Beribadah dengan Mengurangi Sampah di Bulan Penuh Berkah
Selama bulan Ramadhan, jumlah timbulan sampah meningkat 20 persen dan mayoritas adalah sampah makanan. Ramadhan menjadi momentum untuk mengonsumsi makanan secukupnya dan mengurangi penggunaan plastik.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bulan suci Ramadhan tidak hanya menjadi momentum bagi mukmin untuk memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta dan sesama manusia, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan alam sekitar. Hubungan baik dengan alam itu dapat dilakukan dengan mengonsumsi makanan secukupnya, mengurangi penggunaan plastik, dan menyumbang sampah sebagai bentuk ibadah.
Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu Prabowo menjelaskan, bulan Ramadhan bukan hanya momentum untuk mendekatkan diri pada Sang Khalik melalui ibadah dan memperkuat hubungan antarinsan melalui berbagi atau sedekah. Bulan puasa juga menjadi momentum untuk menjalin hubungan baik dengan alam yang telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia.
”Islam tidak hanya mengajarkan Hablum Minallah (kesalehan terhadap Allah), Hablum Minannas (kesalehan kepada sosial), melainkan juga Hablum Minal Alam (kesalehan kepada alam sekitar). Kesalehan kepada alam jarang diperhatikan dan dilakukan. Padahal, ini penting untuk dijaga demi keberlanjutan manusia,” kata Hayu dalam diskusi pojok iklim bertajuk ”Ramadhan Minim Sampah” yang diadakan Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (5/4/2023).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan menyebutkan, terdapat dua perbuatan yang menghasilkan sampah, yakni mubazir atau perilaku boros dan israf atau konsumsi berlebihan. Sampah yang dihasilkan akibat kedua perbuatan tersebut dapat memicu kerusakan lingkungan.
Hayu menambahkan, dalam Hadits Tarmizi, Rasulullah bersabda, ”Orang mukmin itu bagaikan lebah, jika ia makan sesuatu ia makan yang baik, jika ia mengeluarkan sesuatu ia mengeluarkan yang baik, dan jika ia hinggap di ranting yang sudah lapuk pun, ranting itu tidak dirusaknya.” Makanan yang baik, kata Hayu, berkaitan dengan konsep Halalan Thayyiban.
”Mengonsumsi makanan yang halal saja belum cukup. Kita juga perlu memastikan makanan itu thayyib atau tidak merusak lingkungan. Lalu, tetap makan secukupnya dan menghabiskan makanan,” lanjut Hayu.
Hayu menegaskan, pengelolaan sampah merupakan bagian dari ibadah sekaligus membangkitkan kesadaran untuk merawat lingkungan. Sebab, kerusakan lingkungan terjadi akibat ulah manusia.
Jika kita merusak bumi, maka kita, manusia, telah merusak ibu kita. Dengan menyebutnya sebagai ibu, kita akan merawat bumi dan menjaganya layaknya kita melakukan itu kepada sosok ibu.
Menurut KLHK, timbulan sampah pada tahun 2022 mencapai 69,2 juta ton atau dengan kata lain dapat terangkut oleh 230 kapal tanker jenis very large crude carrier sepanjang 329,9 meter. Dari total jumlah tersebut, hampir separuhnya atau 41,2 persen adalah sampah sisa makanan.
Direktur Pengurangan Sampah, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Shinta Saptarina Soemiarno menyampaikan, timbulan sampah selama bulan Ramadhan justru meningkat sekitar 20 persen dan mayoritasnya adalah sampah makanan. Padahal, konsumsi makanan seharusnya berkurang karena pada bulan puasa, masyarakat mengurangi tingkat konsumsinya.
”Di Padang, Sumatera Barat, misalnya, terjadi peningkatan 5 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Di Surabaya juga terjadi peningkatan sebanyak 200 ton ke tempat pembuangan akhir. Padahal, ini saatnya menahan nafsu untuk mengistirahatkan bumi,” kata Shinta.
Pengurangan sampah tidak pernah berhenti sampai sekarang sehingga perlu ada gerakan perubahan. Koordinator Divisi Lingkungan Hidup, Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pengurus Pusat Aisyiyah Hening Parlan mengatakan, salah satunya dengan menyebut bumi dengan ”ibu bumi”.
”Jika kita merusak bumi, maka kita, manusia, telah merusak ibu kita. Dengan menyebutnya sebagai ibu, kita akan merawat bumi dan menjaganya layaknya kita melakukan itu kepada sosok Ibu,” ujar Hening.
Di bulan Ramadhan ini, Hening menawarkan konsep eko-takjil sebagai upaya mengurangi sampah dan merawat bumi. Eko-takjil itu dapat dilakukan dengan menggunakan kemasan ramah lingkungan yang mudah didaur ulang saat membeli takjil. Misalnya, membawa wadah makanan dari rumah, membawa tas belanja, dan tidak menggunakan kemasan berlapis-lapis.
Selain itu, mengurangi sampah makanan juga menjadi langkah untuk merawat bumi, yakni dengan membeli makanan berbuka secukupnya, menghabiskan makanan berbuka dan sahur, tidak menimbun makanan di kulkas, dan tidak membeli bahan makanan berlebihan. ”Mari kita menjaga semangat jaga bumi di bulan Ramadhan agar menjadi berkah bagi manusia,” imbuh Hening.
General Manager FoodCycle Indonesia Cogito Ergo Sumadi menyampaikan, memasuki hari ke-15 puasa, sampah sisa makanan meningkat sekitar tiga kali lipat. Penyebabnya, peningkatan sampah makanan itu umumnya terjadi saat berbuka puasa.
”Sebaiknya, makanan berlebih yang masih layak makan didonasikan kepada mereka yang membutuhkan. Apabila sudah tidak layak, bisa disumbangkan ke peternakan maggot untuk menjadi pakan ternak dan pupuk,” kata Sumadi saat dihubungi dari Jakarta.
FoodCycle Indonesia merupakan organisasi nonprofit yang bergerak dalam penampungan dan pengolahan sampah makanan sejak tahun 2017. Sejak awal berdiri sampai Februari 2023, tercatat lebih dari 800 ton sampah makanan mereka kelola.
Selama bulan puasa ini, FoodCycle telah menerima donasi sampah sisa makanan dari hotel dan restoran. Sampah tersebut rata-rata didistribusikan untuk makanan maggot.
”Hanya dari satu hotel berbintang 4 saja itu setiap harinya kami mengambil 25 kilogram sisa makanan atau selama bulan puasa totalnya 400 kilogram. Sisa makanan atau makanan berlebih yang jelas masih bisa dimakan atau diproses ulang,” ujar Sumadi.