Paparan Asap dari Tongkrongan, Keluarga, dan Iklan yang Menjerumuskan Anak
Fenomena perokok anak tidak lepas dari besarnya pengaruh faktor lingkungan tumbuh kembang anak. Disadari atau tidak, iklan dan promosi rokok justru tertanam sejak dini melalui berbagai media.
Beberapa puntung rokok tergeletak begitu saja di dalam asbak. Di antara kepala Bisma (17) dan Ricky (17), begitu saja mereka disebut, tampak kepulan asap tebal membubung ke atas langit-langit kedai kopi yang terletak di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Kedua remaja itu pun menghela napas lega begitu satu soal matematika terpecahkan.
Sembari meraih satu kotak rokok dan pemantik di depannya, Bisma mulai bercerita awal mula dirinya terpapar rokok. Peristiwa itu terjadi lima tahun lalu, yakni saat Bisma duduk di bangku kelas delapan atau kelas dua SMP.
”Waktu itu, aku hanya ingin bisa gabung dalam tongkrongan. Aku merasa baru bisa diterima di lingkungan pertemanan kalau bisa merokok,” katanya sembari meletakkan pemantik di atas meja, Jumat (14/4/2023).
Setiap hari, anak kedua dari dua bersaudara itu dibelikan satu kotak rokok oleh ibunya.
Untuk bisa mendapatkan satu bungkus rokok, Bisma bersama dengan teman-temannya mengumpulkan uang masing-masing Rp 5.000. Uang tersebut diambil dari uang saku sekolah mereka.
Saat duduk di kelas satu SMA, tabiat Bisma akhirnya terendus oleh orangtuanya. Bukannya dilarang, Bisma justru mendapat dukungan. Setiap hari, anak kedua dari dua bersaudara itu dibelikan satu kotak rokok oleh ibunya.
”Di keluargaku, ayah dan ibuku merokok. Dalam sehari, rata-rata aku habis satu bungkus rokok. Tapi, sekarang ini mulai beralih ke rokok elektrik,” lanjut Bisma.
Sebagai perokok aktif, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik, Bisma khawatir akan kesehatannya di masa mendatang. Namun, remaja kelahiran Jakarta itu mengaku tidak tahu bagaimana harus berhenti lantaran telanjur kecanduan.
Baca juga: Perokok Anak Meningkat, Batasi Akses dan Paparan Iklan Rokok
Serupa dengan Bisma, Ricky juga mulai mengenal rokok dari lingkungan pertemanan sejak duduk di bangku SMP. Sampai saat ini, keluarga Ricky masih menentangnya merokok sehingga dia hanya bisa merokok saat berada di luar rumah.
Meski kerap melihat teman sejawatnya merokok, kala itu Ricky tidak langsung tergiur begitu saja. Tawaran tersebut ditolak Ricky lantaran ingatannya selalu kembali saat ayahnya dirawat di rumah sakit akibat mengalami serangan jantung.
”Aku baru mulai berani merokok waktu kelas satu SMA karena sebelumnya selalu terbayang ayahku dalam sehari bisa menghabiskan dua bungkus rokok hingga jatuh sakit. Sampai sekarang aku masih merokok karena rasanya susah untuk berhenti,” ujar Ricky.
Semula Ricky tak berniat sungguh-sungguh untuk mencoba satu batang rokok. Namun, sodoran sebungkus rokok dari temannya tak bisa dia tolak dan sampai sekarang Ricky bisa menghabiskan satu bungkus rokok per hari.
Baca juga: Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Bisma dan Ricky hanyalah potret kecil dari jutaan perokok yang terjebak dalam belenggu nikotin dari tembakau sejak usia dini. Hal ini mengingat sekitar 75 persen perokok di Indonesia mengaku mulai merokok sebelum menginjak usia 20 tahun.
Data itu disampaikan oleh Koordinator Direktorat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Sakri Sabatmadja dalam webinar Akselerasi Pengendalian Konsumsi Tembakau Melalui Pembatasan Iklan, Promosi, dan Sponsorship, Kamis (13/4/2023). Bahkan, kata Sakri, tingkat seseorang mulai terpapar rokok cenderung semakin muda.
Fakta tersebut tak lepas dari mudahnya untuk mendapatkan rokok, mulai dari pedagang kaki lima, warung kelontong, hingga toko swalayan. Sejauh mata memandang, setiap warung dan toko swalayan selalu menyediakan rokok, baik dijual secara ketengan maupun per bungkus.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan menyebut, tidak boleh menjual rokok kepada anak di bawah umur. Nyatanya, produk tembakau yang tercatat mulai diproduksi di Indonesia sejak abad ke-19 itu dapat dibeli tanpa mengenal batasan usia.
Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) di berbagai media.
Dibandingkan dengan negara lain, penerapan aturan mengenai pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia tidak seketat negara lain. Perihal peringatan kesehatan bergambar misalnya, ukuran peringatan tersebut di Indonesia masih 40 persen.
Negara lain, seperti Singapura, Australia, Inggris, Thailand, Nepal, dan Bangladesh, telah memberlakukan peringatan kesehatan pada bungkus rokok lebih dari 50 persen dan bahkan hampir 100 persen. Kemudian, penjualan rokok secara batangan dan penggunaan rokok eletrik juga sudah dilarang di Singapura, Australia, dan Nepal.
Selain itu, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) di berbagai media. Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2019 menyebut, anak-anak telah terpapar iklan dan promosi produk tembakau dari televisi (65,2 persen), tempat penjualan (65,2 persen), media luar ruangan (60,9 persen), dan internet (36,2 persen).
Secara terpisah, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari menyampaikan, iklan dan promosi produk tembakau memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap prevalensi perokok anak. Rata-rata, anak yang terpapar iklan dan promosi produk tembakau memiliki kecenderungan untuk merokok dua kali lipat dibandingkan anak yang tidak terpapar iklan.
Baca juga: Anak Sekolah Terbelenggu Iklan Rokok
Dalam studi Universitas Muhammadiyah Hamka (2007), sebanyak 70 persen remaja mulai merokok karena terpengaruh iklan. Dari jumlah tersebut, hampir separuhnya menyatakan iklan rokok memiliki pengaruh yang besar.
Pengaruh iklan dan promosi produk tembakau dirasakan cukup kuat lantaran produk tembakau diperkenalkan secara implisit. Berbeda dengan iklan-iklan pada umumnya yang mempromosikan produk secara terang-terangan, iklan produk tembakau memengaruhi alam bawah sadar.
”Makanya, di setiap iklan rokok itu yang muncul bukan produk rokok, melainkan citra-citra positif yang dekat dengan kehidupan anak-anak muda. Misalnya, soal setia kawan, kesannya keren, gagah, dan menyisipkan jargon-jargon yang akrab dengan anak muda. Perlahan, alam bawah sadar akan menilai bahwa rokok sebagai hal yang positif,” kata Lisda saat dihubungi pada Sabtu (15/4/2023).
Hal itu juga dialami Bisma dan Ricky yang sejak dini telah terpapar iklan rokok, terutama melalui televisi. Sama halnya dengan dampak kesehatan akibat merokok yang baru dirasakan di kemudian hari, paparan iklan rokok perlahan juga memberikan citra bahwa rokok adalah simbol setia kawan, kegagahan, dan menjadi bagian dari aktualisasi diri.
Oleh sebab itu, Lisda berharap pemerintah serius dalam mengatur larangan IPS produk tembakau. Jika iklan produk tembakau masih dengan mudahnya dijumpai di berbagai media, prevalensi perokok anak terus meningkat.
Baca juga: Kawal Pembahasan RUU Kesehatan Terkait Pengendalian Tembakau
Berdasarkan perbandingan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) antara tahun 2013 dan 2018, prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, perokok anak usia 10-18 tahun dapat mencapai 16 persen pada tahun 2030 atau hampir dua kali lipat dari yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2024.
Sebelumnya, produk tembakau juga menjadi salah satu topik pembahasan dalam daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang diatur dalam bagian ke-25. Aturan tersebut tertulis dalam Pasal 154 dan 158.
”Usulan mengenai larangan IPS di RUU Kesehatan itu tidak terakomodasi. Target penurunan prevalensi perokok anak pada tahun 2024 tidak akan tercapai jika tidak ada regulasi yang melarang IPS produk tembakau,” ucap Lisda.
Baca juga: Iklan Rokok Tak Masuk RUU Kesehatan, Komitmen Pemerintah Disorot
Menurut Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani, kebijakan dalam RUU tersebut mengedepankan perlindungan anak dari bahaya tembakau. Upaya-upaya perlindungan tersebut, antara lain, mengurangi paparan iklan rokok pada anak, adanya layanan berhenti merokok pada anak, edukasi penggunaan media sosial tentang bahaya rokok, peningkatan jumlah kawasan tanpa rokok, dan pengawasan pengendalian produk tembakau (Kompas.id, 13/4/2023).
Berkaca dari pengalaman Bisma dan Ricky, lingkungan memang turut andil dalam membentuk perilaku seseorang untuk merokok. Lebih dari itu, iklan dan promosi produk tembakau justru mendasari penerimaan seseorang terhadap rokok. Secara tidak sadar, bahaya dari merokok tertutup oleh citra-citranya yang dibangun sedemikian rupa positif.
Saatnya negara hadir untuk mencegah bertambahnya perokok anak. Hal itu, antara lain, bisa dilakukan dengan memperketat dan memperkuat pengaturan iklan dan promosi rokok ke dalam UU. Memasukkannya dalam RUU Kesehatan merupakan kesempatan saat ini.