Tiga Permasalahan Mendasar Sampah yang Tidak Kunjung Selesai
Sampah terus menjadi masalah meski banyak inovasi dalam pengelolaannya. Sampah kantong plastik dan kemasan produk kebutuhan sehari-hari dianggap tak berharga sehingga tak terurus.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan sampah terus terjadi karena minimnya penegakan hukum dan anggaran pengelolaan, serta tidak adanya panduan kemitraan. Oleh karena itu, pajak sampah plastik bernilai rendah perlu diberlakukan untuk mengurangi timbulan sampah yang tidak terkelola.
Hal itu disampaikan oleh CEO dan Founder Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano, di Jakarta, Kamis (6/4/2023). Tiga problem mendasar penanganan sampah tersebut merupakan hasil kajian dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Asosiasi Sampah Padat Internasional (ISWA).
Junerosano menjelaskan, tidak adanya konsekuensi terhadap perilaku membuang sampah sembarangan mencerminkan lemahnya penegakan hukum mengenai pengelolaan sampah. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah diterbitkan.
”Masyarakat akan menjalankan peraturan tersebut apabila penegakan hukumnya berjalan dan ada konsekuensi jika tidak melaksanakannya. Jadi, ini bukan pilihan, melainkan kewajiban,” kata Junerosano.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut, timbulan sampah nasional pada tahun 2022 mencapai 69,2 juta ton yang mayoritas berasal dari rumah tangga. Dari total sampah yang dihasilkan itu, 35,48 persennya masih belum terkelola.
Selanjutnya, panduan yang menjelaskan peran dari pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah, seperti pihak swasta. Tanpa ada panduan yang jelas, lanjut Junerosano, pengelolaan sampah akan tumpang-tindih antara pemerintah dan pihak lain.
Sejauh ini kesadaran pengelolaan sampah oleh berbagai pihak terus tumbuh. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per Januari 2023 sedikitnya ada 209 pelaku kewirausahaan sosial yang bergerak di bidang pengurangan dan penanganan sampah di Indonesia, seperti toko curah (bulkstore), bisnis isi ulang, bisnis barang bekas pakai, serta pengumpulan dan daur ulang sampah.
”Paling krusial adalah biaya pengelolaan sampah yang tepat dan berkeadilan. Di Indonesia, retribusi sampah terlalu murah sehingga kurang dana untuk operasional sampah. Di sisi lain, bertambahnya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi tanggungan pemerintah,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar menyampaikan, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah terus berinovasi untuk mengelola sampah. Berbagai terobosan itu mulai dari penetapan sampah plastik sekali pakai pada tahun 2016, peta jalan pengurangan sampah oleh produsen pada tahun 2019, hingga pengelolaan sampah menjadi pupuk kompos.
”Inovasi-inovasi dari swasta dapat menjadi determinan pengelolaan sampah yang akan datang. Itu bisa menggantikan sistem-sistem pengelolaan konservatif yang selama ini dilakukan oleh pemerintah daerah. Mereka juga bisa menjadi partner kolaborasi bagi pemerintah daerah,” kata Novrizal (Kompas.id, 3/4/2023).
Dari total 69,2 juta ton timbulan sampah pada tahun 2022, sedikitnya 19,8 juta ton merupakan sampah plastik dan kertas yang belum terpilah. Di sisi lain, Indonesia masih mengimpor bahan baku kertas dan plastik sebanyak 3,43 juta ton per tahun.
Subsidi atau insentif pengumpulan sampah membuat industri daur ulang dapat bertahan. Pemberian subsidi oleh pihak ketiga, baik pemerintah maupun pihak swasta, membuat risiko penyusutan harga jual sampah terakomodasi.
Salah satu upaya untuk mengelola sampah ialah mendaur ulang sampah bernilai jual, seperti plastik dan kertas. Terdapat dua jenis sampah plastik, yakni sampah plastik bernilai jual tinggi dan sampah plastik bernilai jual rendah.
Dalam industri daur ulang, sampah plastik bernilai jual rendah, seperti kantong keresek dan plastik kemasan, dianggap tidak bernilai dan tidak terkelola.
Head of Recycle Business Waste4Change Rizky Ambardi menyampaikan, pemberlakuan pajak plastik atau plastik kredit kepada produsen dapat mendorong industri daur ulang untuk mengelola sampah plastik bernilai rendah.
Dengan sistem pendataan yang baik, produsen produk kemasan plastik diharapkan akan membeli sampah yang dikelola sektor informal dan industri daur ulang. Sebab, beredarnya sampah plastik bernilai rendah yang mayoritas berasal dari kemasan produk kebutuhan sehari-hari turut jadi tanggung jawab produsen produk tersebut.
”Subsidi atau insentif pengumpulan sampah membuat industri daur ulang dapat bertahan. Pemberian subsidi oleh pihak ketiga, baik pemerintah ataupun swasta, akan membuat risiko penyusutan harga jual sampah terakomodasi,” ujar Rizky dalam seminar bertajuk ”Potensi Pengelolaan Sampah Bernilai Rendah”, di Jakarta Selatan.
Pada setiap industri daur ulang, hampir selalu terjadi penyusutan nilai atau harga jual setelah melalui berbagai proses pengolahan. Dari 100 kilogram sampah yang masuk, Rizky mencontohkan, hanya sekitar 75 kilogram yang dapat dijual untuk didaur ulang.
Di sisi lain, Indonesia adalah penghasil plastik terbanyak kedua di dunia setelah China. Ironisnya, tambah Rizky, salah satu pabrik daur ulang justru mengimpor sampah plastik dari Amerika Serikat 4.000 ton per bulan. Padahal, sektor informal di Indonesia dapat mengumpulkan sampah plastik sebanyak 1 juta ton per tahun.
Namun, menurut Ketua Umum The Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Joni Aswira Putra, belum ada kesadaran warga untuk mengelola sampah. Hal ini disebabkan sampah dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga dan selesai begitu saja setelah produk dalam kemasan dikonsumsi.