antara 2018 dan 2020, China menjadi yang teratas dalam makalah terkait ilmu alam yang paling banyak disitasi. Hal ini menggeser posisi Amerika Serikat yang sebelumnya mendominasi perangkingan pada 1998-2000 dan 2008-2020.
Dalam hal jumlah paten, pada kurun waktu 2018-2020, Jepang masih mempertahankan posisi pertama di dunia, disusul Amerika Serikat, Jerman, dan China. Peringkat China dalam paten ini terus meningkat, dibandingkan dengan 1995-1997 yang tidak masuk 10 besar dan 2005-2007 yang berada di urutan ke-8. China menunjukkan peningkatan pesat dalam paten terkait teknologi informasi dan komunikasi, menggerus dominasi Jepang di bidang ini.
Empat faktor
Perkembangan China ini cukup mengejutkan, mengingat selama satu abad sebelumnya, peran ”Negeri Tirai Bambu” relatif tidak terdengar dalam sains modern. Menurut catatan DA King (Nature. 2004), hingga 1997–2001, China hanya menghasilkan 1 persen dari 1 persen publikasi yang paling banyak disitasi.
Yu Xie, sosiolog asal China di University of Michigan, dalam papernya di PNAS (2014) menyebutkan, empat faktor yang mendukung perkembangan pesat China dalam sains adalah populasi besar dan basis modal manusia, pasar tenaga kerja yang mendukung meritokrasi akademik, diaspora besar ilmuwan asal China, serta pemerintah terpusat yang bersedia berinvestasi dalam sains.
Kebijakan prosains China sebenarnya baru dimulai setelah pemerintahan Deng Xiaoping memulihkan State Science and Technology Commission dan membuka kembali perguruan tinggi pada 1977. Berikutnya, pada 1986, National Science Foundation of China didirikan, meniru National Science Foundation di AS, diikuti Program 863 atau Rencana Pengembangan Teknologi Tinggi Negara.
Untuk lembaga pendidikan tinggi, China meluncurkan Proyek 211 pada 1995 untuk meningkatkan kemampuan penelitian 100 universitas, dengan biaya sekitar 2,2 miliar dollar AS. Pada 1998, mereka meluncurkan Proyek 985, yang didedikasikan untuk membangun universitas elite kelas dunia di China.
Mengetahui bahwa investasi modal saja tidak akan membuat sains kuat, China juga telah mencoba menarik bakat dari luar negeri dengan menargetkan ilmuwan diaspora mereka. Program Sarjana Changjiang, yang dimulai pada 1998, awalnya menawarkan insentif kepada para ilmuwan berbasis kunjungan jangka pendek.
Kemudian, pada 2008, China meluncurkan ”Program Rekrutmen Pakar Global” dengan tujuan mendatangkan para ilmuwan dari sejumlah negara. Paket perekrutan ini menawarkan gaji tinggi, dana penelitian dan laboratorium, serta tunjangan relokasi bebas pajak.
Di luar potensi kesulitan sains di China karena campur tangan politik dan penipuan ilmiah, menurut Xie, berbagai faktor ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain yang bercita-cita untuk memajukan kedudukan mereka dalam sains.
Jika kita bandingkan dengan situasi di Indonesia, setidaknya kita baru punya satu, yaitu populasi yang tumbuh besar. Namun, tiga faktor lain, terutama menyangkut investasi negara dalam sains, masih sangat minim.
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai masalah membelenggu dunia sains Indonesia karena kebijakan yang belum prosains: mulai dari kekacauan birokrasi dengan penggabungan berbagai institusi riset, keterbatasan dana, hingga tercerai-berainya sumber daya manusia yang menggoyahkan iklim riset. Di sisi lain, dunia akademik juga bermasalah dengan praktik joki ilmiah, upah murah dosen, hingga kultur feodal yang menghambat kemajuan.
Jika tidak ada perubahan, alih-alih pertumbuhan populasi bakal jadi modal kemajuan sains, hal ini justru bisa kontraproduktif. Impian ”Indonesia Emas 2045” bisa menjadi ”Indonesia Cemas 2045”.