Sistem Ketenagalistrikan PLN Jadi Penghambat Transisi Energi Bersih di Indonesia
Sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT PLN yang didominasi batubara dinilai menghambat percepatan transisi energi bersih di Indonesia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Secara teknis, transisi ke energi bersih dinilai bisa dilakukan oleh Indonesia karena sumber energi baru dan terbarukan yang melimpah. Namun, sistem ketenagalistrikan saat ini di bawah PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN, yang didominasi batubara, dinilai menghambat percepatan transisi energi bersih tersebut.
Hal ini dikemukakan Achmed Shahram Edianto, Asia Electricity Analyst EMBER, dalam keterangan tertulis, Senin (19/9/2022). EMBER merupakan lembaga pemikir (think tank) nirlaba independen di bidang iklim dan energi yang menghasilkan sejumlah kajian kebijakan.
”Energi terbarukan, terutama tenaga surya dan bayu (angin), terus memecahkan rekor di seluruh dunia dan memberikan pembelajaran yang kini tersedia secara luas untuk menyempurnakan sistem ketenagalistrikan yang ada,” kata Edianto.
Menurut dia, Indonesia seharusnya mampu mewujudkan dekarbonisasi pada 2040 dan menyediakan pasokan energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan tetap menjamin ketahanan energi nasional. ”Untuk mencapai hal ini, diperlukan integrasi antara visi pemerintah, komitmen politik, dan strategi implementasinya,” ujarnya.
Edianto mengatakan, Indonesia memiliki potensi teknis yang tinggi untuk mengembangkan tenaga surya dan bayu berskala besar, masing-masing sekitar 1.462 GW dan 500 GW.
Indonesia memiliki potensi teknis yang tinggi untuk mengembangkan tenaga surya dan bayu berskala besar.
Meski demikian, ada beberapa tantangan, termasuk pengoperasian sistem ketenagalistrikan saat ini, di bawah PT PLN, yang menghambat kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan variabel, seperti tenaga surya dan bayu. Tantangan lainnya adalah ketidaksesuaian antara sumber energi baru dan terbarukan (EBT) dengan pusat permintaan (demand center).
”Konektivitas antarwilayah, khususnya antarpulau-pulau utama, akan menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini,” katanya.
Sebagaimana dilaporkan Kompas.id (Kamis, 2/6/2022), pembangkit-pembangkit listrik PT PLN masih dominan menggunakan bahan bakar batubara dan bahan bakar fosil lain. PLN baru akan beralih meninggalkan energi fosil secara bertahap hingga emisi dapat ditekan menjadi nol, sesuai target emisi nol yang ditetapkan pemerintah pada 2060.
Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN Wiluyo Kusdwiharto pada peluncuran Indonesia EBTKE ConEx (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Conference and Exhibition) 2022 mengakui, pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil di PLN atau sektor industri akan menyebabkan perubahan iklim yang membuat temperatur bumi naik. Pihaknya menyadari hal tersebut merupakan ancaman serius. Oleh karena itu, pihaknya berkomitmen mengejar karbon netral pada 2060.
Ulasan EMBER ini merupakan tanggapan atas laporan yang dirilis awal bulan ini oleh Badan Energi Internasional (IEA) bertajuk ”Roadmap Sektor Energi menuju Net Zero Emissions (NZE) di Indonesia”. Ulasan tersebut menunjukkan bahwa, sejauh ini, penurunan emisi terbesar dan tercepat berasal dari sektor ketenagalistrikan. Hal ini berarti penghentian PLTU batubarayang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, biasa diistilahkan sebagai unabated coal, pada 2040.
Sebagai negara penghasil batubara terbesar di ASEAN dan termasuk 10 besar dunia, unabated coal di Indonesia perlu dihentikan secara bertahap hingga tahun 2040. Upaya ini perlu dimulai dalam dekade ini.
Dengan menargetkan skenario NZE pada 2050,bukan pada 2060 seperti yang direncanakan oleh Pemerintah Indonesia, tenaga listrik berbasis batubara yang dihasilkan oleh PLTU harus berkurang sebanyak 70 persen pada 2030 karena meningkatnya fleksibilitas PLTU yang berpotensi mengurangi waktu operasional PLTU di Indonesia.
Ulasan EMBER menyoroti bahwa investasi tahunan untuk sektor ketenagalistrikan harus meningkat tiga kali lipat dalam dekade ini hingga mencapai hampir 40 miliar dollar AS dan delapan kali lipat pada dekade berikutnya menjadi sekitar 80 miliar dollar AS, dibandingkan dengan tahun 2010-an ketika sekitar 50 persen dari angka ini harus diperuntukkan bagi pengembangan energi terbarukan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia telah menargetkan energi terbarukan sekitar 36 miliar dollar AS atau 7 miliar dollar AS per tahun hingga 2025. Namun, menurut Edianto, jumlah ini belum mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi 20 miliar dollar AS per tahun hingga 2030.
Selain itu, sebagian besar dari investasi ini perlu dialokasikan secara khusus untuk pengembangan tenaga surya dan bayu (angin), diikuti oleh investasi terhadap teknologi jaringan (grid) yang fleksibel.
Menurut analisis Edianto, dengan lebih banyak EBT, biaya energi akan turun. Investasi energi bersih akan membayar imbal hasil jangka panjang dalam bentuk biaya bahan bakar yang lebih rendah.
Selain itu, sektor ketenagalistrikan dapat menciptakan lapangan kerja baru, hingga 265.000 pekerjaan ”hijau” yang ramah lingkungan. Kebijakan transisi energi yang adil akan sangat penting untuk memastikan inklusivitas dan mengurangi risiko proses transisi.