Ombudsman Nilai RUU Kesehatan Belum Akomodasi Hak Kesehatan Kelompok Rentan
Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum mengakomodasi hak-hak layanan kesehatan untuk kelompok rentan. Sejumlah catatan pun diberikan terkait pembahasan RUU Kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang Kesehatan kepada DPR. Sejumlah catatan diberikan dalam pembahasan rancangan undang-undangan tersebut, terutama terkait tata kelola layanan kesehatan, mutu layanan, serta akses pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, termasuk pada kelompok rentan.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan tanpa diskriminasi. Dalam RUU Kesehatan disebutkan, setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab dapat memilih sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya.
”Namun, Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum mengakomodir hak-hak kesehatan untuk kelompok rentan dalam memperoleh layanan kesehatan. Hak masyarakat untuk mengakses informasi pun harus menjadi perhatian pemerintah yang juga harus diatur dalam RUU Kesehatan,” tuturnya di sela-sela kegiatan penyerahan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kesehatan dari Ombudsman RI kepada DPR di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Najih menuturkan, hal tersebut merupakan salah satu catatan dari Ombudsman yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Kesehatan. Hak dan kewajiban penyelenggaraan kesehatan merupakan poin penting yang tidak bisa dikesampingkan. Itu sebabnya, dalam DIM yang disampaikan oleh Ombudsman RI ke DPR disebutkan pada penjelasan Ayat (3) yang sebelumnya tertulis masyarakat rentan antara lain, ibu hamil, menyusui, anak balita, dan lanjut usia perlu diubah.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melewati spanduk penolakan RUU Kesehatan di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (25/11/2022). Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disusun dengan menghimpun sejumlah regulasi atau omnibus law masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2023. Namun, sampai saat ini penyusunan RUU ini tidak pernah melibatkan organisasi profesi kedokteran.
Penjelasan mengenai masyarakat rentan perlu diperluas menjadi tunawisma, orang yang tinggal di daerah kumuh, pekerja migran, pengungsi akibat bencana alam, penyandang disabilitas, masyarakat adat, orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan kemiskinan ekstrem, wanita hamil dan menyusui, anak-anak, serta orang lanjut usia. Hal tersebut merujuk pada penjelasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam klasifikasi kelompok rentan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Ombudsman RI menilai RUU Kesehatan belum mengakomodasi hak-hak kesehatan untuk kelompok rentan dalam memperoleh layanan kesehatan. Hak masyarakat untuk mengakses informasi pun harus menjadi perhatian pemerintah yang juga harus diatur dalam RUU Kesehatan.
Najih menambahkan, hal lain yang juga menjadi catatan Ombudsman adalah terkait pembagian urusan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pemenuhan penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat. Dalam pemenuhan penyelenggaraan pelayanan kesehatan setidaknya harus mencakup pengendalian faktor risiko kesehatan, fungsi pengawasan dalam konteks pencegahan, memaksimalkan fungsi pengawasan dalam konteks penindakan, pemenuhan standar pelayanan kesehatan, serta pengawasan pada jaminan kualitas pelayanan.
”RUU Kesehatan ini diharapkan dapat mengatur masyarakat dan sumber daya manusia yang menjadi garda terdepan dalam pemberian layanan kesehatan. Kami juga berharap RUU Kesehatan ini bisa menjadi kebijakan yang membuka lebar ruang bagi semua pemangku kepentingan untuk mengawasi implementasinya,” ujarnya.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menyampaikan, RUU Kesehatan harus pula menjadi kebijakan yang menjamin bahwa masyarakat mendapatkan hak pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat konstitusi. Itu sebabnya, masukan-masukan serta catatan yang diusulkan dalam pembahasan RUU Kesehatan ini perlu diakomodasi dengan baik.
Sejumlah pasal perlu ditambah, seperti pasal terkait penyakit tidak menular yang menyebutkan penyelenggaraan pengendalian penyakit tidak menular akan menjadi prioritas penanganan jika memenuhi kriteria: lonjakan kasus yang menimbulkan angka kematian dan kecacatan secara tiba-tiba, tingginya angka kesakitan atau tingginya biaya kesehatan, dan adanya faktor risiko asing.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Sepatu roda milik Azqira (3,8) yang akan disumbangkan orangtuanya, Selasa (25/10/2022). Semua barang, termasuk pakaian, mainan, hingga boneka milik Azqira sudah disumbangkan sang ibu Soliha karena setiap kali melihat barang itu ia selalu teringat anaknya yang hampir seminggu berjuang sembuh dari gangguan ginjal akut.
”Berkaca dari kasus gangguan ginjal akut pada anak yang telah terjadi, penetapan status setara dengan status KLB (kejadian luar biasa) pada konteks penyakit tidak menular sangat penting guna percepatan penanganan,” kata Robert.
Ketua Umum Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, penekanan pada promosi dan pengamanan kesehatan diharapkan bisa lebih ditekankan dalam RUU Kesehatan. Promosi kesehatan serta pencegahan berbagai persoalan kesehatan masyarakat amat penting dalam peningkatan derajat masyarakat.
Selain itu, kemandirian bangsa terkait kebutuhan farmasi dan alat kesehatan juga perlu diwujudkan melalui dukungan yang kuat dari regulasi. ”Jika masih saja impor, pelayanan kesehatan yang terjangkau akan sulit didapatkan,” katanya.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Golongan Karya yang juga Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan, Emanuel Melkiades Laka Lena, menyampaikan, konsultasi publik telah dimulai pada 11 April 2023 oleh DPR dalam pembahasan RUU Kesehatan. Konsultasi publik tersebut direncanakan akan dilakukan selama dua hari sehingga kemudian dilanjutkan dalam pembahasan DIM. Harapannya, pembahasan RUU tersebut bisa segera diselesaikan.
DEONISIA ARLINTA
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) menyerahkan daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan kepada DPR yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
”Komisi IX DPR membuka setiap masukkan dari seluruh elemen masyarakat yang memang ingin memberikan masukkan atau opini sehingga dapat menjadi pertimbangan kami dalam pembahasan RUU ini bersama pemerintah,” ucapnya.
Melkiades menambahkan, penyusunan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law dimaksudkan untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang eksisting saat ini. Metode ini bisa menjadi jawaban dalam transformasi regulasi sebagai bentuk terobosan hukum terkait kesehatan.