Krisis Iklim Rampas Hak Anak-anak
Unicef menyebutkan, anak-anak jauh lebih rentan terdampak krisis iklim dibandingkan orang dewasa. Anak-anak secara fisik lebih lemah dan kurang mampu menghadapi kejadian ekstrem akibat anomali iklim.

Perempuan dan anak-anak menunggu di bawah naungan payung di tempat distribusi makanan di kota Adi Mehameday, di wilayah Tigray barat Etiopia, Sabtu, 28 Mei 2022. Kelaparan mencengkeram jutaan orang di Etiopia, saat bersamaan harus menghadapi kombinasi konflik di utara dan kekeringan di selatan.
Krisis iklim merupakan bencana yang berdampak secara tidak langsung pada hak-hak anak, di antaranya hak mendapatkan pendidikan, kesehatan yang layak, akses air bersih, dan ketahanan pangan. Demi menjamin kehidupan layak di masa datang perlu kebijakan berbasis lingkungan yang menempatkan anak sebagai prioritas pembangunan berkelanjutan.
Kejadian gelombang panas, banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem kian lazim terjadi di banyak negara. Implikasi lanjutannya adalah kelaparan, akses air bersih lebih sulit, hingga ancaman penyakit menular. Saat ini, krisis iklim tengah bergerak ke arah perburukan karena laju pemanasan global yang belum teratasi.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat, tahun 2022 menjadi tahun kedelapan dengan suhu terpanas sejak 2014. Pada tahun ini pun tampaknya tidak terlihat tanda-tanda alam yang membaik karena prediksi suhu oleh Badan Meteorologi Nasional Inggris di pertengahan tahun 2023 ini kenaikannya masih di atas 1 derajat celsius.
Situasi tersebut merupakan mimpi buruk bagi anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, anak-anak jauh lebih rentan terdampak krisis iklim ketimbang orang dewasa. Anak-anak secara fisik lebih lemah dan kurang mampu menahan sekaligus menghadapi kejadian ekstrem.
Alih-alih hidup secara layak, anak-anak justru harus berada di dalam situasi yang rentan karena krisis iklim. Berdasarkan laporan Unicef yang berjudul ”The climate crisis is a child rights crisis” tahun 2021, hampir semua anak-anak di dunia menghadapi berbagai ancaman krisis iklim. Diprediksi, 820 juta anak berisiko dilanda gelombang panas dan 400 juta anak-anak lainnya hidup di wilayah rawan badai siklon.
Hak anak untuk hidup layak makin terancam dengan kian tingginya bencana hidrometeorologi. Sedikitnya 330 juta anak sangat berisiko terdampak banjir yang makin ekstrem. Ancaman banjir rob yang kian meluas turut mengancam keselamatan 240 juta anak di sejumlah negara di dunia.
Tidak hanya kebencanaan, Unicef juga memperkirakan ada 920 juta anak yang harus hidup di tengah kelangkaan air bersih. Anomali iklim turut memperparah degradasi lingkungan, termasuk hilangnya sumber-sumber air bersih. Oleh karena itu, 600 juta anak diperkirakan rentan tertular berbagai jenis penyakit serta vektor penyakit, seperti malaria dan demam berdarah.
Ada sejumlah risiko yang berpotensi akan dihadapi anak-anak di seluruh dunia. Apabila dikumpulkan, setidaknya ada enam risiko, mulai dari gelombang panas, banjir, kekeringan dan kelangkaan air bersih, kelaparan, penyakit, hingga polusi udara. Untuk melihat besarnya risiko tersebut, Unicef membuat pemodelan berbasiskan enam risiko terbesar beserta populasi terdampaknya.
Baca juga: Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim

Hasil analisis pemodelan menunjukkan ada 80 juta anak yang terpapar enam risiko krisis iklim tersebut, mulai dari gelombang panas hingga polusi. Apabila jenis risiko dikurangi menjadi lima, jumlah anak yang berisiko melejit empat kali lipat, yaitu mencapai 330 juta jiwa.
Semakin sedikit risiko krisis iklim yang mengancam dalam simulasi pemodelan itu, jumlah anak yang terpapar membesar hingga dua kali lipat. Bahkan, terhitung hampir semua anak di seluruh dunia terpapar sedikitnya satu kondisi ekstrem akibat krisis iklim. Artinya, tidak ada satu anak pun di dunia yang terbebas dari ancaman krisis iklim.
Puncak krisis iklim
Krisis iklim diproyeksikan oleh Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang mencapai titik puncaknya pada tahun 2040 saat suhu global telah meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius. Kenaikan suhu tersebut dibandingkan dengan periode pra-industrialisasi, yaitu pada kurun waktu 1800 hingga 1850-an. Oleh karena itu, urgensi penanganan krisis iklim makin menguat karena peluang peningkatan suhu hingga melebihi batas 1,5 derajat celsius makin membesar di masa-masa mendatang.
Saat ini, prediksi kenaikan suhu global makin mendekati batas maksimal yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius merupakan batas maksimal yang masih bisa ditoleransi manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi.
Dalam skenario terburuknya, WMO memprediksi 93 persen suhu terpanas akan muncul kembali hingga tahun 2026 dan menggeser tahun 2016 sebagai tahun terpanas di sepanjang sejarah manusia. Skenario kenaikan suhu tersebut selaras dengan prediksi yang dilakukan Badan Meteorologi Nasional Inggris.
Estimasi Badan Meteorologi Nasional Inggris menunjukkan, kenaikan suhu tahunan pada 2023 berkisar 1,08-1,32 derajat celsius. Titik tengahnya adalah 1,2 derajat celsius. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2022 yang kenaikannya 1,15 derajat celsius dibandingkan dengan periode pra-industrialisasi.
Saat suhu global melampaui batas toleransinya, keseimbangan lingkungan akan runtuh. Apabila tahun 2040 menjadi puncaknya, kehidupan manusia berada pada titik nadir kenyamanannya. Stabilitas iklim dan cuaca terganggu sehingga muncul banyak banjir, tanah longsor, kekeringan, hingga gelombang panas.
Bagi wilayah pesisir, kenaikan muka air laut akan menyebabkan kerusakan besar. Intrusi air laut akan meluas dan masuk ke sistem-sistem air tanah sehingga ketersediaan air bersih akan kian sulit. Anomali cuaca dan iklim juga mengakibatkan gelombang besar yang merusak infrastruktur pesisir, termasuk rumah-rumah warga.
Anak-anak akan hidup pada kondisi memilukan saat ratusan hingga ribuan spesies hewan dan tumbuhan harus punah. Laporan IPCC tahun 2022 menyebutkan, sedikitnya 6 persen spesies serangga, 8 persen spesies tanaman, dan 4 persen spesies vertebrata akan musnah. Banyak ekosistem di bumi terdegradasi dan rusak permanen karena krisis iklim tersebut.
Baca juga: Anomali Iklim dan Rekor Suhu Terpanas Bumi

Penduduk desa berkumpul selama kunjungan Martin Griffiths, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan, di Desa Lomoputh di Kenya bagian utara pada 12 Mei 2022. Griffiths mengunjungi daerah tersebut untuk melihat dampak kekeringan yang menurut PBB adalah keadaan darurat kemanusiaan akibat iklim yang parah di Afrika.
Biota laut pun turut terdampak karena kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat celsius itu. Diproyeksikan 70-90 persen keberagaman spesies terumbu karang akan musnah dari lautan. Air laut akan makin asam karena kenaikan karbon dioksida sehingga banyak spesies ikan punah. Implikasinya, industri perikanan yang bertumpu pada laut diperkirakan mengalami penurunan produksi hingga 3 miliar ton setiap tahun.
Demi menjamin keberlangsungan masa depan anak-anak dan generasi mendatang, satu-satunya solusi jangka panjang yang dapat dilakukan adalah mengurangi emisi gas rumah kaca. Saat ini ada tiga gas yang paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global, yaitu karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Ketiganya terpantau meningkat tajam lebih dari 100 persen dibandingkan dengan pra-industrialisasi.
Tekan emisi
WMO mencatat kadar karbon dioksida tahun 2021 telah mencapai 415,7 ppm (parts per million) atau 149 persen lebih tinggi daripada periode pra-industrialisasi. Sementara kadar metana mencapai 1.908 ppb (parts per billion) atau naik 262 persen, dan kadar nitrogen oksida yang meningkat hingga 124 persen atau sebesar 334,5 ppb.
Upaya penurunan emisi karbon harus diinisiasi di level nasional karena membutuhkan kerja kolaborasi banyak pihak. Salah satu instrumen untuk mengukur keseriusan sebuah negara dalam menekan emisi karbon adalah Dokumen Kontribusi Nasional (NDC). Target yang dimaksud adalah mencapai net-zero emissions atau semua karbon yang lepas ke atmosfer dapat diserap kembali oleh alam.
Sayangnya, penurunan emisi karbon untuk mengurangi dampak krisis iklim itu tampaknya masih jauh dari target. Berdasarkan pantauan Climate Action Tracker, pembaruan komitmen negara melalui NDC hingga Februari 2023 sangat rendah. Baru ada lima negara, yaitu Australia, Norwegia, Singapura, Thailand, dan Uni Emirat Arab, yang menunjukkan penguatan target.
Baca juga: Perubahan Iklim Turut Memperparah Gangguan Mental

Seorang wanita berjalan di daerah yang terkena dampak kekeringan di dekat Sungai Solimões, di Tefe, Negara Bagian Amazonas, Brasil, Rabu, 19 Oktober 2022. Berbulan-bulan setelah mengalami banjir yang menghancurkan tanaman, ribuan keluarga di Amazon, Brasil, kini menghadapi bencana yang parah, kekeringan.
Kebijakan di level nasional penting untuk diselaraskan dengan kepentingan hak anak-anak dalam konteks krisis iklim. Keberhasilan menekan emisi karbon akan membawa banyak perubahan dan perbaikan lingkungan yang ditinggali anak-anak.
Sembari negara menguatkan pengurangan emisi karbon, ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerentanan sekaligus meningkatkan kapasitas anak-anak di tengah situasi krisis. Langkah pertama adalah peningkatan akses ke layanan air bersih, sanitasi, dan fasilitas kebersihan lainnya. Implikasinya terletak pada pemenuhan gizi dari ketercukupan pangan dan air sehingga anak-anak tumbuh dengan layak.
Langkah kedua adalah penguatan pendidikan anak yang terintegrasi dengan aspek ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan. Berikutnya, pemerintah perlu meningkatkan layanan kesehatan untuk anak-anak agar pertumbuhannya terpantau secara memadai. Terakhir, program pembinaan dan pelatihan bagi anak-anak. Pemerintah pun perlu menyiapkan skema perlindungan sosial.
Semua langkah tersebut adalah upaya konkret untuk menjamin hak anak-anak di tengah krisis iklim. Sikap abai pemerintah terhadap krisis iklim hanya akan memperburuk kondisi lingkungan di masa mendatang. Implikasinya, hak anak-anak akan terampas dan menyisakan masa depan yang suram bagi generasi selanjutnya. (LITBANG KOMPAS)