Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan masih menuai pro dan kontra. Meski begitu, publik diharapkan dapat membahas kebijakan tersebut secara rasional.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berbincang dengan peserta setelah audiensi terkait dengan RUU Kesehatan di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin, 17 April 2023, Senin (17/4/2023). Audiensi itu diikuti oleh Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan (P2KP), Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Forum Dokter Susah Praktek (FDSP), Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Kuat (KAMPAK), Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI), dan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB).
JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan masih bergulir. Dukungan maupun pertentangan muncul dari sejumlah pihak. Meski begitu, Rancangan Undang-Undang Kesehatan diharapkan bisa dibahas secara rasional untuk kepentingan masyarakat luas.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penguatan regulasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan diperlukan sebagai upaya mengatasi berbagai persoalan kesehatan di Indonesia. Upaya penguatan tersebut bertujuan pula untuk mendukung enam transformasi sistem kesehatan yang telah dirancang pemerintah.
“Saya akan tetap berjalan sesuai dengan yang ditugaskan kepada saya yaitu untuk meningkatkan akses dan layanan kesehatan. Pada akhirnya, keputusan (RUU Kesehatan) akan dibuat dan ditandatangani oleh pemerintah dan DPR. Jadi, pasti akan terjadi. Setelah itu diketok, mari kita kawal dengan baik,” katanya dalam pertemuan Menteri Kesehatan dengan Koalisi Organisasi Tenaga Kesehatan Pendukung Pembahasan dan Pengesahan RUU Kesehatan di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Dalam kegiatan tersebut setidaknya ada tujuh organisasi yang hadir mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Kesehatan. Antara lain, Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan (P2KP), Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Forum Dokter Susah Praktik (FDSP), Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), dan Farmasis Indonesia Bersatu (FIB).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berfoto dengan peserta setelah audiensi terkait dengan RUU Kesehatan di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin, 17 April 2023, Senin (17/4/2023).
Budi menuturkan, masukan untuk pembahasan RUU Kesehatan terbuka bagi seluruh pihak. Namun, ia menegaskan, keputusan rancangan undang-undang tersebut harus berbasis pada kepentingan masyarakat. Selain itu, ia juga menilai pembahasan perlu dilakukan secara rasional.
“Akhirnya nanti tidak ada yang menang dan kalah. Jadi, kita duduk bersama dan melihat mana yang paling bermanfaat untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Ini perlu dibahas secara rasional, bukan emosional,” ucapnya.
Budi menambahkan, aturan yang menyeluruh diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan di Indonesia. Hal tersebut mulai dari perubahan pada sistem pelayanan primer, sistem pelayanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, serta teknologi kesehatan.
Saya akan tetap berjalan sesuai dengan yang ditugaskan kepada saya yaitu untuk meningkatkan akses dan layanan kesehatan. Pada akhirnya, keputusan (RUU Kesehatan) akan dibuat dan ditandatangani oleh pemerintah dan DPR. Jadi, pasti akan terjadi. Setelah itu diketok, mari kita kawal dengan baik.
Ia menyampaikan, dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diusulkan, pemerintah pun tidak berupaya mengurangi kualitas serta kompetensi tenaga medis di Indonesia. Upaya perlindungan hukum bagi tenaga medis pun tidak dihilangkan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengadakan audiensi terkait dengan RUU Kesehatan di Gedung Keneterian Kesehatan, Jakarta, Senin, 17 April 2023, Senin (17/4/2023).
“Kita tidak mengurangi satu pun pasal mengenai perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan. Kita justru menambah pasal khusus untuk melindungi PPDS (program pendidikan dokter spesialis) dan internsip yang selama ini belum ada. Perlindungan itu juga termasuk dari kasus bullying (perundungan),” ujar Budi.
Ia menambahkan, RUU Kesehatan akan mengatur dokter asing dan dokter diaspora. Dokter asing akan diperkenankan masuk ke Indonesia dengan sejumlah pertimbangan, seperti untuk melayani di daerah pedalaman, meningkatkan ilmu pengetahuan, untuk melayani kebutuhan khusus agar masyarakat tidak berobat ke luar negeri.
Menurut Budi, penerimaan dokter asing tidak dilakukan secara terus menerus. Tetap akan ada batasan jika kebutuhan sudah terpenuhi. Kebijakan ini juga dilakukan untuk meningkatkan pelayanan di masyarakat, seperti untuk mengatasi kurangnya dokter spesialis anak untuk bedah toraks, jantung dan pembuluh darah dalam penanganan anak dengan penyakit jantung bawaan.
Pemerhati pendidikan kedokteran, Benutomo Rumondor yang turut mendukung pembahasan RUU Kesehatan, menyampaikan, terobosan perlu dilakukan untuk meningkatkan pendidikan kedokteran di Indonesia. Selama ini, tidak sedikit dokter diaspora kesulitan berpraktik di dalam negeri karena sulitnya mendapatkan rekomendasi dari organisasi profesi. Padahal, dokter diaspora tersebut berasal dari universitas yang baik di luar negeri.
“Syarat-syarat yang menyulitkan seperti surat rekomendasi sebaiknya tidak berlaku lagi. Yang penting kita harus kawal dan pastikan, dokter diaspora tersebut memang kompeten. Aturan mengenai nama-nama universitas yang diakui perlu dibuat terlebih dahulu. Hal ini sama dengan yang dilakukan di negara lain, seperti Singapura,” katanya.
Dukungan terhadap RUU Kesehatan disampaikan pula oleh Wakil Ketua Umum Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) Deby Vinski. Ia menuturkan, kebijakan untuk menghapus organisasi profesi tunggal di Indonesia tepat dilakukan. Menurut dia, setiap tenaga kesehatan dapat memilih organisasi profesi yang terbaik untuk mereka.
Sebelumnya, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (12/4/2023), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) bersama organisasi profesi medis, yakni Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) memberikan sejumlah masukan terhadap RUU Kesehatan. Salah satunya mengenai pasal terkait organisasi profesi.
PB IDI mengusulkan agar pasal 1 ayat (37) tetap dipertahankan. Pasal tersebut berbunyi, organisasi profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga medis atau tenaga kesehatan yang seprofesi berdasarkan kesamaan keahlian, aspirasi, kehendak, etika profesi, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan. Organisasi profesi diperlukan untuk memproteksi dan mendidik para anggotanya yang terikat pada etika.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah karangan bunga bertuliskan aspirasi pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari sejumlah daerah diletakkan di depan pagar kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/4/2023). Pengurus Besar IDI meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dihentikan.
Selain itu, diusulkan pula agar pasal 314 mengenai organisasi profesi tetap dipertahankan dengan penambahan satu ayat yang berbunyi: untuk dokter organisasi profesinya bernama Ikatan Dokter Indonesia, dokter gigi organisasi profesinya bernama Persatuan Dokter Gigi Indonesia, bidan organisasi profesinya bernama Ikatan Bidan Indonesia, perawat organisasi profesinya bernama Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan apoteker organisasinya bernama Ikatan Apoteker Indonesia.
Sementara DIM dari pemerintah menghapus bagian kesepuluh mengenai organisasi profesi. Keterangan penghapusan bagian tersebut ialah pemerintah mengusulkan UU tidak mengatur organisasi profesi karena pada prinsipnya pembentukan organisasi profesi merupakan hak setiap warga negara untuk berkumpul yang telah dijamin dalam UUD 1945.