Peleburan lembaga riset di bawah kementerian ke dalam BRIN diyakini tidak akan mudah. Ekosistem penelitian yang kuat tidak bisa dibangun secara instan, tetapi membutuhkan waktu puluhan tahun.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh lembaga riset di bawah naungan sejumlah kementerian kini mulai terintegrasi ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN. Proses integrasi dan transisi ini diyakini tidak akan mudah karena ekosistem riset yang kuat tidak terbentuk secara instan, tetapi membutuhkan waktu puluhan tahun.
Salah satu lembaga riset yang mulai diintegrasikan ke dalam BRIN adalah Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang merupakan lembaga di bawah naungan Kementerian Pertanian. Pada Juli lalu, sebanyak 1.300 peneliti Balitbangtan, kecuali profesor riset, sudah dilantik menjadi pegawai BRIN.
Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry menyampaikan, meski sudah terintegrasi, semua hasil penelitian yang sudah dikembangkan sebelumnya masih tetap atas nama Balitbangtan. Namun, setelah proses integrasi, semua hasil penelitian akan menjadi milik BRIN.
Kegiatan riset perlu menyesuaikan dengan kebutuhan di hilir atau masyarakat. Apabila hal ini tidak dilakukan, manfaat dari riset dan inovasi tersebut akan berkurang.
”Setelah proses integrasi ini, harusnya bisa dilakukan penguatan penelitian. Namun, penguatan ini tidak mudah dilakukan karena transisi membutuhkan waktu. Ekosistem penelitian di kementerian saja dibangun selama puluhan tahun,” ujarnya, Jumat (5/8/2022).
Sejak dibentuk pada 1974 sampai saat ini, Balitbangtan setidaknya mengembangkan 700 inovasi teknologi yang sudah dirasakan manfaatnya secara langsung oleh petani, peternak, dan pihak lainnya. Hilirisasi hasil inovasi ini juga sudah kuat yang ditunjukkan dengan pendapatan dari royalti rata-rata Rp 4 miliar per tahun.
Selain itu, selama ini Balitbangtan juga memiliki unit pelaksana teknis di setiap provinsi, yakni Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang khusus untuk mengoptimalkan hilirisasi produk inovasi pertanian. Seluruh proses tersebut menunjukkan ekosistem riset, termasuk hilirisasi dari hulu hingga hilir di Balitbangtan sudah tertata dengan baik.
”Ini artinya bahwa teknologi yang kami hasilkan bukan untuk kepentingan lembaga, melainkan sudah dimanfaatkan langsung petani atau industri. Adanya royalti masuk menunjukkan sudah ada pihak ketiga, yakni industri, yang mengembangkan dan kegiatan riset tidak sebatas menghasilkan jurnal,” tuturnya.
Menurut Fadjry, ke depan upaya penguatan ekosistem riset perlu ada kolaborasi dengan pihak yang menjembatani dalam hilirisasi dan implementasi produk inovasi hingga ke petani atau masyarakat luas. Khusus untuk sektor pertanian, salah satu pihak atau lembaga yang memiliki akses langsung ke masyarakat adalah Kementerian Pertanian.
”Kalau tidak dijembatani, hasil riset seperti dahulu yang tidak sampai atau tidak bisa diterapkan petani. Bagaimanapun harus ada penyesuaian untuk petani yang berbeda sistem maupun budaya,” katanya.
Dalam diskusi beberapa waktu lalu, Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Guru Besar Bidang Teknologi Membran Institut Teknologi Bandung (ITB) I Gede Wenten menegaskan, meski semua lembaga riset sudah melebur, kebebasan para peneliti untuk melakukan riset dan inovasi harus benar-benar dijamin.
Meski demikian, Wenten juga menekankan bahwa kegiatan riset perlu menyesuaikan dengan kebutuhan di hilir atau masyarakat. Apabila hal ini tidak dilakukan, manfaat dari riset dan inovasi tersebut akan berkurang.
Terkait dengan status kepegawaian BRIN, Wenten juga belum meyakini bahwa semua peneliti harus berstatus aparatur sipil negara (ASN). BRIN dinilai perlu melakukan pendekatan lain untuk memberikan ruang bagi para peneliti yang tidak berstatus ASN.