Wartawan Masih Menjadi Target Pembunuhan...
Tahun 2022, oleh sejumlah lembaga yang peduli pada keselamatan wartawan, disebutkan menjadi masa yang paling mematikan bagi jurnalis.
This year’s end is an appropriate time to pay tribute to them and to appeal for full respect for the safety of journalists wherever they work and bear witness to the world’s realities. (Christophe Deloire, Secretary General of Reporters Without Borders, 30 December 2022)
Tahun 2022, oleh sejumlah lembaga yang peduli pada keselamatan wartawan, disebutkan menjadi masa yang paling mematikan bagi jurnalis. Reporters Without Borders melaporkan, 80 persen jurnalis yang tewas tahun lalu sengaja disasar untuk dibunuh. Sebanyak 1.668 wartawan terbunuh selama 2003-2022.
Jumlah wartawan yang terbunuh selama tahun 2022 memang beragam. Jikalau Reporter Tanpa Batas atau Reporter Without Borders (RSF) melaporkan 58 jurnalis terbunuh tahun lalu, sebagai jumlah yang terbesar dalam empat tahun terakhir, sejumlah lembaga lain menyebutkan sebanyak 67 wartawan meninggal saat bekerja atau tengah di lapangan.
Lembaga yang menyebutkan 67 jurnalis terbunuh itu, antara lain Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Press Emblem Campaign (PEC), serta Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO). Laporan itu disampaikan secara terpisah pa- da Desember tahun lalu.
Pembunuhan terhadap jurnalis yang menonjol tahun lalu, adalah terhadap Shireen Abu Akleh (51), wartawan TV Al Jazeera, berkebangsaan Amerika Serikat (AS). Ia tengah meliput serangan tentara Israel (IDF) di kamp pengungsi Jenin, Tepi Barat, ketika ditembak di bagian wajahnya, dan meninggal di lokasi, Rabu (11/5/2022). Padahal, ia mengenakan rompi antipeluru dan helm bertuliskan pers.
Wartawan Palestina lainnya, Ali al-Samoudi, yang bekerja untuk surat kabar Palestina, Al Quds , terluka tembak di punggungnya. ”Mereka membunuhnya. Mereka pembunuh berdarah dingin dan terlatih membunuh,” ungkap Ali al-Samoudi (Kompas, 12/5/2022).
Baca juga: Pers di Indonesia Belum Sepenuhnya Bebas
Bukan kali ini saja wartawan dan warga menjadi korban kekerasan militer Israel. Januari 2022, Omar Abdelmajed Assad (71), tewas dalam tahanan Israel. CPJ mencatat, sejak 2001 - 2022, tidak kurang dari 23 wartawan gugur di daerah konflik Palestina-Israel.
Namun, tahun lalu, negara yang dinilai paling berbahaya bagi jurnalis, adalah Meksiko dan Ukraina. Tidak kurang dari 50 jurnalis terbunuh di kedua negara. Padahal, Meksiko tidak sedang dilanda konflik, seperti Ukraina yang pada Februari lalu diserang Rusia.
Direktur Pengelola Al Jazeera Giles Trendle menyatakan, pembunuhan terhadap Shireen tak akan menghentikan medianya, dan kemerdekaan pers, untuk menghadirkan kebenaran dan kabar bagi dunia ini.
Terbunuh meningkat
Dalam laporan yang diterbitkan di Geneva, 14 Desember 2022, PEC menuliskan, sejak Januari 2022, sebanyak 115 pekerja media terbunuh di 29 negara di seluruh dunia. ”Jumlah jurnalis yang terbunuh meningkat 45 persen dibandingkan tahun lalu (79 korban). Ini adalah jumlah korban tertinggi sejak 2018 dengan kemunduran brutal di Eropa akibat perang di Ukraina,” ungkap Presiden PEC Blaise Lempen.
Berdasarkan kawasan tahun lalu, menurut PEC, Amerika Latin menjadi kawasan yang paling berbahaya bagi jurnalis, dengan 39 kasus kematian wartawan, diikuti Eropa dengan 37 korban, Asia (30), Afrika (7), dan Amerika Utara dengan dua orang wartawan terbunuh. Eropa mengalami kemunduran terburuk dalam keamanan bagi jurnalis sejak perang di bekas Yugoslavia dari 1992 hingga 1999.
Amerika Latin menjadi kawasan yang paling berbahaya bagi jurnalis, dengan 39 kasus kematian wartawan.
Di Ukraina, sangat sulit untuk menetapkan penyebab pasti kematian jurnalis tanpa adanya penyelidikan independen. PEC menghitung ada 34 korban sejak awal invasi Rusia pada 24 Februari 2022.
Mengutip Institut Informasi Massa Kyiv, PEC melaporkan, sedikitnya delapan jurnalis di Ukraina tewas saat menjalankan tugasnya, 12 lainnya karena serangan tentara Rusia atau kejahatan lainnya, dan tak kurang dari 14 orang jurnalis meninggal sebagai pejuang Ukraina. Setelah Ukraina, Meksiko adalah negara paling berbahaya dengan 17 korban, angka kematian tahunan tertinggi sejak negara itu berdiri. Mereka menjadi sasaran geng kriminal dalam iklim kekerasan dan impunitas.
Laporan UNESCO menyebutkan, Ukraina, Meksiko, Pa- kistan, dan Haiti sejauh ini adalah negara paling berbahaya bagi jurnalis pada 2022. Diingatkan pula, sangat penting pembunuhan di Ukraina dan di negara lain terhadap jurnalis, tidak dibiarkan. Kejahatan itu harus diselidiki secara independen.
Di kawasan Asia Tenggara, Filipina menjadi negara dengan kasus kematian wartawan, akibat kekerasan yang terbanyak, yakni empat jurnalis meninggal tahun lalu. Tak ada laporan tentang kematian wartawan akibat kekerasan di Indonesia tahun lalu.
Di kawasan Asia Tenggara, Filipina menjadi negara dengan kasus kematian wartawan.
”Lonjakan pembunuhan terhadap jurnalis dan pekerja media lainnya menjadi keprihatinan serius. Satu lagi seruan bagi pemerintah di seluruh dunia untuk mengambil tindakan dalam membela jurnalisme, salah satu pilar utama demokrasi,” kata Sekretaris Jenderal IFJ Anthony Bellanger. Ia juga menegaskan, pembunuhan terhadap wartawan mengancam kebebasan pers di dunia.
IFJ merilis laporannya menjelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, awal Desember lalu, serta mendorong Majelis Umum PBB untuk mewujudkan Konvensi Keselamatan dan Kemerdekaan Jurnalis. Apalagi, tahun 2022 menandai penurunan perhatian pada keselamatan jurnalis saat bekerja. Padahal, wartawan di medan perang atau konflik seharusnya dilindungi oleh semua pihak, sesuai kaidah hukum humaniter internasional.
PEC mengutuk keras serangan terhadap wartawan di lapangan, dan menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini diadili secepat mungkin. PEC juga berharap masyarakat internasional mulai bekerja pada tahun 2023 untuk konvensi internasional guna meningkatkan keselamatan jurnalis. Hal ini akan menjadi langkah maju yang bagus untuk memerangi impunitas dengan lebih baik.
Menurut catatan RSF selama 20 tahun terakhir, lima negara dengan kasus kematian jurnalis lebih dari 80 orang, adalah Irak, Suriah, Meksiko, Filipina, dan Afghanistan. Namun, sepanjang tahun 2022 tidak ada korban di kalangan jurnalis di Afghanistan. Padahal, tahun 2021 tidak kurang dari 12 wartawan terbunuh di negara itu. Namun, banyak jurnalis yang terpaksa mengungsi dari negara itu.
PEC dan CPJ memunculkan nama jurnalis dan pekerja media yang terbunuh pada tahun lalu, terlepas dari kematian mereka terkait dengan pencarian berita atau aktivitas profesional mereka atau tidak. Sulit untuk membuktikan suatu kejahatan terjadi terkait dengan pekerjaan seorang jurnalis tanpa penyelidikan yang independen dan komprehensif.
Sebaliknya, RFS mengingatkan, tidak hanya daerah konflik yang berbahaya bagi jurnalis. Wilayah damai juga bisa berbahaya bagi wartawan, karena adanya kelompok kriminal dan pelaku kejahatan lainnya di negara itu. Wartawan perempuan pun terancam dibunuh. Selama 20 tahun terakhir, RSF mencatat, 81 jurnalis perempuan terbunuh, dengan tujuh orang di antaranya tewas tahun lalu.
Masih ada impunitas
Dalam catatannya, UNESCO menuliskan impunitas ternyata masih berlaku di sebagian besar kejahatan terjadap wartawan di sejumlah negara. Dalang kejahatan itu tak dituntut. Bahkan, tak kurang dari 86 persen kasus kejahatan terhadap jurnalis di sejumlah negara tetap tidak disidangkan, dan pelakunya tetap tidak dihukum. Ten peningkatan kasus kekerasan terhadap wartawan yang diselesaikan di dunia hanya bergerak dari 11 persen tahun 2018 menjadi 14 persen pada 2022.
Dengan kondisi yang makin memburuk, bagi keselamatan jurnalis di seluruh dunia, PEC kembali menyerukan kepada pemerintah negara mana pun untuk segera mengadopsi Konvensi PBB tentang Keselamatan Jurnalis dan Profesional Media lainnya. Selain 13 resolusi tentang keselamatan jurnalis yang diadopsi di PBB, PEC juga mendesak untuk agar pemerintah di negara mana pun mengadopsi instrumen yang mengikat dan memaksa penanganan impunitas atas kekerasan yang menargetkan jurnalis dan personel media. Selain terbunuh, ratusan wartawan di penjara
IFJ juga melaporkan jumlah jurnalis yang berada di balik jeruji besi pada tahun 2022 mencapai 375 orang. China menempati urutan teratas dengan 84 jurnalis yang dipenjara, diikuti Myanmar (64), Turki (51), Iran (34), Belarusia (33), Mesir (23), Rusia dan Krimea dengan 29 jurnalis, Arab Saudi (11), Yaman (10), Suriah (9), dan India yang memenjarakan tujuh jurnalis. "Jumlah itu membuat pembacaan suram dan menimbulkan keraguan serius pada kemauan politik di pihak pemerintah untuk mengatasi ancaman serius terhadap kebebasan media," kata Sekretaris Jenderal IFJ Anthony Bellanger.
Jumlah jurnalis yang ditahan gegara melakukan pekerjaannya membuat Deklarasi Universal tentang HAM, yang diadopsi oleh banyak negara, tak terasa gaungnya. Harimau ompong. Banyak pemimpin negara yang menginisiasi penghormatan HAM hanya sebagai bagian dari pencitraannya.
RSF pun menambahkan, sesuai datanya, jumlah jurnalis yang ditahan secara global tahun ini meningkat. Bahkan, dicatat pula, jumlah jurnalis yang disandera, hilang, atau dibunuh tahun 2022 meningkat, dengan penahanan mencapai rekor tertinggi. ”Rezim diktator dan otoriter mengisi penjara mereka lebih cepat dari sebelumnya dengan memenjarakan jurnalis,” kata Christophe Deloire.
Rekor jumlah jurnalis yang ditahan ini menegaskan kebutuhan utama dan mendesak untuk melawan pemerintah yang tidak bermoral dan memperluas solidaritas bagi kebebasan jurnalistik, kemerdekaan pers, dan pluralisme.
The Intergovernmental Council of The International Programme For The Development of Communication (IPDC) ke- 33 di markas UNESCO, Paris (Perancis), akhir November lalu, yang dihadiri perwakilan Dewan Pers, juga menyoroti masih sering terjadinya kekerasan pada jurnalis. UNESCO pun mendorong anggotanya agar memperkuat kerangka hukum untuk melindungi kemerdekaan pers, meningkatkan kapasitas aparatur peradilannya agar bisa mengikis impunitas dalam perkara terkait pers, dan bekerja sama dengan negara lain untuk mencegah serangan, termasuk tanpa kekerasan, terhadap jurnalis di seluruh dunia.
Ancaman Covid-19
Selain kekerasan, pandemi Covid-19 yang hingga kini masih terjadi di sejumlah negara, juga membunuh jurnalis. PEC melaporkan pada pertengahan Desember 2022, dua wartawan senior di China, yakni Yang Lianghua (74, mantan reporter People's Daily) dan Zhou Zhichun (77, mantan editor China Youth Daily) meninggal akibat Covid-19. Itu adalah kematian pertama yang dilaporkan di China di kalangan jurnalis sejak awal pandemi tiga tahun lalu.
Menurut Presiden PEC Blaise Lempen, hingga Maret 2022, setidaknya 2.000 pekerja media meninggal sebab Covid-19 di 95 negara. Brasil, India, Peru, Meksiko, dan Kolombia menjadi negara dengan lebih dari 80 pekerja medianya meninggal akibat virus korona baru. Di Indonesia, tak kurang dari 43 pekerja medianya meninggal akibat Covid-19.