Suhu panas yang terjadi dalam sepekan terakhir patut diwaspadai. Dalam kondisi panas seperti saat ini risiko dehidrasi amat tinggi. Itu sebabnya pastikan asupan cairan tubuh tetap terjaga.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar sepekan terakhir, suhu panas terjadi di sebagian besar negara di Asia Selatan. Kondisi serupa dialami Indonesia dengan suhu maksimum yang dilaporkan mencapai 37,2 derajat celsius di stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika di Ciputat, Tangerang Selatan.
Suhu panas tersebut perlu diantisipasi oleh masyarakat. Cuaca yang panas dapat berdampak buruk pada kesehatan, mulai dari dehidrasi, lemas, hingga bisa berujung pada kematian. Itu sebabnya setiap orang diharapkan bisa menjaga suhu tubuhnya tetap stabil.
”Suhu tubuh manusia yang normal sekitar 36-37 derajat celsius. Namun, tubuh dapat cepat beradaptasi dengan suhu di lingkungan sekitarnya. Jika di lingkungan sedang dalam kondisi panas, tubuh akan berusaha mengeluarkan suhu panas. Pembuluh darah dapat melebar sehingga kulit pun akan memerah,” ujar staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Trevino Aristarkus Pakasi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (25/4/2023).
Suhu tubuh manusia yang normal sekitar 36-37 derajat celsius. Namun, tubuh dapat cepat beradaptasi dengan suhu di lingkungan sekitarnya. Jika di lingkungan sedang dalam kondisi panas, tubuh akan berusaha mengeluarkan suhu panas.
Ia menambahkan, pada kondisi panas, tubuh juga bisa mengeluarkan suhu panas melalui keringat. Saat keringat keluar, tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit. Hal ini yang menyebabkan tubuh menjadi rentan mengalami dehidrasi. Tubuh dapat dipulihkan kembali dengan mengonsumsi air minum yang cukup.
Meski begitu, dehidrasi yang dialami seseorang tidak boleh diremehkan. Dehidrasi yang tidak segera diatasi dapat berdampak buruk bagi tubuh. Tanda awal yang muncul pada seseorang yang mengalami dehidrasi, yakni bibir kering, rasa haus, pusing, serta tubuh lemas. Selanjutnya, seseorang juga dapat mengalami penurunan tekanan darah yang kemudian dapat kehilangan kesadaran dan pingsan.
Trevino mengatakan, anak dan lansia menjadi kelompok usia yang paling rentan ketika mengalami dehidrasi. Metabolisme yang melambat pada lansia juga menyebabkan kelompok usia tersebut menjadi lebih mudah dehidrasi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda.
”Dehidrasi ini jangan disepelekan. Sebagian besar kandungan dalam tubuh adalah cairan. Jika cairan pada tubuh kurang, transportasi makanan, oksigen, dan darah bisa terganggu. Karena itu, jika sudah merasa haus atau bibir kering sebaiknya segera cukupi kebutuhan cairan dengan air minum,” tuturnya.
”Heat stroke”
Selain dehidrasi, Trevino menyebutkan, kondisi yang lebih buruk akibat suhu panas tinggi pada seseorang, yakni pitam panas atau heat stroke. Pitam panas terjadi karena suhu panas terperangkap di dalam tubuh.
Biasanya, kondisi ini juga terjadi karena tubuh kekurangan cairan sehingga darah dan oksigen tidak bisa mengalir ke seluruh tubuh. Kondisi ini patut diwaspadai karena bisa berisiko hingga kematian.
Trevino mengatakan, konsumsi air minum yang cukup sangat penting di tengah suhu panas yang tinggi saat ini. Jika perlu, cairan yang mengandung elektrolit bisa dikonsumsi. Ia pun menyarankan agar masyarakat tidak terlalu banyak beraktivitas di luar ruangan. Pilihlah tempat yang sejuk sehingga suhu tubuh tetap terjaga.
Selain itu, seseorang yang harus beraktivitas di luar ruangan sebaiknya gunakan pakaian lengan panjang dengan bahan yang menyerap keringat. Pakaian dengan lengan panjang dapat membantu menahan panas dari luar tubuh untuk masuk sekaligus menjaga suhu dari dalam tubuh.
”Namun, bagi kelompok rentan, seperti bayi, anak, dan warga lansia sebaiknya tidak terlalu lama beraktivitas di luar ruangan ketika suhu lingkungan sedang panas seperti saat ini. Jangan sampai tubuh sampai kekurangan cairan,” ucapnya.
Secara terpisah, juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril juga mengimbau masyarakat untuk mencegah dampak cuaca panas ketika harus beraktivitas di luar ruangan. Ia menyarankan masyarakat setidaknya menggunakan topi ataupun payung saat keluar rumah. Selain itu, sebaiknya berteduh pada pukul 11.00 sampai pukul 15.00 saat matahari sedang terik.
Waspadai pula gejala gangguan kesehatan akibat cuaca panas, seperti keringat berlebihan, kulit terasa panas dan kering, rasa berdebar dan jantung yang berdetak lebih cepat, kulit menjadi pucat, serta kram pada kaki. Gejala lain yang juga perlu diwaspadai, yakni mual dan muntah, pusing, serta urine yang berkurang dan berwarna pekat.
”Jika muncul gejala tersebut, diinginkan tubuh dengan kain basah atau sponge basah pada pergelangan tangan, leher, dan lipatan tubuh lainnya. Pastikan pula banyak minum air. Apabila gejala tidak menghilang segera kunjungi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan perawatan,” ujar Syahril.
Ia juga menyarankan agar masyarakat tidak terpapar sinar matahari langsung. Penggunaan tabir surya sangat disarankan minimal dengan kandungan 30 spf, terutama pada kulit yang tidak tertutup pakaian seperti wajah dan tangan.
Sinar ultraviolet
Dalam siaran pers, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menuturkan, pola harian dari indeks ultraviolet (UV) di Indonesia umumnya berada pada kategori rendah di pagi hari. Sementara puncak dari radiasi UV terjadi pada siang hari antara pukul 12.00 sampai dengan pukul 15.00 dengan kategori tinggi hingga ekstrem. Pada sore hari, paparan UV pun akan mulai menurun.
Ia menuturkan, tingkat indeks UV tidak berpengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah. Untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian indeks UV tetap sama meskipun tidak ada fenomena gelombang panas yang terjadi. Sementara faktor cuaca lain, seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat berkontribusi terhadap nilai indeks UV.
”Masyarakat disarankan tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian, serta mengikuti dan melaksanakan himbauan respons yang dapat dilakukan untuk setiap kategori indeks UV, seperti menggunakan perangkat pelindung ataupun tabir surya ketika melakukan aktivitas di luar ruangan,” tutur Dwikorita.