Evaluasi Kelembagaan dan Kepemimpinan BRIN
Peleburan berbagai lembaga riset ke dalam Badan Riset Inovasi Nasional tidak berjalan baik sehingga menghambat kinerja peneliti dan mengganggu berbagai proyek strategis, termasuk penyelesaian vaksin Merah Putih.
JAKARTA, KOMPAS — Peleburan berbagai lembaga riset ke dalam Badan Riset Inovasi Nasional dinilai menyimpang dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Selain itu, transisi manajemen tidak berjalan baik sehingga menghambat kinerja peneliti dan mengganggu berbagai proyek strategis, termasuk dalam penyelesaian vaksin Merah Putih.
Berbagai persoalan terkait Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) ini diungkapkan para peneliti dan akademisi yang tergabung dalam Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi Nasional (MPI) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (28/3/2022). Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurahman.
Hammam Riza, peneliti BRIN yang juga mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2019-2021, mengatakan, peleburan berbagai lembaga riset ke dalam BRIN telah merusak eksosistem riset. ”Kekacauan diperparah oleh kepemimpinan Kepala BRIN dalam menjalankan integrasi,” katanya.
Padahal, menurut dia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tidak mendorong peleburan lembaga-lembaga riset ke dalam BRIN, tetapi lebih pada peran koordinasi untuk menyinergikan antarlembaga. Karena itu, hal ini dinilai sebagai penyimpangan tafsir terhadap UU.
Menurut Hammam, MPI bersurat kepada Presiden Joko Widodo pada 19 Januari 2022 tentang masalah yang dihadapi lembaga dan peneliti setelah peleburan ini. Mereka juga sudah melakukan audiensi dengan Wakil Presiden, menteri, hingga Kantor Staf Presiden (KSP), tetapi belum mendapat tanggapan memadai.
”Saya berterima kasih kepada DPR yang memberi ruang terbuka, demi menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan ilmiah pembangunan di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Hammam, status pegawai negeri sipil membuat banyak peneliti di BRIN mayoritas diam, tetapi sebenarnya tertekan. ”Kami sebagai PNS aktif di BRIN, mohon untuk menyampaikan kebenaran dan ini bukan bentuk pembangkangan sehingga hak-hak ASN kami tetap dilindungi,” ujarnya.
Baca Juga: AIPI: Peleburan Lembaga Eijkman ke BRIN Kemunduran Sains di Indonesia
Maxensius Tri Sambodo, peneliti ekonomi BRIN yang memaparkan temuan MPI berdasarkan wawancara terhadap para peneliti menemukan lima persoalan mendasar yang dihadapi BRIN. Pertama,transisi manajemen tidak berjalan baik sehingga menyebabkan efektivitas penelitian, pengembangan pengkajian, dan penerapan iptek terdegradasi. ”Sampai sekarang banyak peneliti masih menunggu penempatan. Ini kerugian besar bagi bangsa kita karena transisi yang jauh dari prinsip pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Masalah kedua, sentralisasi dan birokrasi semakin rumit. ”Kondisi kerapatan antara riset, bahan, peralatan, anggaran, operator harusnya bergerak dalam satu komando. Namun, saat ini, kondisinya terdisrupsi dan terpisah-pisah sehingga menghambat kinerja,” katanya.
Maxensius mencontohkan, ada kementerian yang memiliki kerja sama dengan partner di luar negeri yang terpaksa menghapus riset dan pengembangan. ”Itu karena mereka merasa tidak punya lagi kewenangan dalam riset dan pengembangan,” katanya.
Masalah ketiga, skema program BRIN dinilai tidak punya visi, misi, dan arah yang jelas. ”Kepala BRIN hanya fokus pada riset dasar dan tidak memiliki agenda riil inovasi. Riset kebijakan untuk menyikapi masalah sosial juga dipersulit,” kata dia.
Maxensius mengatakan, eks perekayasa BPPT juga dipaksa menghasilkan paper sebagai indikator penilaian kinerja. Seharusnya dari awal BPPT dipisah sebagai perekayasa, memanfaatkan hasil riset untuk rekayasa. ”Salah seorang peneliti menyampaikan, sudah cek di luar negeri, China dan Rusia juga begitu, lalu kita merujuk ke mana?” katanya.
Menghambat progam strategis
Maxensius mengatakan, masalah keempat dari BRIN adalah penghentian program strategis nasional yang sebelumnya dijalankan lembaga penelitian, misalnya Drone MALE Kombatan dan Program Pengkajian dan Penerapan Peringatan Dini Tsunami. Hal ini dinilai merugikan investasi riset dan potensi manfaat.
Masalah kelima adalah pelemahan visi dan penyelenggaraan pemajuan iptek nasional. ”Terlihat ada kontradiksi antara visi Presiden dengan visi Kepala BRIN,” katanya.
Peneliti senior BRIN yang juga mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) 2012-2018 Djarot Wisnu Broto menguatkan apa yang disampaikan Maxensius. ”Sampai sekarang saya belum menerima SK penempatan. Ini rapor merah birokrasi yang buruk. Adakah rencana strategis ke depan BRIN? Apa granddesign-nya? Supaya kami di bawah punya pegangan juga. Catatan penting lain, jangan one man show,” katanya.
Sementara itu, mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, apa yang dialami Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menjadi contoh bagaimana kegiatan dan investiasi riset yang sedang berlangsung serta diharapkan semua masyarakat tiba-tiba dihentikan dengan alasan untuk memenuhi proses pembaruan.
”Mereka tidak menghargai apa yang sedang dilakukan peneliti. Dengan sangat menyesal, akhirnya masyarakat tidak lagi mendapat layanan pemeriksaan Covid-19 dan seharusnya masyarakat bisa menerima vaksin Merah Putih, sejak awal 2021 prosesnya jadi terhambat. Proses yang sekarang ini adalah contoh investasi negara Indonesia ini hilang begitu saja,” katanya.
Kami sebagai PNS aktif di BRIN, mohon untuk menyampaikan kebenaran dan ini bukan bentuk pembangkangan sehingga hak-hak ASN kami tetap dilindungi.
Amin mengatakan, kekacauan terjadi karena semua asisten riset diberhentikan dan sebagian besar alat-alat ditarik ke Cibinong. Alat-alat di Lembaga Eijkman dipindahkan secara sepihak oleh BRIN dengan cara sembrono. ”Alat digotong dan dipindah dengan mobil biasa. Padahal, sebelum dipindahkan itu harus di-lock dulu, kalau rusak sangat besar biayanya. Satu unit lab kami, semuanya akan dipindahkan, nilainya Rp 75 miliar. Ongkos pindah 10 persen dari itu. Setelahnya mereka mengganti kunci-kunci di lab Eijkman,” katanya.
Evaluasi BRIN
Menanggapi hal ini, Maman Abdurahman mengatakan, semua partai akan menindaklanjuti secara serius pengaduan MPI ini. ”Saya minta komitmen Komisi VII untuk menjaga mereka (peneliti). Ini institusi ilmu pengetahuan, harusnya pendekatannya lebih rasional, logis, dan manusiawi. Semangat pengintegrasian lembaga riset tidak merugikan semua pihak, termasuk melakukan percepatan riset vaksin Merah Putih. Justru saat ini berimplikasi menganggu kepentingan nasional,” katanya.
Sejumlah anggota Komisi VII mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kelembagaan dan kepemimpinan BRIN. Misalnya, anggota Komisi VII dari PAN Andi Yuiliani Paris mengatakan, dirinya mendapat banyak informasi tentang masalah yang dihadapi BRIN saat ini dari para peneliti yang ditemuinya. ”Masa depan kita gelap dengan adanya BRIN seperti sekarang,” katanya.
Baca Juga: Lembaga Riset Dilebur ke BRIN, Peneliti Butuh Kepastian
Mukhtarudin, anggota Komisi VII dari Fraksi Golongan Karya mengatakan, kelembagaan BRIN bermasalah karena melanggar UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sementara itu, Mulyanto dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, selain masalah kelembagaan, BRIN mengalami masalah kepemimpinan. "Lembaga-lembaga seperti LAPAN, BATAN, dan lain-lain ini di bawah UU, tetapi dilebur oleh Perpres. Lalu masalah kepemimpinan yang otoriter,” katanya.
Mercy Chriesty Barends, anggota Komisi VII dari Fraksi PDI-P mengatakan, partainya sejak awal mendukung penuh BRIN menjadi lembaga riset yang kuat, bukan hanya di nasional, tetapi internasional. ”Dalam pembahasan, muncul dengan pendekatan semi peleburan, bukan peleburan murni. Ada LPMK yang terbentuk berdasarkan UU dan tidak. Harusnya hanya LPMK yang tidak berdasarkan UU yang dilebur, yang sudah berdasar UU, yang diintegrasikan hanya terkait risetnya saja. Keantariksawanan, kenukliran, dan lain-lain itu seharusnya tidak bisa dilikuidasi," katanya.
Menurut dia, di negara lain, semangat riset saat ini juga desentralisasi. ”Kenapa sekarang jatuh menjadi sentralistik seperti sekarang itu memang perlu dievaluasi,” katanya.