RUU Kesehatan Harus Memeratakan Kualitas Layanan Kesehatan
RUU Kesehatan harus bisa memecahkan masalah sumber daya manusia kesehatan yang tidak merata hingga ke pelosok negeri. Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama juga harus diperkuat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Dokter memeriksa perkembangan kesehatan setiap anak yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (27/1/2018). Pengobatan dan perawatan dilakukan intensif oleh tenaga medis dan dokter bagi anak-anak yang menderita campak dan gizi buruk. Beberapa warga mulai pulang ke kampung mereka setelah dipastikan kondisinya membaik. Pendampingan oleh sukarelawan selama beberapa minggu ke depan juga dilakukan di sejumlah kampung yang tidak memiliki fasilitas kesehatan memadai.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi profesi berharap Rancangan Undang-Undang Kesehatan bisa mewujudkan fasilitas pelayanan yang prima dan merata di seluruh Indonesia. Mereka mengusulkan penambahan tenaga medis dan tenaga kesehatan ke pelosok negeri serta penguatan fasilitas di pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Proses penampungan daftar isian masalah sudah memasuki hari kedua pada Selasa (14/3/2023). Forum kedua ini dipimpin oleh Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya yang dihadiri sejumlah organisasi profesi kesehatan. Mereka membahas bab VIII tentang sumber daya manusia kesehatan bagian perencanaan Pasal 197-201 serta pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan Pasal 214-241.
Adapun organisasi profesi kesehatan yang menyampaikan aspirasi antara lain Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Terapis Gigi dan Mulut Indonesia (PTGMI), Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Profesi Optometris Indonesia (Iropin), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Ahli Manajemen dan Administrasi Rumah Sakit (Iamarsi), serta pengurus rumah sakit dan dinas kesehatan dari sejumlah daerah.
Ketua I Pengurus IBI Nunik Endang Sunarsih meminta RUU ini mengutamakan pemerataan profesi bidan hingga ke daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) demi menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia. Menurut dia, bidan memegang peranan penting karena 63 persen dari 4,6 juta kelahiran per tahun di Indonesia ditangani bidan. Selain itu, 76,6 persen pelayanan Keluarga Berencana juga dilakukan oleh bidan.
”Sekarang banyak desa yang belum ada bidannya. Jadi, mohon di perencanaan ini diupayakan di setiap desa ada bidannya. Bisa juga berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain, seperti perawat, untuk menekan AKI dan AKB,” kata Nunik, Selasa (14/3/2023).
Bidan Pita Puspitasari memeriksa kesehatan anak balita di Posyandu Bungur V, Kampung Gajeboh, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (27/1/2021). Dalam sebulan, rata-rata bidan Pita memberikan layanan kesehatan kepada empat ibu hamil dan 70 anak di kawasan Baduy Luar tersebut.
Ketua Iropin Nova Joko Pamungkas juga meminta agar semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia diperkuat agar bisa melayani pemeriksaan mata. ”Kami berharap untuk deteksi dini gangguan penglihatan, screening, promotif, dan preventifnya bisa dilakukan di puskesmas,” kata Nova.
Selain itu, PPNI meminta program satu desa satu perawat. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) Besut Daryanto juga menekankan pentingnya pemerataan kualitas fasilitas dan sumber daya kesehatan di seluruh Indonesia. Hal itu agar tidak terjadi lagi kasus ada dokter tidak ada alat atau sebaliknya.
Bidan memegang peranan penting karena 63 persen dari 4,6 juta kelahiran per tahun di Indonesia ditangani bidan. Selain itu, 76,6 persen pelayanan Keluarga Berencana juga dilakukan oleh bidan.
Sementara Ketua Umum Iamarsi Hariyadi Wibowo menyoroti belum adanya pelibatan organisasi profesi dalam RUU Kesehatan pada bagian perencanaan Pasal 197-201. Dalam pasal tersebut, hanya pemerintah pusat dan daerah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
”Bisa tidak di dalam klausul pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama organisasi profesi terkait yang berkewajiban memenuhi kebutuhan tenaga medis dan tenaga kesehatan,” kata Hariyadi Wibowo. Selain organisasi profesi, akademisi meminta pusat pendidikan kesehatan juga dilibatkan dalam pasal ini.
Pendayagunaan SDM kesehatan
Terkait pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan, Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia (PDPKMI) mengusulkan agar pada Pasal 221 Ayat (2) yang menjamin tenaga medis dan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah 3T untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN), selain mendapatkan tunjangan atau insentif khusus dan jaminan keamanan yang sudah diatur dalam pasal tersebut.
”Karena selama ini banyak tenaga kontrak atau yang diangkat daerah masih mengikuti seleksi lagi,” kata Ade Kurniawan dari PDPKMI.
Tenaga kesehatan membawa poster saat demonstrasi menolak RUU Kesehatan omnibus law di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Ketua Perkumpulan Profesi Kesehatan Tradisional Komplementer Indonesia Mohamad Asyhadi menyoroti kehadiran tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang diizinkan berpraktik di dalam negeri. WNA tersebut harus memenuhi standar pengetahuan yang ada di Indonesia, seperti Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau standar profesi terkait.
”Sehingga standar yang ada di SDM bisa dipenuhi, mulai dari standar praktik, standar pelayanan, standar kompetensi kerja, standar profesi, itu sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan,” kata Asyhadi.
Arianti Anaya menyatakan, kritik dan saran dari semua pihak sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam penyusunan RUU ini mengingat kesehatan adalah hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi. Hingga dua pekan ke depan, masyarakat umum juga bisa menyampaikan aspirasi secara daring melalui laman Partisipasisehat.kemkes.go.id.
”Tujuh puluh persen dari RUU ini adalah RUU-nya kita atau terkait SDM kesehatan. Saya ingin partisipasi ini bisa menjangkau masukan yang banyak dan baik untuk menyempurnakan pasal yang diberikan, yaitu terkait SDM kesehatan,” kata Arianti.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX di ruang rapat Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (24/1/2023). Budi Gunadi memaparkan evaluasi program kerja prioritas nasional dan prioritas bidang Kementerian Kesehatan tahun 2022.
Sebelumnya, DPR resmi mengirimkan draf RUU Kesehatan kepada pemerintah minggu lalu untuk dibahas bersama setelah RUU tersebut disahkan sebagai inisiatif DPR pada sidang paripurna bulan Februari lalu. Presiden menunjuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai koordinator wakil pemerintah untuk membahas RUU ini bersama DPR.
Menteri lain yang ditunjuk Presiden adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah dan DPR berharap RUU Kesehatan dengan metode omnibus law ini mampu mengatasi masalah seperti kurangnya dokter umum dan dokter spesialis, pemerataan tenaga kesehatan yang masih sulit, gizi buruk, serta layanan kesehatan yang tidak sesuai.