Serangan terhadap Kebebasan Pers di Seluruh Penjuru Dunia
Gelombang ancaman terhadap kebebasan pers tak kunjung surut. Tahun lalu, 67 jurnalis terbunuh di seluruh dunia. pekerja media tidak hanya menjadi sasaran kekerasan secara langsung, tetapi juga di jagat maya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Ancaman terhadap kebebasan pers belum mereda. Intimidasi, penganiayaan, pelecehan, penahanan, hingga pembunuhan terhadap pekerja media terus terjadi. Kebebasan pers sebagai landasan demokrasi diserang di seluruh penjuru bumi.
Sejak tiga dekade lalu, Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati setiap tanggal 3 Mei. Harapan demi harapan pada perbaikan kehidupan pers selalu diapungkan. Namun, awan gelap kekerasan terhadap pers tidak kunjung beranjak.
Sejumlah lembaga, seperti Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) serta Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), menyebutkan 67 jurnalis terbunuh sepanjang tahun lalu. Jurnalis dan pekerja media tidak hanya menjadi sasaran kekerasan secara langsung, tetapi juga di jagat maya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, kebebasan pers memberikan landasan demokrasi dan keadilan. Selain itu, kebebasan pers juga mewakili sumber kehidupan hak asasi manusia.
“Akan tetapi, di seluruh penjuru dunia, kebebasan pers sedang diserang,” ujarnya melalui kanal Youtube United Nations.
Guterres menuturkan, jurnalis sering dilecehkan, diintimidasi, ditahan, dan dipenjarakan. Pekerja media yang terbunuh pada 2022 meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sepuluh tahun lalu, PBB telah membentuk rencana aksi keselamatan jurnalis untuk melindungi pekerja media dan mengakhiri impunitas atas kejahatan yang dilakukan terhadap mereka. “Pada hari ini dan setiap Hari Kebebasan Pers Sedunia, dunia harus berbicara dengan satu suara, hentikan ancaman dan serangan terhadap jurnalis,” katanya.
Guterres juga menyerukan penghentian penahanan wartawan karena pekerjaan jurnalistiknya. Sebab, dunia membutuhkan peran jurnalis untuk mengungkap fakta dan menyampaikan kebenaran pada penguasa.
“Berhenti menargetkan pengungkap kebenaran. Saat jurnalis membela kebenaran, dunia mendukung mereka,” ucapnya.
Guterres menambahkan, kebenaran informasi terancam oleh disinformasi dan ujaran kebencian. Ancaman ini berusaha mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, antara sains dan konspirasi.
“Meningkatnya konsentrasi industri media ke tangan segelintir orang, jatuhnya keuangan sejumlah organisasi berita independen, dan meningkatnya undang-undang dan peraturan nasional yang melumpuhkan jurnalis semakin mengancam kebebasan berekspresi,” jelasnya.
Berhenti menargetkan pengungkap kebenaran. Saat jurnalis membela kebenaran, dunia mendukung mereka.
Perjalanan 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia masih diiringi catatan buram kekerasan yang menyasar pekerja media. Pada akhir April lalu, jurnalis di Haiti, Ricot Jean, tewas setelah sempat diculik oleh sekelompok orang bersenjata.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengutuk pembunuhan tersebut. “Kejahatan yang dilakukan terhadap jurnalis harus diselidiki dan dituntut. Saya meminta pihak berwenang untuk melakukan yang terbaik untuk membendung kekerasan yang dihadapi jurnalis di Haiti dan memastikan perlindungan mereka,” ujarnya dikutip dari laman resmi UNESCO.
Tahun lalu juga diwarnai sejumlah kasus pembunuhan jurnalis. Salah satu kejadian paling menonjol adalah tewasnya wartawan TV Al Jazeera, Abu Akleh (51). Wartawan berkebangsaan Palestina-Amerika Serikat itu ditembak di bagian wajah saat meliput serangan tentara Israel (IDF) di kamp pengungsi Jenin, Tepi Barat.
Indeks kebebasan pers
Berdasarkan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 oleh Reporters Without Borders (RSF) yang dirilis, Rabu (3/5/2023), 31 negara masuk kategori situasi “sangat buruk”, 42 negara kategori “buruk” 55 negara kategori “bermasalah”, serta 52 negara masuk kategori “baik” dan “cukup baik”.
Indeks ini memantau kondisi jurnalisme di 180 negara. Norwegia menempati peringkat pertama selama tujuh tahun berturut-turut. Posisi lima besar lainnya diisi oleh Irlandia, Denmark, Swedia, dan Finlandia.
Sementara lima peringkat terbawa dihuni oleh negara-negara Asia, yaitu Korea Utara, China, Vietnam, Iran, dan Turkmenistan. Adapun Indonesia menempati posisi 108 atau masuk kategori buruk.
Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire menyampaikan, Indeks Kebebasan Pers Dunia menunjukkan volatilitas yang sangat besar dalam berbagai situasi dengan kenaikan dan penurunan besar serta perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa contohnya adalah kenaikan 18 peringkat yang dialami Brasil dan penurunan 31 peringkat oleh Senegal.
Ancaman nyata terhadap kebebasan pers juga terjadi di Indonesia. Sepanjang 2022, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat sedikitnya 51 peristiwa kekerasan terhadap pers yang diarahkan kepada media, wartawan, narasumber, aktivis pers, hingga mahasiswa berkaitan dengan kerja jurnalistik. Dari kasus tersebut terdapat 113 korban individu dan organisasi.
“Lemahnya jaminan kemerdekaan bagi kerja jurnalistik juga diperburuk minimnya perlindungan hukum oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus pers,” ujar Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin.
Ade menyebutkan, pelaku kekerasan terhadap pers masih didominasi aparat penegak hukum, pejabat publik, ajudan, dan kerabatnya. Serangan terjadi secara laporan kasus hukum, fisik, hingga melalui saluran digital.
“Kekerasan di ruang digital terus bertambah tiap tahunnya dan merupakan ancaman serius bagi kemerdekaan pers,” katanya.