Mengubah Pola Pikir Laki-laki Demi Keberlanjutan Penurunan Tengkes
Program pencepatan penurunan tengkes yang dijalankan pemerintah lebih banyak menyasar remaja putri dan perempuan. Sejatinya, laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan perempuan dalam pengasuhan anak.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Dari 2019 sampai 2024, pemerintah menargetkan memangkas separuh jumlah anak balita tengkes. Berbagai program dijalankan agar prevalensi tengkes turun lebih dari 3 persen setiap tahun. Namun, sebagian besar program itu lebih menyasar perempuan dan kaum ibu sehingga makin membebani perempuan. Tanpa keterlibatan penuh laki-laki, penurunan angka tengkes sulit berkelanjutan.
Prevalensi balita tengkes atau stunting tahun 2019 masih mencapai 27,7 persen atau sekitar 6,5 juta anak. Jumlah itu sudah turun signifikan karena prevalensi dari 2007-2013 masih berkisar antara 35-37 persen. Tahun 2022 lalu, prevalensi tengkes kembali turun menjadi 21,6 persen. Namun, itu masih di atas standar prevalensi anak tengkes per negara yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen.
Pemerintah menargetkan prevalensi anak tengkes pada 2024 tinggal 14 persen. Tingginya jumlah anak tengkes sama dengan menabung masalah sumber daya manusia bagi negara dan masyarakat di masa depan. Anak tengkes akan menjadi beban negara yang besar karena dampak dari kurang gizi kronik yang berlangsung sejak terbentuknya janin hingga anak berumur 2 tahun dan 5 tahun akan berimbas bukan hanya pada ekonomi dan kesejahteraan bangsa, tetapi juga stabilitas politik dan sosial.
Presiden Joko Widodo pada 2021 menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting. Sejak saat itu, berbagai program dan kegiatan dilakukan lintas kementerian dan lembaga untuk menangani tengkes secara spesifik atau berdasar pendekatan medis dan sensitif atau intervensi non-medis.
Hasilnya, terjadi pengarusutamaan isu tengkes dalam kebijakan pemerintah. Tengkes yang pada dekade sebelumnya menjadi isu pinggiran dalam pembangunan sektor kesehatan, mulai dikenal para pengambil kebijakan di pusat dan secara perlahan diikuti oleh pemerintah daerah. Awam pun menjadi lebih mengenal isu tengkes, termasuk anak muda yang menggaungkannya di media sosial.
Meski demikian, banyak program percepatan penurunan tengkes itu lebih menyasar perempuan, mulai dari pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri di SMP dan SMA serta pencegahan perkawinan dini. Ada pula pemeriksaan kehamilan rutin, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, kampanye pemberian air susu ibu secara eksklusif, pemberian protein hewani untuk anak, hingga pembuatan menu makanan dapur sehat.
Tidak ada yang salah dengan pelaksanaan aneka program yang menyasar perempuan tersebut karena nyatanya, status gizi dan kesehatan perempuan, khususnya ibu hamil dan menyusui, akan berpengaruh besar kesehatan janin dan anaknya. Perempuan yang mengandung, melahirkan, dan secara budaya dibebani tugas lebih besar untuk pengasuhan anak.
“Berbagai program stunting yang lebih banyak menyasar perempuan itu memang efektif untuk mengejar target penurunan prevalensi stunting. Namun, sepanjang masalah pola pikir laki-laki dalam pengasuhan anak tidak diperbaiki dan tidak terjadi perubahan dalam norma sosial laki-laki, maka program itu tidak akan berkelanjutan,” kata Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru yang juga dosen sosiologi keluarga Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Nur Hasyim, Jumat (7/4/2023).
Peran sama besar
Lelaki sebenarnya memiliki peran sama besar dengan perempuan dalam perawatan dan pengasuhan anak, termasuk dalam pencegahan tengkes. Peran laki-laki ada sejak dalam masa konsepsi dengan memastikan benih yang ditanamkan berkualitas hingga bersama istri memastikan tumbuh kembang anak dengan baik hingga mereka dewasa dan bisa mandiri.
Dukungan suami penting untuk menunjang perawatan ibu hamil dan janinnya sehingga kesehatan dan nutrisi mereka benar-benar terjaga. Kehadiran suami ketika mendampingi istrinya saat pemeriksaan ke bidan atau dokter sangat penting, bukan hanya berhenti di tempat parkir. Suami juga perlu mengenali kehamilan berisiko serta tahu bagaimana mengantisipasi dan bertindak saat kondisi itu terjadi.
Ketika persalinan dan pascapersalinan, dukungan suami penting bagi psikis ibu agar tidak mengalami depresi pascapersalinan. Selama masa nifas, laki-laki juga bisa mengambil alih tugas-tugas domestik yang selama ini dilakukan perempuan, termasuk merawat anak yang sudah ada dan tidak minta dilayani istri untuk kebutuhan sehari-hari sampai kondisi ibu benar-benar pulih.
Setelah itu, kehadiran laki-laki tetap penting untuk mendukung ibu menyusui anaknya secara eksklusif dan memastikan kebutuhan gizi anaknya terpenuhi saat mulai mendapat makanan pendamping ASI. Tak hanya itu, dalam pengasuhan di usia dini, peran ayah penting untuk memberikan stimulasi dan membangun ikatan emosional dengan anak.
“Kebijakan yang memandang stunting sebagai persoalan ibu saja harus dirombak karena stunting adalah masalah ibu, ayah, dan keluarga,” tambah sosiolog kesehatan dan dosen Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta Argyo Demartoto. Terlebih, persoalan ini bukan semata tentang tengkes, tetapi bagaimana mempersiapkan generasi penerus keluarga dan bangsa.
Kebijakan penurunan tengkes yang terlalu menyasar perempuan justru bisa berdampak kontraproduktif. Perempuan akan merasa terlalu dibebani tanggung jawab, terutama dalam pengasuhan anak dan mengelola urusan domestik rumah tangga. Semua ibu pasti menginginkan anaknya sehat, tetapi karena merasa terlalu terbebani justru bisa memengaruhi mental mereka yang ujungnya justru menghambat tumbuh kembang anak dengan baik.
Menurut Hasyim, peran laki-laki dalam mencegah tengkes jauh lebih besar dari hanya sekedar mengalihkan uang rokok atau uang belanja hobi untuk membeli lauk pauk anak. Karena itu, penting mengubah pola pikir lelaki bahwa pengasuhan dan perawatan anak sejatinya juga menjadi urusan dan tanggung jawab suami, bukan hanya tugas istri.
“Konsep maskulinitas perlu diperbaharui bahwa laki-laki sejati itu adalah laki-laki yang anaknya tidak stunting,” katanya. Selama ini, paradigma yang muncul di masyarakat adalah suami yang terlibat dalam pengasuhan anak, melakukan tugas-tugas domestik, atau membicarakan isu-isu kesehatan anak justru dianggap suami-suami takut istri.
Tak hanya makin membebani perempuan, program percepatan penurunan tengkes yang terfokus ke ibu dikhawatirkan akan makin melestarikan norma sosial dan budaya yang menempatkan ibu sebagai pemegang tanggung jawab atas tumbuh kembang anak. Konsekuensinya, saat anak tengkes, sakit, atau mengalami masalah, ibulah yang pertama kali akan disalahkan dan suami menjadi pihak yang tidak dituntut pertanggungjawabannya.
“Ketersembunyian laki-laki terhadap masalah yang dihadapi anak adalah privilige atau keistimewaan laki-laki,” kata Hasyim. Nilai ini akan semakin membebani ibu dengan banyak beban, khususnya bagi ibu rumah tangga yang juga harus bekerja atau ingin bekerja.
Penanganan tengkes yang menyasar perempuan memang cara praktis dan cepat untuk mencapai target. Namun model kebijakan seperti ini justru makin menguatkan kesenjangan gender dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarki kuat. Ujungnya, posisi perempuan akan semakin tersubordinasi dari laki-laki, semakin sulit bersuara, kian menghambat peran perempuan di ruang publik, serta melestarikan ketidakadilan bagi perempuan.
“Program penurunan tengkes masih dipandang sebagai target penurunan angka semata dalam waktu tertentu,” tambah Argyo.
Konsep maskulinitas perlu diperbaharui bahwa laki-laki sejati itu adalah laki-laki yang anaknya tidak stunting.
Karena itu, laki-laki dan perempuan, pasangan suami-istri muda atau yang masih remaja seharusnya sama-sama menjadi sasaran edukasi dan pemberdayaan untuk mengatasi tengkes, baik pada program sensitif maupun spesifik. Mendidik dan memberdayakan laki-laki untuk peduli dan terlibat langsung dalam pencegahan tengkes sama pentingnya dengan pelibatan perempuan.
Model kebijakan seperti ini tidak terlepas dari struktur pengambil kebijakan yang didominasi oleh laki-laki. Bagaimanapun, struktur birokrasi pemerintah sejatinya adalah cerminan struktur sosial di masyarakat. Karena itu untuk mengubah model pengambilan kebijakan seperti itu, maka struktur sosial di masyarakat juga perlu diubah. Namun, ini adalah kerja jangka panjang karena maskulinitas tidak bisa diubah dengan cepat.
Pembangunan budaya yang setara antara laki-laki dan perempuan itu, lanjut Argyo, bisa dilakukan melalui pendidikan maupun peningkatan kapasitas masyarakat. Dengan demikian di masa depan, makin banyak perempuan berpartisipasi di ruang publik dan ikut mengambil kebijakan strategis. “Perempuan juga perlu didorong untuk berani menyuarakan kepentingannya,” ujar Argyo.
Saat bersamaan, juga akan muncul banyak laki-laki dengan paradigma baru dalam memandang relasi laki-laki dan perempuan secara lebih setara, lebih peduli dengan urusan domestik rumah tangga, serta terlibat aktif dalam perawatan dan pengasuhan anak. Karena anak, apapun kondisinya, sejatinya adalah buah hati bersama ayah dan ibu, bukan tanggung jawab ibu semata.