Dampak Buruk Gelombang Panas Terjadi pada Negara dengan Adaptasi Rendah
Sebuah studi menyoroti sejumlah negara yang paling berisiko terkena dampak buruk dari gelombang panas. Dampak buruk tersebut diakibatkan buruknya langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang dilakukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah hasil studi terbaru menyoroti sejumlah negara yang paling berisiko terkena dampak buruk dari gelombang panas.Dampak buruk tersebut diakibatkan ketiadaan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi saat terjadi kenaikan suhu panas secara ekstrem hingga memengaruhi aspek sosial ekonomi masyarakat.
Hasil studi yang dipimpin para peneliti dari University of Bristol dan telah terbit di Nature Communications, 25 April 2023, menunjukkan bahwa gelombang panas ekstrem sangat berdampak terhadap negara, seperti Afghanistan, Papua Niugini, dan Amerika Tengah. Beberapa negara di Eropa Tengah dan di Asia, yakni China, juga masuk dalam daftar ini.
Dampak gelombang panas semakin besar ketika dikombinasikan dengan kerentanan sosial ekonomi di negara tersebut. Bahkan, dampak gelombang panas dapat memengaruhi sebagian besar populasi dan penyediaan layanan kesehatan serta energi.
Kita perlu bertanya apakah sudah cukup rencana aksi yang dilakukan setiap negara untuk menghadapi gelombang panas ini.
Negara-negara yang belum pernah mengalami gelombang panas paling intens sering kali sangat rentan terhadap cuaca ekstrem. Sebab, negara tersebut masih abai dan langkah-langkah adaptasi sering kali baru diterapkan setelah terjadinya peristiwa tersebut.
Peneliti iklim University of Bristol Cabot Institute for the Environment,Vikki Thompson, mengatakan, saat ini intensitas gelombang panas sudah sering terjadi sehingga semua pihak perlu melakukan upaya antisipasi. Oleh karena itu, para peneliti mulai mengidentifikasi negara mana saja yang paling berpotensi terdampak gelombang panas.
”Beberapa di antaranya merupakan populasi padat, kemudian negara berkembang, dan negara lainnya memang sudah teridentifikasi memiliki cuaca sangat panas. Jadi, kita perlu bertanya apakah sudah cukup rencana aksi yang dilakukan setiap negara untuk menghadapi gelombang panas ini,” ujar Thompson yang juga penulis utama studi ini dikutip dari situs resmi University of Bristol, Rabu (26/4/2023).
Dalam studi ini, para peneliti menggunakan statistik nilai ekstrem yang merupakan sebuah metode untuk memperkirakan periode ulang peristiwa langka. Peneliti juga menggunakan kumpulan bigdata dari model iklim dan pengamatan untuk menunjukkan dengan tepat wilayah dengan bahaya gelombang panas ekstrem terbesar.
Profesor Ilmu Atmosfer di University of Bristol Cabot Institute for the EnvironmentDann Mitchell mengatakan, para peneliti telah melihat beberapa gelombang panas yang paling tidak terduga di seluruh dunia tetapi menyebabkan kematian hingga puluhan ribu orang.
”Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa peristiwa pemecahan rekor cuaca panas dapat terjadi di mana saja. Pemerintah di seluruh dunia perlu bersiap,” katanya.
Perubahan iklim yang disebabkan manusia menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi gelombang panas hingga berpotensi menyebabkan ribuan kematian berlebih secara global.Meningkatkan pemahaman tentang upaya menghadapi iklim ekstrem dapat membantu memprioritaskan mitigasi di wilayah yang paling rentan.
Berangkat dari temuan tersebut, para peneliti pun mendorong agar semua pihak, khususnya pembuat kebijakan, di setiap negara terdampak gelombang panas dapat mencanangkan rencana aksi yang relevan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko kematian dan bahaya lainnya terkait cuaca ekstrem.
Suhu Indonesia
Meski tidak terkena dampak gelombang panas, beberapa hari terakhir sejumlah wilayah di Indonesia juga dilanda suhu panas. Menurut penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu panas yang terjadi di Indonesia merupakan fenomena dari adanya gerak semu matahari sebagai suatu siklus yang terjadi setiap tahun.
BMKG mencatat, sepanjang periode pengamatan 1981-2020, tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesiadengan nilai anomali 0,8 derajat celsius. Tahun 2020 menempati urutan kedua sebagai tahun terpanas dengan nilai anomali 0,7 derajat celsius. Kemudian disusul tahun 2019 di urutan ketiga dengan nilai anomali 0,6 derajat celsius.
Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam State of the Climate 2022 yang terbit awal 2023 menyebut, tahun 2022 menempati peringkat keenam terpanas dunia. Kemudian 2015-2022 merupakan periode delapan tahun terpanas dalam catatan WMO.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG Dodo Gunawan dalam peringatan Hari Meteorologi Dunia beberapa waktu lalu mengatakan, dampak perubahan iklim tidak hanya sebatas cuaca ekstrem, mencairnya salju, krisis air bersih, atau meningkatnya wabah penyakit. Lebih dari itu, perubahan iklim juga membawa kerugian ekonomi dan juga politik.
Ia menekankan bahwa tidak ada satu negara pun yang aman dari efek percepatan perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia juga harus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif dan terukur guna menahan laju perubahan iklim.