Penyusunan RUU Kesehatan Menjadi Momentum Memperjelas Kewajiban Pusat dan Daerah
Pembagian pemenuhan kewajiban dan hak hidup sehat bagi masyarakat antara pemerintah pusat dan daerah dinilai masih tidak jelas. RUU Kesehatan bisa menjadi pintu masuk membenahi hal ini.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA , KOMPAS - Transformasi sistem kesehatan bisa diwujudkan dan dipercepat melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Kesempatan ini agar juga dimanfaatkan untuk memeratakan kualitas kesehatan di Indonesia dengan memperjelas tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Bartolomeus Hermopan mengatakan, pembagian pemenuhan kewajiban dan hak hidup sehat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih tidak jelas. Contohnya, banyak tenaga kesehatan yang berharap bantuan dari pemerintah daerah, sedangkan hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah pusat. Begitu pun sebaliknya.
”Di sini masih ada puskesmas yang tidak memiliki dokter gigi dan beberapa dokter spesialis. Jika masalah ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, maka akan ada perbedaan pandangan. Banyak dokter akan memilih bertugas di daerah pariwisata yang berpotensi memiliki banyak pasien. Urusan pembagian tenaga kerja dan wilayahnya harus diatur secara nasional agar merata,” tutur Bartolomeus, Selasa (16/5/2023).
Terdapat kesenjangan fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan.
Meskipun begitu, menurut dia, pemerintah daerah masih menghadapi banyak masalah dan tantangan. Di antaranya fasilitas kesehatan belum dapat digunakan secara optimal dan kekurangan sumber daya manusia yang kompeten. Selain itu, problem lain adalah belum memadainya sarana dan prasarana, kurangnya pembiayaan kesehatan, dan banyak masyarakat yang memiliki kesadaran rendah dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Bartolomeus menyarankan agar kewajiban penyedia alat kesehatan untuk menyediakan alat kesehatan yang bermutu tanpa mengabaikan kewajiban pemanfaatan produksi dalam negeri. Selain itu, mempertimbangkan keberatan organisasi profesi kesehatan terhadap RUU Kesehatan serta mengatur secara tegas mengenai distribusi dokter dan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia.
Sependapat dengan Bartolomeus, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, masih banyak dokter di daerah yang tidak memiliki surat izin praktik (SIP) tetapi membuka praktik. Isu seperti itu masih menjadi perhatian pemerintah daerah. Oleh sebab itu, saat ini pemerintah pusat untuk mengambil alih penanganan masalah tersebut.
”Di daerah banyak dokter yang membuka praktik padahal tidak memiliki SIP. Banyak dokter beralasan sudah lama membuka praktik. Jadi ia sudah tidak membutuhkan SIP. Itu seharusnya tugas pemerintah pusat yang menangani. Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah harus jelas dan sesuai,” tutur Robert.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Faizah mengatakan, implementasi tanggung jawab Pemerintah Kota Padang Panjang dalam urusan wajib pada bidang kesehatan sudah dilaksanakan secara optimal untuk mencapai tujuan meningkatkan derajat kesehatan.
”Tantangan dalam pelaksanaan urusan wajib bidang kesehatan adalah komitmen politik dalam bidang pengalokasian anggaran kesehatan sesuai dengan amanat UU Kesehatan,” kata Faizah.
Lima isu utama
Menurut Asisten Ombudsman Mohammad Alfan Ardillah, desentralisasi kesehatan dan tanggung jawab di sektor kesehatan masih menjadi sumber masalah yang sangat signifikan. Padahal, desentralisasi kesehatan bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama untuk masyarakat daerah terpencil agar memperoleh pelayanan yang berkeadilan.
Alfan melanjutkan, terdapat lima isu utama pada desentralisasi kesehatan. Pertama ialah masalah kelembagaan, yaitu kebijakan pusat yang tidak selaras dengan kondisi daerah. Terdapat tumpang tindih kewenangan yang memunculkan masalah, seperti duplikasi program, pengabaian kewajiban, dan sulitnya koordinasi.
Kedua, masalah sumber daya manusia. Tidak semua daerah memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk menjalankan program kesehatan yang efektif dan berkelanjutan. Ketiga, masalah pembiayaan. Kapasitas fiskal daerah relatif kecil dibandingkan tanggung jawab daerah dalam menjalankan urusan wajib daerah.
”Selanjutnya ialah masalah tidak meratanya akses dan pelayanan kesehatan. Terdapat kesenjangan fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan. Terakhir, masalah pengawasan. Pengawasan oleh aparat pengawasan intern pemerintah lemah dan tidak mendapat dukungan sistem informasi yang memadai,” ujar Alfan.
Sebelumnya, RUU Kesehatan mendapatkan penolakan dari lima organisasi profesi di bidang kesehatan. Lima organisasi profesi tersebut adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).