Rapor Merah Ekosistem Riset di Indonesia
Berbagai program riset strategis nasional, seperti Drone MALE Kombatan dan vaksin Merah Putih, terhenti setelah peleburan BRIN. Masa depan riset dan teknologi Indonesia dipertanyakan.

Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, yang sebelumnya menjadi tempat uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Sejak bergabung dengan BRIN, proyek DroneMALE Kombatan malah terhambat, sebagaimana program riset strategis nasional lain, termasuk vaksin Merah Putih.
JAKARTA, KOMPAS — Peleburan lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional telah menghambat program riset strategis nasional, seperti vaksin Merah Putih, Drone MALE Kombatan, dan teknologi garam. Transisi yang tidak berjalan baik juga membuat banyak peneliti kebingungan sehingga mengganggu pengembangan riset dan teknologi.
Keluhan mengenai memburuknya ekosistem riset ini disampaikan sejumlah peneliti dari sejumlah organisasi riset (OR) di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang diwawancarai terpisah pekan ini, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional pada Rabu (10/8/2022).
Hasil wawancara ini menguatkan temuan Masyarakat Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MPI), sebagaimana disampaikan anggotanya, yang juga peneliti Pusat Riset Perilaku dan Ekonomi SirkularBRIN, Maxensius Tri Sambodo.
Temuan MPI juga sudah disampaikan ke Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin pada 17 Maret 2022 dan ke Komisi VII DPR, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pada 28 Maret 2022. ”Kami sebenarnya juga sudah mengajukan audiensi untuk bertemu Presiden Joko Widodo, namun ini belum mendapat kesempatan. Kami berharap bahwa kelembagaan dan kepemimpinan BRIN ini dievaluasi sebelum kerusakannya semakin parah,” kata Maxensius.
Saat ini terjadi demotivasi peneliti dan perekayasa, serta disorientasi tenaga pendukung riset sehingga menurunkan produktivitas penelitian.
MPI dimoderatori oleh empat profesor riset mantan kepala sejumlah lembaga penelitian yang dilebur ke dalam BRIN, yaitu Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2010–2014 Lukman Hakim, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman 2014-2021 Amin Soebandrio, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) 2012-2018 Djarot S Wisnubroto, dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2019-2021 Hammam Riza.
Temuan MPI, di antaranya, ada sejumlah rapor buruk peleburan BRIN yang menggerus daya saing Indonesia di bidang riset dan teknologi. Salah satunya, terhentinya program strategis nasional yang sebelumnya dijalankan sejumlah lembaga penelitian, misalnya Drone MALE Kombatan, Program Pengkajian dan Penerapan Peringatan Dini Tsunami, teknologi garam, dan vaksin Covid-19 Merah Putih.

Berikutnya, negara kehilangan dukungan fungsi riset dari lembaga litbang kementerian dan lembaga, penyelenggaraan ketenaganukliran dan penyelenggaraan keantariksaan. Riset dan rekayasa yang mendukung industri telah dihapus sehingga menurunkan kemandirian dan daya saing industri. Selain itu, saat ini terjadi demotivasi peneliti dan perekayasa serta disorientasi tenaga pendukung riset sehingga menurunkan produktivitas penelitian.
Akhmad Farid, peneliti di Pusat Teknologi Penerbangan, BRIN, yang dulu menjadi Asisten Kepala Insinyur Program MALE Kombatan BPPT mengatakan, riset dan rekayasa teknologi pesawat nirawak untuk keperluan pertahanan dan keamanan yang dimulai sejak 2015 ini sekarang terhenti. Pada tahun 2017, dibentuk konsorsium Drone MALE terdiri dari Kementerian Pertahanan, TNI AU, BPPT, PTDI, PT LEN, dan ITB untuk mempercepat realisasinya.
Farid mengatakan, dari awal 2021 sampai Desember 2021, tim gabungan BPPT dan PTDI dengan dukungan penyedia sistem pesawat, Megline Spanyol, melakukan penyiapan prototipe meliputi rekayasa airframe, integrasi sistem, dan penyiapan dokumen untuk izin uji terbang. Upaya terbang perdana dilakukan akhir Desember 2021 di lapangan terbang Nusawiru Pangandaran, tetapi mengalami kegagalan.
”Tahun 2022, Prototipe EH-1 telah siap kembali uji terbang, tetapi gagal karena tidak ada lagi pendanaan untuk melaksanakan uji terbang tersebut. Selain itu, tim BPPT telah tersebar dalam berbagai Pusat Riset BRIN dan tidak ada penanggung jawab di BRIN terhadap program ini lagi,” kata Farid.
Baca juga: Menanti ”Elang Hitam” Mengudara, ”Drone” Karya Anak Bangsa Penjaga Kedaulatan
Proyek ini digagas untuk menjadikan Indonesia mandiri dalam membuat pesawat nirawak untuk keperluan militer. Presiden Joko Widodo dalam arahannya kepada Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro pada awal Februari 2020 meminta percepatan produksi massal pesawat tanpa awak ini. Jika awalnya ditargetkan produksi massal pada 2024, lalu diputuskan dipercepat menjadi 2022.
”Tetapi sejak jadi BRIN program ini terhenti. Sekarang kami diarahkan membuat penelitian kecil-kecil saja, bukan mengarah pada produknya,” kata Farid.
Terlihat terbengkalai
Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, yang sebelumnya menjadi uji struktur pesawat nirawak dan berbagai kegiatan riset kedirgantaraan ini terlihat terbengkalai dan sepi, Jumat (5/8/2022). Beberapa barang terbungkus kotak kayu dan berbagai peralatan hanggar itu menganggur, sedangkan komputer yang tersisa ditempatkan di gudang.
Gedung 256, tempat para peneliti dulu bekerja, juga sepi. Di lantai tiga gedung ini, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang merapikan ruang kerja bersama atau coworking space yang disekat dengan pembatas warna merah putih.

Prototipe pesawat dan berbagai peralatan lain yang sebelumnya dikembangkan para perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mangkrak di Hanggar Hankam, di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Jumat (5/8/2022).
”Padahal sebelumnya ini masih bagus ruang kerjanya. Tetapi, inilah satu-satunya kegiatan di gedung ini sekarang, proyek renovasi, sementara penelitinya sudah entah pada di mana, karena bebas dan boleh WFH (kerja dari rumah). Sekarang sepi sekali, padahal dulu penuh. Cari parkir kendaraan saja sulit, saking ramai penghuninya,” kata seorang peneliti, yang enggan ditulis namanya, yang bekerja di salah satu ruang 3 meter x 3 meter di lantai dasar.
Mantan peneliti di Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan-BPPT yang bekerja sejak pertengahan 1980-an ini mengaku masih ke kantor karena sulit bekerja di rumah. ”Saya terbiasa ngantor, tidak bisa kerja di rumah. Walaupun sekarang belum tahu kerja apa. Minimal baca-baca,” katanya.
Kebingungan
Farid mengatakan, banyak peneliti, khususnya mantan perekayasa BPPT, yang kebingungan dengan kebijakan BRIN saat ini. ”Dulu kami bekerja berdasarkan penugasan dari negara, yang diturunkan melalui lembaga. Misalnya, ada proyek strategis nasional yang harus dikerjakan BPPT, seperti DroneMALE itu, kami selaku perekayasa kemudian mengupayakan teknologinya. Sekarang secara de facto bingung mau ngerjain apa,” katanya.
Menurut Farid, sekarang semua peneliti BRIN, termasuk perekayasa, dituntut untuk melakukan riset dasar dengan tujuan akhir menghasilkan karya tulis ilmiah sebagai satu-satunya indikator penilaian kinerja. Hal ini membuat para eks karyawan BPPT kesulitan beradaptasi.
Baca juga: Sentralisasi Lembaga Riset Dinilai Salah Arah
BRIN tidak memperhitungkan keberadaan perekayasa, semuanya disamakan sebagai peneliti. Padahal, menurut Farid, di personel BPPT kebanyakan perekayasa, yang tujuan akhir kerja menghasilkan inovasi dan produk teknologi. ”Dulu produk akhir kita tidak harus paper, tetapi bisa berupa dokumen keteknikan dan prototipe yang kemudian disertifikasi, dan akhirnya didorong agar diterapkan industri,” katanya.
Farid yang berpendidikan doktor bidang aeronotika ini kini merasa tidak produktif. ”Setahun ini hanya baca-baca paper dan mengumpulkan data yang pernah saya lakukan dulu untuk dijadikan paper. Mau ke kantor juga bingung, tak ada orang lagi,” katanya.
Hal ini juga dikeluhkan Agustan, mantan Kepala Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (TPSA)-BPPT, yang sekarang menjadi peneliti BRIN. ”Sekarang saya merasa semakin tidak produktif. Sistem risetnya tidak sesuai dengan yang selama ini kami jalankan,” katanya.

Petani memanen padi di hamparan sawah di tepi Danau Toba di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Sabtu (30/7/2022).
Agustan mengatakan, saat masih di BPPT, tiap tahun mendapat penugasan untuk melakukan riset dan rekayasa untuk membantu kebijakan. Salah satu produk yang dihasilkan timnya dalah membuat sistem pelaporan fase tumbuh padi, yang kemudian dipakai secara nasional sejak 2018/2019 untuk menghitung data produksi beras nasional. Sebelumnya, data potensi panen padi dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik sering berbeda.
”Sejak tahun 2000-an, kami ditugaskan melakukan riset untuk mengestimasi produksi panen padi secara lebih akurat. Kami kemudian mengembangkan metode kerangka sampling area. Kita riset dan buat papernya juga, lalu bikin prototipe berbasis teknologi informasi, itu yang kemudian dipakai sampai sekarang,” katanya.
Baca juga: Perkuat Penelitian untuk Hadapi Krisis Pangan Global
Namun, dengan peleburan BRIN, upaya riset sampai bisa menghasilkan produk aplikatif akan sulit dilakukan. ”Kalau dari sudut pandang ini ada degradasi. Konsep di BRIN ini seolah bagus, karena peneliti dibebaskan meneliti, membuat proposal sesuai keinginan pribadi dengan tujuan menghasilkan paper. Tetapi, hal itu belum tentu menjawab kebutuhan nasional dan masyarakat,” katanya.
Kemunduran
Profesor riset dari Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Djarot S Wisnubroto mengatakan, setahun setelah peleburan Batan ke BRIN justru menyebabkan kemunduran lembaga maupun pengembangan teknologi ketenaganukliran. ”Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Batan dibentuk bukan hanya penelitian dan pengembangan, melainkan juga promosi dan perlindungan masyarakat. Sekarang, setelah digabung di BRIN kami direduksi hanya untuk riset dengan tujuan akhir membuat karya tulis,” paparnya.
Menurut Djarot, dalam UU No 10 itu juga ada pasal tentang kepengusahaan, yang memberi kesempatan Batan untuk melakukan eksplorasi atau eksploitasi nuklir. ”Sejak tahun 1970-an, Batan sudah melakukan eksplorasi uranium di Kalimantan Barat dan mulai 2020 melakukan studi kelayakan di sana, salah satunya menentukan lokasi yang kira-kira layak untuk pembiayaan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir). Tetapi kemudian semua dimatikan tiba-tiba oleh BRIN,” paparnya.

Selain mengeksplorasi dan eksploitasi nuklir, menurut Djarot, Batan juga aktif melakukan penelitian dan rekayasa nuklir untuk pertanian dan medis. Bahkan, salah satu produk unggulan Batan adalah bidang pertanian.
”Kolaborasi peneliti, pranata nuklir dan fungsional lain di Batan telah menghasilan 33 varietas padi, beberapa varietas sorgum, kedelai, kapas, dan sejumlah produk lain. Tetapi sejak kami di BRIN jadi tercerai berai. Para peneliti pertanian nuklir juga bingung, apakah masuk ke organisasi nuklir atau pertanian. Ini banyak dikeluhkan eks peneliti kami,” ungkapnya.
Transisi kelembagaan yang tidak mulus, menurut Djarot, juga rentan memicu insiden. Dia mencontohkan, beberapa fasilitas yang dipindahkan jadi rusak, termasuk pendinginan untuk penyimpanan benih.
Baca juga: Sorgum Unggul untuk Kemandirian Pangan
”Padahal, benih-benih yang disimpan adalah hsil riset puluhan tahun. Sebagian peneliti kami akhirnya membawa benihnya ke rumah,” kata dia.
Pengorganisasian di BRIN, menurut Djarot, juga menyulitkan kerja sama antara peneliti dan teknisi atau pranata nuklir. ”Peneliti dan perekayasa sekarang dimasukkan di Organisasi Tenaga Nuklir, sedangkan fasilitas nuklir dikelola Kedeputian Infrastruktur dan hanya dipegang teknisi. Dulu periset bisa membantu mencari solusi jika ada masalah di reaktor atau pengelolaan limbah, tapi sekarang dipisah sehingga risiko jika ada insiden bisa meningkat,” katanya.
Djarot juga mengeluhkan kepemimpinan BRIN yang terpusat dan tidak dialogis. ”Oktober 2021, tiba-tiba Kepala BRIN membuat keputusan tanpa diskusi sebelumnya akan menutup reaktor nuklir di Bandung karena dianggap tidak ekonomis dan sudah tua. Kami kemudian diminta menghubungi Badan Atom Internasional untuk meninjau rencana penutupan itu,” katanya.

Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) melakukan pengujian kepadatan serbuk pelet dari uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019).
Padahal, menurut Djarot, penutupan reaktor nuklir tidak bisa dilakukan tiba-tiba, termasuk harus menyiapkan fasilitas penyimpanan limbah radioaktif. ”Tiba-tiba keputusan penutupan ini berubah lagi, dengan alasan biayanya mahal. Padahal, dari awal sudah kami ingatkan,” ujarnya.
Djarot terpaksa menghubungi kembali Badan Atom Internasional untuk mengoreksi permintaan peninjauan penutupan. ”Inkonsistensi ini membuat citra kita di internasional buruk. Dari situ kita sadar, pimpinan BRIN tidak punya konsep yang jelas, kecuali mengenolkan lembaga riset yang sudah ada. Jadi, sekarang, peleburan BRIN ini untuk apa? Apakah benar untuk kemajuan riset dan teknologi di Indonesia?” katanya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko baru bisa diwawancara terkait setahun peleburan lembaga riset ke BRIN pada Kamis (11/8/2022) ini.