Udara Panas di Indonesia Bukan Termasuk Gelombang Panas
Lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat celsius di Ciputat, pekan lalu hanya terjadi dalam sehari dan kini telah turun. Suhu maksimum di sejumlah lokasi kini terpantau antara 34 hingga 36 derajat celsius.
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena udara panas di Indonesia tidak termasuk dalam kategori gelombang panas yang melanda daratan Asia selama sepekan terakhir. Lonjakan suhu yang tercatat mencapai 37,2 derajat celsius di Balai Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II, Ciputat, pada Senin (17/4/2023) lalu, kini dilaporkan telah menurun.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan menyampaikan, Indonesia tidak mengalami fenomena heatwave atau gelombang panas. Fenomena memanasnya suhu di Indonesia disebut sebagai fenomena udara panas.
”Indonesia sifatnya bukan gelombang panas melainkan udara yang terasa panas dan tingkatnya tidak sampai seperti fenomena gelombang panas. Suhu di wilayah Indonesia bisa saja mencapai suhu maksimum, yakni 37 derajat celsius,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (25/4/2023).
Dodo menjelaskan, Indonesia tidak mengalami gelombang panas lantaran secara geografis Indonesia terletak di wilayah ekuator dan terdiri atas pulau-pulau serta perairan. Sementara gelombang panas umumnya terjadi di wilayah yang terletak pada lintang menengah ke atas baik di belahan Bumi Utara maupun di belahan Bumi Selatan dan terjadi di wilayah geografis yang memiliki atau berdekatan dengan massa daratan dengan luasan yang besar, wilayah kontinental, atau subkontinental.
”Gelombang panas itu memang terjadi di daerah-daerah yang daratannya luas, biasanya di lintang tinggi. Kalau Indonesia, kan, berselang-seling pulau sehingga relatif ada pendinginnya, yaitu air laut,” ucap Dodo.
Fenomena gelombang panas terjadi akibat berkembangnya pola cuaca sistem tekanan atmosfer tinggi di suatu area yang luas dan terjadi secara persisten dalam beberapa hari. Perkembangan cuaca itu berkaitan dengan aktivitas gelombang Rossby atau fenomena alam pada lapisan atmosfer yang mengindikasikan potensi berkumpulnya awan hujan di troposfer bagian atas.
Tekanan pergerakan udara di atmosfer bagian atas menyebabkan suhu permukaan suatu area meningkat. Kemudian, tekanan udara pada atmosfer tinggi juga menyulitkan aliran udara dari daerah lain mengalir masuk ke area tersebut sehingga tidak ada umpan balik positif antara daratan dan atmosfer yang mengakibatkan panas semakin meningkat serta awan sulit tumbuh.
”Awalnya, berasal dari faktor radiasi matahari yang memanaskan atmosfer dan daratannya. Kemudian, terjadi perbedaan pemanasan yang besar antarlapisan. Udara panas yang disebabkan proses tersebut biasanya akan bergerak di daratan sebagai gelombang. Disebut sebagai gelombang panas karena dia menjalar di sebuah daratan,” lanjut Dodo.
Mengacu pada indikator statistik gelombang panas, fenomena meningkatnya suhu di Indonesia masih tergolong normal. Secara definitif, periode kenaikan suhu panas yang tidak biasa setidaknya berlangsung lima hari berturut-turut atau lebih sebagaimana batasan yang ditentukan oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO).
Selain itu, suhu maksimum harian yang melebihi ambang batas statistik di suatu lokasi tercatat 5 derajat celsius lebih panas dari rata-rata suhu maksimum. Jika suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama, fenomena itu tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.
”Suhu panas di Indonesia bukan gelombang panas dan suhu maksimum harian sudah mulai turun. Dari segi karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia adalah fenomena gerak semu matahari yang merupakan siklus setiap tahun. Potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahun,” kata Kepala BMKG Dwikorita dalam keterangan resminya.
Ada indikasi datangnya kemarau lebih cepat dan berakhirnya lebih lama. Kemarau itu akan dimulai dari kawasan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, sampai puncaknya Sumatera.
Lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat celsius melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pekan lalu hanya terjadi satu hari, yakni pada Senin (17/4). Kini, suhu tinggi tersebut telah turun dan suhu maksimum di sejumlah lokasi terpantau berada dalam kisaran 34 hingga 36 derajat celsius.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kisaran suhu tersebut masih tergolong normal. Untuk Jakarta, secara klimatologis, April, Mei, dan Juni adalah bulan-bulan suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober hingga November.
”Masyarakat disarankan agar tidak perlu panik menyikapi informasi tersebut serta mengikuti dan melaksanakan imbauan, seperti menggunakan pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktivitas di luar ruangan," lanjut Dwikorita.
Potensi kemarau panjang
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, menyampaikan, Indonesia bebas dari fenomena gelombang panas berkat letak geografisnya yang terdiri atas dua pertiga laut dan satu pertiga daratan. Walakin, fenomena suhu panas yang terjadi belakangan, kata Eddy, berpotensi menjadi salah satu indikasi El Nino atau fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah yang memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
”Hasil pengamatan saya, ada indikasi bahwa datangnya kemarau lebih cepat dan berakhirnya lebih lama. Kemarau itu akan dimulai dari kawasan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, sampai puncaknya Sumatera. Saat itulah kebakaran hutan mulai bermunculan akibat kelembaban tanah yang berkurang dan tanah gambut tidak lagi basah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Eddy, tanda-tanda terjadinya siklus kemarau panjang ini serupa dengan tahun 2015 dan tahun 2016. Pasalnya, sejak Agustus 2020, Indonesia telah mengalami musim basah panjang akibat hujan berlebih.
Oleh sebab itu, potensi terjadinya kemarau panjang yang kemungkinan bisa mencapai lebih dari 9 bulan ini perlu diwaspadai, terutama di kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa. Berdasarkan prakiraan, matahari akan mencapai puncaknya di belahan Utara pada 22 Juni 2023.
Baca Juga: Asia Terpanggang Panas Ekstrem, Suhu Tertinggi Indonesia Tercatat di Ciputat
”Kita perlu memonitor suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, Hindia, dan di kawasan lautan Indonesia. Semakin suhu di Samudra Pasifik itu naik dan melebihi batas normalnya, awan-awan di Indonesia akan bergeser ke sana. Artinya, kita perlu bersiap menghadapi kemarau panjang baik dari sektor pertanian, perairan, maupun kesehatan masyarakat,” lanjut Eddy.
Gelombang panas di Asia
Berdasarkan data lonjakan panas di wilayah subkontinen Asia Selatan, kawasan Indochina, dan Asia Timur, tahun ini termasuk yang paling signifikan lonjakannya. Para pakar iklim menyimpulkan bahwa tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering.
Sebelumnya, badan meteorologi di negara-negara Asia, seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos, melaporkan peningkatan suhu hingga mencapai lebih dari 40 derajat celsius yang terjadi selama beberapa hari. Di Bangladesh, misalnya, Kumarkhali menjadi daerah terpanas dengan suhu maksimum harian yang tercatat 51,2 derajat celsius pada 17 April 2023.
Baca Juga: BMKG Peringatkan Potensi Cuaca Ekstrem Selama Mudik Lebaran
Reuters melaporkan, terhitung sejak 1992, panas ekstrem telah menyebabkan lebih dari 24.000 orang meninggal di India, meningkatkan polusi udara, dan mempercepat pencairan gletser di India Utara. Peneliti dari University of Cambridge, Ramit Debnath, mengatakan, sebanyak 90 persen dari total wilayah India kini berada di zona bahaya panas ekstrem dan mereka tidak sepenuhnya siap menghadapi itu.
Di sisi lain, panas ekstrem dapat menyebabkan penurunan kapasitas kerja di luar ruangan hingga 15 persen, mengurangi kualitas hidup 480 juta orang, serta menghabiskan biaya 2,8 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2050. Berdasarkan Laporan Transparansi Iklim yang dikeluarkan organisasi lingkungan tahun 2022, turunnya produktivitas akibat suhu tinggi yang ekstrem dapat merugikan 5,4 persen PDB India.