Kesenjangan Pendidikan Tantangan Indonesia Emas 2045
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) pada sektor pendidikan tidak sekadar menitikberatkan pada potensi akademik siswa. Pembentukan karakter dan pengembangan keterampilan pun perlu diperhatikan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan pendidikan menjadi salah satu tantangan utama menyongsong Indonesia Emas 2045. Kolaborasi berbagai pihak dalam menyiapkan generasi muda yang kelak menjadi penentu masa depan bangsa sangat dibutuhkan agar bonus demografi tidak berakhir sia-sia.
Kesenjangan pendidikan antardaerah dan antarsatuan pendidikan itu meliputi berbagai hal, antara lain, fasilitas, sumber daya manusia (SDM), dan pengelolaan. Pemerataan aspek-aspek ini berperan penting mengoptimalkan pembelajaran.
”Pemerataan mutu pendidikan ini sedang diupayakan. Bagaimana kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya bisa dipersempit,” ujar Widyaprada Ahli Madya Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Minhajul Ngabidin dalam gelar wicara ”Indonesia Emas 2045: (Re) Definisi Sukses Pendidikan Anak Muda” yang digelar Ashoka Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Minhajul menuturkan, meski 2045 masih 22 tahun lagi, SDM yang akan memegang peranan strategis di tahun tersebut harus segera disiapkan. Selain kesehatan, aspek pendidikan juga penting dalam membangun generasi masa depan yang berdaya saing.
”Anak-anak yang sekarang berada di bangku sekolah akan memimpin pada 2045. Mereka menjadi kunci kemajuan negara kita saat berusia 100 tahun,” katanya.
Menurut Minhajul, salah satu upaya untuk memaksimalkan pembelajaran adalah melalui Platform Merdeka Mengajar dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Melalui platform ini, guru bisa saling berbagi praktik baik.
Akan tetapi, pemanfaatannya belum merata. Sebab, akses internet di sejumlah wilayah, terutama kawasan terdepan, terluar, tertinggal (3T) kurang memadai.
”Bahwa pemanfaatannya tidak bisa mengakses secara merata memang betul. Bukan hanya menyangkut internet, melainkan juga kesiapan SDM,” ucapnya.
Minhajul menambahkan, pembangunan SDM pada sektor pendidikan tidak sekadar menitikberatkan pada potensi akademik siswa. Pembentukan karakter dan pengembangan keterampilan pun perlu diperhatikan.
”Pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Namun, yang berkewajiban atas keberhasilan siswa tidak hanya pemerintah, tetapi juga orangtua dan masyarakat. Jadi, kita harus bangun kolaborasi, termasuk dengan mitra-mitra pembangunan,” ujarnya.
Meski 2045 masih 22 tahun lagi, SDM yang akan memegang peranan strategis di tahun tersebut harus segera dipersiapkan. Selain kesehatan, aspek pendidikan juga penting dalam membangun generasi masa depan yang berdaya saing.
Direktur Regional Ashoka Asia Tenggara Nani Zulminarni menyebutkan, kesenjangan pendidikan merupakan tantangan terbesar Indonesia Emas 2045. Perubahan paradigma pendidikan semestinya dibarengi dengan kesadaran orangtua dalam membentuk karakter anak.
”Tidak akan bisa anak-anak berkembang maksimal potensinya jika lingkungannya tidak berubah. Kemajuan pendidikan itu kolektif sehingga perubahannya pun mesti dilakukan bersama-sama,” katanya.
Oleh sebab itu, Nani mendorong kolaborasi semua pihak untuk memaksimalkan bonus demografi. Menurut dia, tidak adil jika misi Indonesia Emas 2045 hanya dibebankan pada generasi muda.
”Menyiapkan 2045 itu tidak bisa simsalabim. Kalau cara pengasuhan di keluarga tidak diurus, sistem pendidikan sekolah tidak dibenahi, dan nilai-nilai di masyarakat justru destruktif, itu (Indonesia Emas) tidak akan terjadi,” ujarnya.
Pisau bermata dua
Bonus demografi diyakini menjadi modal berharga mewujudkan Indonesia Emas 2045. Sebab, di masa ini, populasi Indonesia akan didominasi penduduk berusia produktif.
Koordinator Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mahendra Arfan menuturkan, pemuda punya peran strategis dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Namun, bonus demografi bisa menjadi pisau bermata dua jika generasi muda tidak dibekali kompetensi mumpuni.
”Pembangunan SDM jangan dilakukan secara pasif, tetapi secara holistik sejak anak-anak. Bonus demografi tidak otomatis terwujud. Ada berbagai prasyarat, seperti kesehatan prima, pendidikan berkualitas, tenaga kerja kompetitif, dan warga lansia yang produktif,” ujarnya.
Inisiator Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab menuturkan, perubahan dalam pendidikan bukan cuma mengubah kebijakan, tetapi diawali dengan perubahan paradigma dan memerlukan proses panjang.