Penyaluran pemberian makanan tambahan untuk anak dengan tengkes belum terealisasi hingga Juni 2022. Hal ini dikhawatirkan dapat menghambat percepatan penurunan prevalensi tengkes di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian makanan tambahan bagi anak balita dengan stunting atau tengkes di semua daerah belum disalurkan. Padahal, makanan tambahan ini amat penting dalam intervensi anak dengan tengkes, khususnya untuk mengejar pemenuhan kebutuhan gizi pada anak.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/7/2022), mengakui jika makanan tambahan untuk penanganan tengkes hingga saat ini belum disalurkan. Kendala tersebut terkait dengan dokumen pelaksanaan anggaran yang belum selesai dibahas.
”Kita masih menunggu revisi DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran). Diharapkan dua sampai tiga minggu ke depan (PMT) sudah bisa disalurkan,” ujarnya.
Nadia mengatakan, perubahan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) turut mengubah DIPA yang sudah direncanakan. Saat ini DIPA sedang direvisi sehingga anggaran di Kementerian Kesehatan, termasuk anggaran untuk penyaluran pemberian makanan tambahan (PMT) dalam penanganan tengkes belum tersedia.
Pemerintah telah menargetkan pada 2024 prevalensi anak balita tengkes bisa menurun menjadi 14 persen. Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi anak balita tengkes sebesar 24,4 persen.
Sebagai upaya untuk mempercepat penurunan tengkes, salah satu yang dilakukan ialah pemberian makanan tambahan untuk memenuhi kekurangan asupan anak dengan gizi kurang, terutama pada usia di bawah dua tahun. Makanan tambahan dalam bentuk biskuit ini setidaknya mengandung sejumlah vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh anak.
Untuk anak usia 6 sampai 11 bulan, makanan tambahan diberikan setidaknya delapan keping per hari sampai status gizi membaik. Makanan tambahan ini bisa diberikan bersama makanan pendamping air susu ibu berbasis lokal.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menuturkan, pemberian makanan tambahan untuk anak dengan tengkes yang belum terealisasi hingga Juni 2022 ini menjadi persoalan yang dihadapi dalam upaya percepatan penanganan tengkes di Indonesia. Makanan tambahan menjadi intervensi spesifik yang krusial untuk mengatasi anak dengan tengkes.
”Mengatasi stunting salah satunya dilakukan dengan memenuhi gizi melalui makanan. Saat ini sudah didapatkan anak-anak dengan stunting. Tentu ini tidak mungkin kita biarkan sehingga harus segera diberikan makanan dengan gizi yang cukup,” katanya.
Kementerian Kesehatan telah menganggarkan sebesar Rp 300 miliar untuk pemberian makanan tambahan bagi anak balita tengkes. Dari besaran tersebut diperuntukkan untuk makanan tambahan lokal sebesar Rp 150 miliar dan makanan tambahan untuk buffer stock atau stok cadangan dan makanan tambahan pabrikan sebesar Rp 150 miliar.
Mengatasi stunting salah satunya dilakukan dengan memenuhi gizi melalui makanan. Saat ini didapatkan anak-anak dengan stunting. Tentu ini tidak mungkin kita biarkan sehingga harus segera diberikan makanan dengan gizi yang cukup.
Terkait dengan kendala penyaluran makanan tambahan dari Kemenkes, Hasto mengutarakan, setiap daerah diharapkan bisa memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Pemanfaatan makanan tambahan berbasis pangan lokal sesuai dengan tata laksana penanganan tengkes bisa dilakukan. Kerja sama dengan mitra, seperti organisasi masyarakat, swasta, dan filantropi, juga bisa dijalankan.
”Meski begitu, penyaluran makanan tambahan dari pusat melalui Kementerian Kesehatan harus tetap dipercepat. Bagaimanapun gizi yang terkandung pada biskuit untuk makanan tambahan dari Kementerian Kesehatan ini sudah terstandar sesuai yang dibutuhkan anak stunting,” ujarnya.