Kebebasan pers di Tanah Air direpresi dari berbagai sisi, mulai dari kekerasan secara langsung berupa penganiayaan, intimidasi, perampasan alat kerja, serangan siber, hingga melalui berbagai kebijakan yang mengancam.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media mencuat sepanjang 2022. Kebebasan pers di Tanah Air direpresi dari berbagai sisi, mulai dari kekerasan secara langsung berupa penganiayaan, intimidasi, perampasan alat kerja, serangan siber, hingga melalui berbagai kebijakan yang mengancam.
Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers pada 2022 mencatat setidaknya 51 kekerasan terhadap pers. Kekerasan itu menyasar media, wartawan, narasumber, aktivis pers, dan mahasiswa yang menjalankan kerja jurnalistik. Dari kasus tersebut, terdapat 113 korban individu dan organisasi.
Beberapa regulasi juga berpotensi mengancam kebebasan pers, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, UU Pelindungan Data Pribadi terkait peluang kriminalisasi wartawan yang mengungkap rekam jejak kejahatan pejabat publik, serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 dengan pasal-pasal pengawasan yang berlebih terhadap penyelenggara sistem elektronik.
”Tahun 2022 mencatatkan tantangan untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers bertubi-tubi direpresi, baik melalui kekerasan langsung maupun dengan potensi kekerasan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan,” ujar Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam diseminasi laporan tahunan tersebut di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Sejumlah korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dalam suatu kasus. LBH Pers mencatat sedikitnya terjadi 81 bentuk kekerasan dari 51 kasus tersebut.
Intimidasi atau ancaman verbal menjadi yang terbanyak dengan 20 kasus. Selanjutnya penganiayaan dengan 15 kasus dan perampasan alat kerja dengan delapan kasus.
Dalam laporan itu disebutkan pelaku kekerasan paling banyak merupakan oknum aparat. Sementara isu pemberitaan kasus kekerasan tersebut didominasi isu kebijakan, kekerasan seksual, dan kriminal umum.
Kekerasan di ruang digital tak kalah mengkhawatirkan. Sepanjang 2022 sedikitnya terdapat tujuh kasus serangan digital terhadap situs web atau akun media sosial media. Jenis serangannya beragam, seperti metode DDos (distributed denial of service) atau penolakan layanan secara terdistribusi, peretasan, duplikasi situs web, dan penyebaran disinformasi yang bertujuan mendegradasi kredibilitas target serangan.
Kemerdekaan pers itu bukan hadiah dari siapa pun, baik penguasa maupun pemilik media. Namun, harus tetap dijaga, dirawat, dan diperjuangkan (Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia Adi Prasetya)
Untuk memperluas akses bantuan hukum, LBH Pers meluncurkan microsite konsultasi hukum daring secara gratis melalui situs www.lapor.lbhpers.org. Hal ini bertujuan untuk memudahkan komunitas pers dan masyarakat di luar Jakarta dalam berkonsultasi hukum terkait kasus pers.
“Layanan ini tidak hanya untuk wartawan dan media, tetapi juga masyarakat umum yang menyangkut pemberitaan media, hak jawab, dan sebagainya,” ujar Ade.
Kemunduran
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, terjadi kemunduran kemerdekaan pers dalam aspek legislasi. Sejumlah ketentuan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta KUHP berpotensi mengekang kebebasan pers.
“Laporan tahunan LBH Pers semakin menguatkan jika kemerdekaan pers dalam konteks legislasi maupun litigasi tidak dalam kondisi baik-baik saja,” ujarnya.
Sebelum disahkan menjadi undang-undang (UU), Dewan Pers telah menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Beberapa di antaranya pasal 218, 219, dan 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil Presiden.
Ada juga pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, pasal 264 tentang tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
Akan tetapi, masukan yang telah disampaikan ke pemerintah dan DPR itu tidak memperoleh tanggapan balik atau feedback. “Potensi kekerasan yang dialami jurnalis akan semakin besar,” katanya.
Stagnasi terjadi dalam aspek upaya merevisi regulasi yang bermasalah dan penanganan kasus serangan siber terhadap media. Namun, menurut Ninik, terdapat kemajuan dalam kesepakatan penyelesaian kasus terkait pemberitaan.
“Sudah ada MOU (nota kesepahaman) dengan kepolisian. Jika ada kasus pers dilaporkan ke polisi, akan direkomendasikan untuk diselesaikan oleh Dewan Pers,” katanya.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, KUHP tetap perlu digugat ke Mahkamah Konstitusi. Upaya ini tidak semata-mata untuk memenangkan gugatan, tetapi melahirkan diskursus yang membuka wawasan publik.
“Kalau pemerintah membuat undang-undang secara sembunyi-sembunyi dan minim diskursus, kita jangan melakukan hal yang sama. Ruang publik yang menyempit harus kita buka ramai-ramai,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya mengatakan, memasuki tahun politik menjelang pemilu 2024, komunitas media perlu berkolaborasi untuk mengikis kepungan represi terhadap kebebasan pers. Dengan begitu, hak publik untuk mendapatkan berita sejujur-jujurnya bisa terwujud.
“Kemerdekaan pers itu bukan hadiah dari siapa pun, baik penguasa maupun pemilik media. Namun, harus tetap dijaga, dirawat, dan diperjuangkan,” ujarnya.