Pemberian Makanan Tambahan Lokal Sasar Balita Wasting
Pemberantasan tengkes pada anak balita perlu dimulai dari masalah ”wasting”. Program PMT lokal diharapkan mampu menurunkan angka ”wasting”, tengkes, dan ibu hamil kurang energi kronik serta meningkatkan.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian makanan tambahan dengan bahan pangan lokal akan dimulai dari anak balita dengan kondisi berat badan tidak naik atau wasting. Hal ini untuk mengatasi wasting yang jumlah kasusnya terus naik. Pemenuhan gizi pada anak terus dikejar untuk menurunkan angka tengkes nasional.
Wasting merupakan kondisi anak yang berat badannya menurun seiring waktu, biasanya akibat diare, sehingga total berat badan jauh di bawah standar kurva pertumbuhan berdasarkan tinggi badan. Sementara stunting atau tengkes merupakan tinggi badan rendah menurut usia anak atau gangguan tumbuh kembang akibat kekurangan gizi yang parah sehingga anak menjadi pendek atau sangat pendek.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi mengatakan, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) lokal menyasar anak balita dan ibu hamil kurang gizi. Namun, berbeda dengan program PMT sebelumnya, saat ini pemerintah fokus menyasar anak balita dengan kondisi berat badan tidak naik.
Jika program PMT lokal ini dapat dijalankan dengan baik, setidaknya perekonomian di daerah penghasil bahan pangan lokal akan meningkat, kemudian masalah tengkes dan ’wasting’ akan dapat teratasi.
”Sebelumnya, PMT berfokus pada anak balita kurang gizi dan ibu hamil kurang energi kronik (KEK). Perbedaan dengan hari ini, sekarang kita akan mulai dari anak balita yang angka timbangannya tidak naik karena kenyataannya angka anak balita wasting justru meningkat dibandingkan dengan tengkes,” ucap Maria saat memberikan sambutan pada acara peluncuran Kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Berbahan Pangan Lokal untuk Ibu Hamil dan Anak Balita di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (17/5/2023).
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, persentase anak balita tengkes pada 2022 sebesar 21,6 persen. Besaran ini menurun dibandingkan pada 2021 sebesar 24,4 persen. Di sisi lain, persentase anak balita wasting pada 2022 sebesar 7,7 persen. Besaran ini meningkat dibandingkan pada 2021 sebesar 7,1 persen.
Di sisi lain, persentase anak balita wasting pada 2022 sebesar 7,7 persen. Besaran ini meningkat dibandingkan dengan 2021 sebesar 7,1 persen. Pemerintah telah menargetkan prevalensi anak balita tengkes dapat menurun menjadi 14 persen pada 2024.
”Oleh karena itu, dengan adanya juknis (petunjuk teknis) terbaru ini, kami akan sosialisasikan ke posyandu dan puskesmas di seluruh wilayah Indonesia. PMT akan seluruhnya diatur dan diolah oleh posyandu, kemudian puskesmas juga akan berkoordinasi dengan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) atau pengelola posyandu di setiap daerah,” ujar Maria.
Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin menuturkan, jika anak dengan kondisi wasting tidak segera diintervensi, mereka akan masuk ke tahap tengkes di tahun ini. Meningkatnya persentase anak wasting disebut akibat tidak adanya intervensi di bagian paling awal sebelum masuk ke tahap tengkes.
”Tahapan-tahapan anak menjadi tengkes, itu mirip dengan kanker, ibaratnya stadium satu sampai empat. Kalau bisa, harus ditangani saat masih stadium satu,” kata Budi pada kesempatan yang sama.
Berdasarkan kenaikan itu, pemerintah akan lebih fokus pada PMT lokal bagi anak balita dengan berat badan yang tidak dapat naik. Lebih lanjut, jika persoalan anak balita wasting dapat diatasi terlebih dahulu dan angkanya menurun, angka anak balita tengkes juga akan ikut turun dalam jangka panjang.
Program PMT lokal saat ini menargetkan pada dua persoalan. Pertama, soal penanganan anak balita gizi buruk dan ibu hamil dengan kurang energi kronik (KEK). Kedua, penanganan anak balita wasting dan tengkes. Pada 2022, pemerintah telah menguji coba program tersebut di 31 kabupaten dan 16 kabupaten, di antaranya PMT dengan bahan pangan lokal.
Ketersediaan
Bahan pangan lokal yang diberikan dalam program PMT perlu kaya zat gizi berupa sumber karbohidrat (nasi, jagung, sagu, kentang, dan singkong), sumber protein hewani (telur, ikan, ayam, dan daging) maupun protein nabati (tahu, tempe, kacang-kacangan, atau hasil olahan lainnya). Selain itu, vitamin dan mineral yang berasal dari sayur dan buah.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), setidaknya Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah, dan 228 jenis sayur. Data tersebut menunjukkan potensi pemanfaatan pangan lokal terbuka luas, salah satunya untuk program PMT lokal.
”Sebagian besar ketersediaan bahan pangan lokal kita sudah baik, tapi ada juga beberapa daerah dengan kerawanan pangan. Jadi, sebenarnya penggunaan bahan pangan lokal disesuaikan juga dengan ketersediaan di setiap daerah,” kata Maria.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Satya Sananugraha mengatakan, masyarakat tidak hanya mudah memperoleh bahan pangan lokal, tetapi juga berpotensi meningkatkan perekonomian di daerah penghasil pangan tersebut.
”Jika program PMT lokal ini dapat dijalankan dengan baik, setidaknya perekonomian di daerah penghasil bahan pangan lokal akan meningkat, kemudian masalah tengkes dan wasting akan dapat teratasi,” ujar Satya, Rabu (17/5).