RUU Kesehatan, antara Urgensi dan Pemenuhan Kepentingan Publik
Perbaikan sistem kesehatan nasional yang dilakukan dengan memperkuat regulasi melalui pembahasan RUU Kesehatan merupakan hal baik. Namun, proses pembahasan regulasi tersebut harus dipastikan transparan dan akuntabel.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Tenaga kesehatan memasang spanduk aksi di mobil komando saat aksi demo tolak RUU Kesehatan Omnibus Law di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/11/2022). Demo digelar untuk mendesak anggota DPR untuk mencabut RUU Kesehatan Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional prioritas di tahun 2023. Selain itu, masa aksi menuntut menolak adanya kapitalisasi kesehatan karena dianggap mengorbankan hak kesehatan rakyat dan juga menolak pelemahan profesi dan penghilangan peran organisasi profesi melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Evaluasi terhadap kebijakan dan regulasi nasional terkait sistem kesehatan nasional merupakan keniscayaan di tengah perkembangan situasi kesehatan yang terjadi. Semangat untuk melakukan transformasi sistem kesehatan melalui penerbitan RUU Kesehatan dinilai baik.
Meski begitu, proses penyusunan kebijakan tersebut harus cermat dan melibatkan masyarakat luas. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah melakukan diskusi publik untuk menerima masukan dari berbagai pihak. Namun, sejumlah pihak menilai proses tersebut belum optimal. Sebagian besar masukan yang disampaikan belum terakomodasi dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan Kementerian Kesehatan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal tersebut menimbulkan kekecewaan dan protes, terutama organisasi profesi kesehatan. Pada Senin, 8 Mei 2023, ribuan tenaga kesehatan aksi damai di jalan menuntut agar pembahasan RUU Kesehatan dihentikan. Pembahasan bisa dilanjutkan dengan memastikan transparansi dan keterlibatan masyarakat luas. Aksi damai dilakukan mewakili lima organisasi kesehatan, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Selain organisasi profesi tersebut, kritik juga disampaikan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI). Dalam pernyataan sikap resmi yang disampaikan, kedua organisasi tersebut menyatakan proses pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru, kurang koordinasi, dan tidak transparan. Mereka juga sangat menyayangkan tidak jelasnya tindak lanjut berbagai masukan yang disampaikan dalam kegiatan public hearing yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan.
”Kami memprotes keras ketidakjelasan tindak lanjut dari berbagai masukan yang telah disampaikan saat public hearing RUU Kesehatan. Proses yang dilakukan jangan sekadar formalitas melaksanakan kegiatan partisipasi publik, tetapi kemudian tidak mempertimbangkan dan menyertakan (masukan)-nya ke dalam draf RUU,” ujar Ketua Umum IAKMI Dedi Supratman saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/5/2023).
DEONISIA ARLINTA
Sejumlah peserta aksi damai yang terdiri dari tenaga kesehatan dan tenaga medis mencoba menurunkan spanduk yang bertuliskan dukungan terhadap RUU Kesehatan yang dipasang di depan kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (8/5/2023). Dalam aksi damai tersebut, sejumlah tenaga kesehatan dan tenaga medis menyerukan penolakan RUU Kesehatan. Pembahasan dari rancangan undang-undang tersebut dinilai terburu-buru, tidak terbuka, dan belum mencakup aspirasi publik secara luas.
Untuk itu, perbaikan proses pembahasan pun sangat diperlukan. Pembahasan harus mengutamakan transparansi dan mempertimbangkan berbagai masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan terkait, seperti organisasi profesi kesehatan, asosiasi institusi pendidikan tinggi kesehatan, dan asosiasi kesehatan lainnya.
Kami memprotes keras ketidakjelasan tindak lanjut dari berbagai masukan-masukan yang telah disampaikan saat public hearing RUU Kesehatan. Proses yang dilakukan jangan sekadar formalitas melaksanakan kegiatan partisipasi publik.
Secara terpisah, Ketua Umum Terpilih PP IAKMI Hermawan Saputra menyampaikan, evaluasi kebijakan terkait sistem kesehatan nasional merupakan hal wajar dan patut dilakukan. Sejumlah regulasi yang berlaku sudah terlalu lama, bahkan sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini.
Ia mencontohkan, UU tentang Wabah Penyakit Menular yang belum diperbarui sejak 1984. Selain itu, ada pula Undang-Undang Kesehatan yang sudah berlaku sejak 2009 dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional sejak 2004.
”Banyak regulasi yang dengan dinamika, terutama setelah masa pandemi, betul-betul harus kita selaraskan. Itu memang dibutuhkan, tetapi di satu sisi juga jangan terburu-buru,” kata Hermawan.
Itu sebabnya, proses pembahasan RUU Kesehatan perlu dikawal berbagai pihak agar regulasi tersebut nantinya bisa sesuai dengan pembangunan sistem kesehatan nasional yang diharapkan. Peran partisipasi publik, terutama organisasi profesi kesehatan, menjadi penting untuk memastikan regulasi yang dihasilkan bisa sesuai dengan kondisi yang terjadi di masyarakat.
Masukan
RUU Kesehatan yang akan menjadi payung hukum berbagai kebijakan kesehatan ini perlu dibahas cermat dan hati-hati karena menyangkut banyak aspek dan berbagai kepentingan. RUU Kesehatan tidak sekadar mengatur organisasi profesi kesehatan, tetapi sistem kesehatan secara keseluruhan. Resistensi yang muncul dari sejumlah pihak muncul karena pembahasan yang terkesan terburu-buru dan tidak mengakomodasi masukan pihak-pihak terkait.
Adapun masukan yang disampaikan oleh IAKMI dan AIPTKMI, antara lain, agar kesehatan masyarakat bisa diutamakan dalam aturan yang disusun dalam RUU Kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer pun perlu lebih menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Selain itu, keberadaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia juga diharapkan bisa tetap dipertahankan.
Dalam DIM RUU Kesehatan Nomor 153 disebutkan, keberadaan konsil, kolegium, dan komite masih dimungkinkan. Pada usulan RUU Kesehatan sebelumnya, Konsil Kedokteran Indonesia, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan definisi kolegium diusulkan dihapus.
Guru Besar Fakulas Kedokteran Indonesia yang juga Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Tjandra Yoga Aditama mengatakan, konsil kedokteran diakui di sejumlah negara, termasuk di negara-negara Asia Tenggara. Di Malaysia, konsil kedokteran diatur dalam tingkat parlemen. Di Thailand, konsil kedokteran juga diakui. Bahkan, semua dokter yang sudah mendapatkan lisensi merupakan anggota dari konsil tersebut. Keberadaan konsil pun diakui dan diatur pada regulasi di negara lain, seperti Vietnam, Singapura, dan Kamboja.
”Dari sejumlah negara anggota ASEAN menunjukkan konsil kedokteran memunyai peran amat penting dalam pelayanan kedokteran dan kesehatan, serta punya aturan yang sangat jelas. Tentu harapannya agar RUU Kesehatan kita dapat menghasilkan aturan yang tepat dan jelas tentang konsil di Indonesia,” kata Tjandra.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyerahkan daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan kepada DPR yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Hal lain yang juga patut menjadi perhatian yakni pada aturan terkait pengendalian zat adiktif. Publik diharapkan bisa turut mengawal agar aturan terkait pengendalian zat adiktif, termasuk rokok tetap terjaga, bahkan bisa diperkuat. Itu terkait pula dengan aturan mengenai iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau yang hingga kini aturannya belum kuat.
Program Manajer Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi mengatakan, sejumlah negara di dunia telah melarang iklan dan bentuk pemasaran lain dari produk tembakau. Setidaknya ada 144 negara yang telah melarang iklan rokok. Namun, Indonesia menjadi negara dan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak melarang iklan rokok.
”Pasal zat adiktif menjadi sangat penting karena akan menjadi jangkar dalam berbagai pengaturan terkait produk-produk yang termasuk di dalamnya. Pasal ini harus ada. Namun, ada upaya yang diduga dihembuskan untuk menghilangkan ayat ini dalam omnibus kesehatan,” tuturnya.
Secara terpisah, juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menyampaikan, RUU Kesehatan yang menjadi inisiatif DPR menjadi awal untuk memperbaiki undang-undang yang ada. Pasal-pasal yang terkait perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dinilai bisa menjadi lebih baik.
Ia mengatakan, penolakan pembahasan RUU Kesehatan, terutama dari organisasi profesi kesehatan, justru bisa menghambat kebutuhan perlindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk tenaga kesehatan, seperti dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya.
DEONISIA ARLINTA
Sejumlah peserta aksi damai yang terdiri dari tenaga kesehatan dan tenaga medis mencoba menurunkan spanduk yang bertuliskan dukungan terhadap RUU Kesehatan yang dipasang di depan kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (8/5/2023).
”Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah perlindungan hukum, kenapa tidak dari dulu, sih, organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” ujar Syahril.
Polemik pembahasan RUU Kesehatan yang masih bergulir hingga saat ini menandakan ada perhatian yang besar dari berbagai pihak terhadap regulasi ini. Transparansi, akuntabilitas, dan mampu mengakomodasi masukan dari seluruh pihak terkait harus dipastikan terjadi dalam setiap proses pembahasan. Transformasi pada sistem kesehatan memang dibutuhkan, tetapi kepentingan masyarakat tetap yang diutamakan.