Cuaca panas dan dingin ekstrem yang terjadi akibat dampak dari perubahan iklim dapat memengaruhi kesehatan anak. Mereka lebih rentan terpapar karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca ekstrem, seperti panas dan dingin di luar batas normal yang terjadi akibat dampak dari perubahan iklim, dapat memengaruhi kesehatan anak. Kerentanan anak terhadap dampak perubahan iklim ini lebih besar dari orang dewasa.
Cuaca panas yang tengah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia saat ini merupakan dampak buruk dari perubahan iklim. Hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan peningkatan suhu sebesar 0,8 derajat celsius dibandingkan dengan periode normal 1981-2010.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarsomengemukakan, dampak perubahan iklim seperti cuaca panas maupun dingin ekstrem dapat berpengaruh terhadap kelompok rentan, seperti anak-anak dan anak balita. Cuaca panas sangat berbahaya dan bisa mengganggu aktivitas anak-anak di luar ruangan.
Anak-anak lebih rentan terhadap bencana iklim karena mereka memiliki perbedaan anatomi, kognitif, imunologi, dan psikologis dibandingkan orang dewasa.
”Dampak perubahan iklim sangat berbeda untuk masing-masing negara yang memiliki empat musim dan dua musim. Namun, pada prinsipnya, anak merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi agar dampak perubahan iklim tidak menghalangi tumbuh kembang mereka,” ujarnya dalam diskusi media secara daring, Selasa (2/5/2023).
Berdasakan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat tiga poin utama dampak perubahan iklim terhadap anak-anak. Dampak tersebut meliputi dampak langsung terhadap kesehatan, melalui perubahan ekosistem, dan perilaku manusia. Sementara satu poin lainnya adalah dampak kesehatan pada anak akibat bencana alam terkait perubahan iklim.
Ketua Satuan Tugas BencanaIDAI Kurniawan Taufiq Khadafi menjelaskan, dampak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan anak terjadi karena perubahan suhu bumi yang ekstrem. Kejadian cuaca ekstrem yang berakibat pada kekeringan dan kebakaran hutan, banjir, ataupun proses presipitasi yang ekstrem juga dapat memengaruhi kesehatan anak-anak.
”Hasil penelitian di Kanada selama 30 tahun pengamatan sejak 1981-2010, terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan suhu bumi yang ekstrem dengan kematian bayi mendadak. Kematian ini terjadi pada bayi berusia 3-12 bulan,” katanya.
Selain cuaca panas, suhu dingin bumi yang ekstrem juga sangat berisiko terutama pada bayi berusia 0-185 hari karena akan menyebabkan hipotermia hingga memicu kematian. Pada periode usia ini, bayi memang harus dijaga agar selalu dalam keadaan hangat.
Kerentanan anak terhadap perubahan iklim ini juga tidak terlepas dari karakteristik mereka yang unik. Sebab, sebagian besar fisiologis anak sangat berbeda dibandingkan dengan orang dewasa.
Karakteristik unik yang dimiliki anak ini di antaranya adalah banyak menghirup dan mudah menyerap bahan berbahaya yang terkandung di udara, banyak bermain di luar rumah serta tidak mampu mengekspresikan keluhan. Mereka juga sangat membutuhkan vaksinasi, pemilihan, dan penghitungan dosis obat yang berbeda dengan orang dewasa.
Selain itu, dari aspek anatomi, proporsi kepala anak-anak juga lebih besar dari orang dewasa. Pada proses normal, anak lebih mudah mengalami dehidrasi dan mudah terpapar bahan hirupan. Dalam proses tumbuh kembang, mereka sulit menghindari situasi berbahaya.
”Terdapat dua situasi yang perlu diantisipasi untuk anak pada suhu panas atau dingin ekstrem. Pada suhu panas ekstrem, agar bayi tidak terkena dehidrasi, perlu diberikan cairan yang banyak. Kemudian, suhu lingkungan juga perlu dibuat lebih dingin,” tutur Khadafi.
Risiko penyakit
Kerentanan anak-anak terhadap dampak perubahan iklim juga ditegaskan dalam hasil studi oleh para peneliti dari Columbia University Mailman School of Public Health, Amerika Serikat, yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS Medicine tahun 2018.
Peneliti juga menyebut bahwa anak-anak lebih rentan terhadap bencanaiklim karena mereka memiliki perbedaan anatomi, kognitif, imunologi, dan psikologis dibandingkan orang dewasa. Peningkatan suhu bumi juga dapat meningkatkan penyebaran penyakit melalui vektor termasuk virus Zika yangsangat memengaruhi kehidupan anak-anak.
Peneliti di Departemen Ilmu Kesehatan Lingkungan Mailman School of Public Health,Madeleine Thomson,dikutip dari situs Columbia University menyatakan, cuaca ekstrem sangat berisiko membuat anak-anak dan bayi menjadi dehidrasi serta terkena tekanan panas. Bahkan, hal ini akan menyebabkan anak-anak lebih berisiko terkena penyakit pernapasan, ginjal, ketidakseimbangan elektrolit, dan demam periode cuaca panas.
Guna menangani kebutuhan khusus anak-anak terhadap dampak perubahan iklim ini, para peneliti pun mendorong agar konsorsium internasional dapat mengembangkan protokol medis. Hal ini termasuk sejumlah upaya yang dapat diadopsi untuk mengatasi kebutuhan khusus anak yang tidak terpenuhi saat terjadi bencana alam terkait iklim.
Selain itu, perlu juga dikembangkan pedoman dan strategi untuk menangani kebutuhan anak-anak terkait dengan risiko kesehatan akibat perubahan iklim. Di sisi lain, pihak-pihak terkait perlu membantu dan memberikan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan anak di negara-negara yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim.