Regulasi Pertembakauan Belum Optimal, Perokok Anak Meningkat
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun meningkat dari tahun 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Ini terjadi karena paparan iklan dan promosi rokok yang masif.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Para pengunjung warung kopi di Banda Aceh sedang merokok, Sabtu (20/7/2019). Perokok pasif yang terpapar asap rokok dalam waktu yang lama berpotensi mengalami kanker paru, penyakit jantung, dan aterosklerotik.
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai belum efektif menekan prevalensi perokok anak. Tingginya tingkat paparan iklan rokok dan mudahnya akses untuk mendapatkan rokok menjadi penyebab prevalensi perokok anak meningkat.
Ketua Tim Kerja Penyakit Paru dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih mengatakan, penurunan angka prevalensi perokok akan sulit tercapai apabila tidak diimbangi dengan upaya-upaya signifikan. Ini karena penjualan rokok, konsumsi rokok, perokok anak, dan kematian akibat rokok meningkat.
”Sejak tahun 2012, PP Nomor 109 belum cukup efektif untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Sekarang, 6 dari 10 anak sudah merokok. Lalu, hasil survei baru-baru ini menunjukkan bahwa anak-anak sudah mulai merokok sejak usia pendidikan anak usia dini,” ujarnya dalam webinar ”Akselerasi Pengendalian Konsumsi Tembakau Melalui Pembatasan Iklan, Promosi, dan Sponsorship”, Kamis (13/4/2023).
Hanya Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan rokok di media penyiaran.
Menurut Benget, berbagai aturan yang termuat dalam PP No 109/2012 tidak seketat aturan yang dibuat di negara lain. Hal itu tampak dari proporsi ukuran peringatan pada bungkus rokok yang masih kecil, media pengiklan belum banyak dilarang, membeli rokok secara ketengan belum dilarang, dan penggunaan rokok elektrik belum diatur.
TANGKAPAN LAYAR
Ketua Tim Kerja Penyakit Paru dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih memaparkan potensi peningkatan prevalensi perokok anak dalam webinar Akselerasi Pengendalian Konsumsi Tembakau melalui Pembatasan Iklan, Promosi, dan Sponsorship, Kamis (13/4/2023).
Dari sejumlah negara, Pictorial Health Warning (PHW) atau peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok paling kecil adalah di Indonesia, yakni 40 persen. Di negara lain, seperti Malaysia PHW telah mencapai 55 persen, bahkan di Timor Leste, PHW mencapai 92 persen.
”Besar kecilnya peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok menunjukkan tingkat kesadaran sebuah negara bahwa rokok dapat menimbulkan berbagai penyakit tidak menular,” kata Benget.
Benget menambahkan, regulasi mengenai Iklan, Promosi, dan Sponsorship (IPS) di Indonesia tidak diatur secara tegas dan ketat dalam PP No 109/2012. Padahal, 144 negara telah melarang total IPS produk tembakau di media penyiaran dan tempat penjualan.
Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2019 menyebut, anak-anak telah terpapar iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Media-media tersebut antara lain, televisi 65,2 persen, tempat penjualan 65,2 persen, media luar ruangan 60,9 persen, dan internet 36,2 persen.
”Di Indonesia, IPS masih diperbolehkan di media luar ruangan, media cetak, media penyiaran, dan internet. Hanya Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan rokok di media penyiaran,” imbuhnya.
Selain tingginya tingkat paparan iklan dan promosi rokok, mudahnya akses untuk mendapatkan rokok juga mengakibatkan perokok anak meningkat. Bappenas memperkirakan perokok anak usia 10 sampai 18 tahun pada tahun 2030 akan mencapai 16 persen atau hampir dua kali lipat dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada tahun 2024.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pedagang membaca brosur yang dibagikan Relawan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Timur saat peringatan Hari Antitembakau Sedunia di Pasar Keputran di Surabaya, akhir Mei 2016. .
Koordinator Advokasi dan Kemitraan Direktorat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatna Sakri Sabatmadja menjelaskan, usia seseorang mulai merokok saat ini semakin muda. Hal ini karena rokok dapat dengan mudah dibeli di toko-toko kelontong ataupun kaki lima tanpa ada pembatasan usia dan dengan harga yang relatif terjangkau.
”Sedikitnya 75 persen perokok di Indonesia mulai merokok di bawah usia 20 tahun. Di toko kelontong sendiri, anak-anak dapat dengan mudahnya membeli rokok. Padahal, di PP No 109/2012 jelas mengatur bahwa tidak boleh menjual kepada anak di bawah usia,” kata Sakri.
Perokok pasif
Prevalensi perokok anak setiap tahunnya meningkat. Selain akibat masifnya iklan dan promosi rokok, perokok anak terjadi akibat minimnya perhatian orang dewasa yang merokok di depan anak.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rini Handayani menyampaikan, anak cenderung akan meniru perilaku orang yang dilihatnya. Selain memberikan contoh negatif, perilaku merokok di depan anak turut mengakibatkan anak menjadi perokok pasif.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Psikolog dan pemerhati anak serta Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi
”Anak itu adalah korban. Mereka kadang menjadi perokok pasif dengan mencium apa yang ada di sekitar dia. Ini karena kesalahan orang dewasa yang membiarkan telah membiarkan rokok berdampak kepada anak dan itu telah melanggar hak anak,” kata Rini.
Selain itu, fasilitas upaya berhenti merokok juga harus berpihak kepada anak dan ramah anak. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, layanan berhenti merokok di puskesmas masih belum optimal.
Di sisi lain, Seto mendorong pemerintah agar berkomitmen dalam membatasi iklan dan promosi rokok. Dengan demikian, anak dapat terhindar dari paparan iklan dan promosi rokok sehingga prevalensi rokok anak menurun.
”Komitmen untuk melindungi anak dari bahaya tembakau berupa rokok konvensional dan rokok elektrik perlu dipertegas melalui percepatan revisi PP No 109/2012 dan juga Undang-Undang Kesehatan,” ucap Seto.