Surya dan Bayu Menyumbang 12 Persen Listrik Dunia, Indonesia Hanya 0,1 Persen
Energi matahari dan bayu melonjak dengan membuat rekor 12 persen dari listrik dunia pada 2022. Namun, Indonesia masih sangat tertinggal dengan kontribusi bayu dan surya hanya 0,1 persen dari total listrik.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Meskipun energi batubara masih menjadi sumber energi global, penggunaan energi matahari dan bayu di dunia melonjak dengan membuat rekor 12 persen dari listrik dunia pada 2022. Namun, energi matahari dan bayu di Indonesia masih sangat tertinggal dengan hanya menyumbang 0,1 persen dari total listrik.
Tren peningkatan energi matahari dan bayu secara global ini dilaporkan lembaga kajian terkait iklim dan energi, Ember dalam Global Electricity Review, yang dikeluarkan pekan lalu. Laporan tersebut menganalisis data listrik dari 78 negara yang mewakili 93 persen permintaan listrik global, termasuk Indonesia.
Laporan tersebut memberikan penilaian terbaru pertumbuhan energi terbarukan saat negara-negara berebut untuk memenuhi target emisi guna mengekang perubahan iklim dan mengamankan sumber daya alternatif setelah invasi pengekspor gas Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Dukungan internasional baru-baru ini, seperti Mekanisme Transisi Energi Bank Pembangunan Asia dan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), telah menyediakan peluang sumber daya yang diperlukan untuk mendorong penerapan energi terbarukan di Indonesia.
Sekalipun pembangkit batubara masih terus tumbuh rata-rata 1,1 persen, pertumbuhan energi bayu dan surya dinilai sangat menjanjikan. Secara total, bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon, seperti minyak, gas, dan batubara, masih menyumbang sebesar 36 persen dari total listrik dunia.
”Rekor pertumbuhan energi bayu dan surya mendorong intensitas emisi listrik dunia ke level terendah yang pernah ada pada tahun 2022,” sebut laporan ini.
Energi surya dan bayu telah berkontribusi memenuhi 12 persen kebutuhan energi global pada 2022, naik dari 10 persen pada 2021 dan 5 persen pada 2015. Sementara itu, jika digabung dengan tenaga nuklir, sumbangan energi nonfosil pada listrik dunia mencapai 39 persen.
”Laporan ini menampilkan langkah signifikan yang telah dibuat dalam transisi menuju sistem energi berkelanjutan dan dekarbonisasi, dan prospek yang menjanjikan untuk mencapai tonggak kritis emisi puncak dari sektor listrik, mungkin pada tahun mendatang. Energi bayu dan surya tumbuh antara 15 dan 20 persen per tahun secara rata-rata dalam 10 tahun, jadi terlihat akan melebihi peningkatan permintaan listrik tahunan pada akhir tahun 2023,” kata Ember Non-Executive Chair, Barones Bryony Wortington.
Menurut Wortington, energi surya dan bayu berpotensi menutup kebutuhan energi dunia ke depan. ”Melalui dukungan teknologi dan kebijakan, bayu dan surya bisa menjadi sumber energi dengan biaya lebih rendah daripada bahan bakar fosil dan lebih cepat daripada sumber listrik bersih lainnya,” katanya.
Kontribusi emisi Indonesia
Laporan ini juga menganalisis emisi sektor ketenagalistrikan di Indonesia, yang menempati urutan tertinggi ke-9 di dunia pada 2021, dengan total emisi 193 juta ton CO2. Dengan besaran emisi ini, Indonesia berkontribusi terhadap 1,6 persen emisi global dari sektor listrik.
Bahan bakar fosil menghasilkan 82 persen listrik Indonesia, dengan batubara menyumbang 61 persen (190 TWh) dari total sumber energi pada 2021. Pembangkit gas menghasilkan 18 persen (56 TWh) dan bahan bakar fosil lainnya 2,1 persen (6,7 TWh). Jika digabungkan, energi terbarukan hanya menghasilkan 18 persen listrik di Indonesia.
Energi dari pembangkit hidro menghasilkan 8 persen (25 TWh) listrik, dan bioenergi 4,9 persen (15 TWh). Energi terbarukan lainnya, sebagian besar panas bumi, menghasilkan 5,2 persen (16 TWh). Angin (0,4 TWh) dan matahari (0,2 TWh) hanya memberikan kontribusi 0,1 persen.
Dengan situasi ini, intensitas emisi Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu 623 gCO2/kWh dibandingkan dengan intensitas emisi global sebesar 441 gCO2/kWh pada 2021. Namun, permintaan tahunan per kapita sebesar 1,1 MWh hanya sepertiga dari rata-rata global, yaitu sebesar 3,5 MWh per kapita. Ini berarti bahwa meskipun intensitas emisinya tinggi, emisi per kapita (0,7 ton CO2) hanya separuh dari rata-rata global sebesar 1,6 ton CO2.
”Terlepas dari lambatnya kemajuan penyebaran energi terbarukan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir, dukungan internasional baru-baru ini, seperti Mekanisme Transisi Energi Bank Pembangunan Asia dan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), telah menyediakan peluang sumber daya yang diperlukan untuk mendorong penerapan energi terbarukan di Indonesia,” kata Małgorzata Wiatros-Motyka, analis listrik Ember.
Motyka berharap, dengan dukungan JETP ini, Indonesia bisa menunjukkan komitmennya dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada 2030 dan memenuhi ambisi energi terbarukannya.
Sebelumnya, kajian Ember yang dirilis tahun 2022 menyebutkan, secara teknis transisi ke energi bersih bisa dilakukan oleh Indonesia karena sumber energi baru dan terbarukan yang melimpah. Namun, ada beberapa pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT PLN yang didominasi batubara telah menghambat transisi energi bersih tersebut.
Data Ember juga menunjukkan, sektor listrik merupakan penghasil emisi terbesar dari semua sektor, yang bertanggung jawab atas sekitar 40 persen dari total emisi CO2 terkait energi global. Pada tahun 2022, emisi dari pembangkit listrik meningkat menjadi 12.431 juta ton CO2, mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
Untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius, emisi gas rumah kaca seharusnya turun dengan cepat. Sepuluh negara penghasil emisi CO2 absolut teratas bertanggung jawab untuk menghasilkan 80 persen emisi sektor listrik global berturut-turut adalah China, AS, India, UE, Jepang, Rusia, Korea Selatan, Arab Saudi, India, dan Iran.
Sementara itu, penghasil emisi terbesar per kapita adalah Bahrain, Qatar, Kuwait, Taiwan, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Korea Selatan, Kosovo, Australia, dan AS. Meskipun intensitas emisi global listrik turun dalam beberapa tahun terakhir dan saat ini mencapai 436 gCO2/kWh, tingkat terendah yang pernah ada, emisi listrik global per kapita telah meningkat sebesar 39 persen sejak 2000 menjadi 1,57 tCO2.