Ketika Larangan Uji Calistung Kembali Digemakan
Larangan tes calistung untuk masuk kelas 1 SD bukan kebijakan baru. Perlu evaluasi dan sanksi tegas agar transisi PAUD ke SD yang menyenangkan bisa terwujud.
Belajar di kelas 1 sekolah dasar sudah lama menjadi momok bagi siswa dan orangtua meskipun sejak tahun 2010 sudah ada aturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada seleksi membaca, menulis, dan menghitung bagi anak yang akan mendaftar di kelas 1 SD. Nyatanya, praktik tes membaca, menulis, dan menghitung atau calistung tetap berjalan sampai saat ini.
Mampu calistung saat mulai belajar di kelas 1 SD semacam menjadi ketentuan tidak tertulis yang harus disiapkan orangtua dan guru pendidikan anak usia dini (PAUD). Ketika siswa di TK B, tuntutan untuk secara intensif menguasai calistung semakin menguat.
Tahun ajaran baru 2023/2024 pada Juli mendatang masih dalam hitungan bulan. Sejumlah SD swasta sudah membuka penerimaan peserta didik baru (PPDB) sejak akhir tahun lalu hingga saat ini, yang menyasar anak-anak usia dini minimal berusia 6 tahun. Berbekal pendidikan di PAUD yang mulai intensif memperkuat kemampuan calistung siswa, ditambah lagi dengan les calistung di luar sekolah, membuat para orangtua merasa lega anaknya bisa lulus tes calistung saat pendaftaran.
Kiki (35) mempersiapkan anak sulungnya untuk siap bersekolah dengan mendaftar di kelompok bermain (KB) dekat rumahnya di sekitar Cibubur, Jakarta Timur. Dia dan suami berencana untuk memasukkan anak laki-lakinya di salah satu SD swasta favorit di umur enam tahun lebih saat saat tahun ajaran baru nanti.
Kiki mengetahui untuk masuk ke salah satu SD swasta tersebut cukup ketat persaingannya karena ada tes calistung, mengaji, serta tes motorik kasar, dan halus. Agar bisa lolos, Kiki memastikan anaknya lancar calistung.
Saat di TK B, Kiki ”mengebut” dengan mengikutkan anaknya les secara privat pada guru TK di luar jam sekolah. Dirasa masih belum cukup, Kiki juga memasukkan anaknya les di lembaga khusus calistung untuk persiapan masuk SD.
”Tuntutan untuk sekolah di SD kan memang begitu ya, anak sudah harus mulai bagus calistung. Mau tidak mau, saya mempersiapkan anak untuk bisa calistung supaya pas SD tidak ketinggalan belajar. Tes masuknya saja kan sudah menilai kemampuan calistung siswa,” kata Kiki di Jakarta, Senin (3/4/2023).
Baca juga: Tidak Ada Lagi Tes Calistung untuk Masuk SD
Di acara gelar wicara usai peluncuran Merdeka Belajar Episode 24: Transisi PAUD ke SD Yang Menyenangkan di Jakarta, Selasa (28/3/2023), guru SD Inpres Purwodadi, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Muhammad Yasin Damang, dan Guru TK Darul Amin, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Neli Purwani, mengakui, adanya tes calistung yang diterapkan sekolah sebagai bagian dari PPDB membuat sebagian guru dan orangtua menganggap kemampuan calistung adalah hal yang wajib. Banyak orangtua yang memberikan les tambahan kepada anak usia PAUD sebagai persiapan sebelum masuk ke jenjang SD. Di lembaga PAUD pun merasa harus memastikan lulusan PAUD sudah menguasai calistung.
Secara terpisah, Basuki Rahmat, Kepala SD Negeri Sirnagalih 03, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengatakan, tidak semua SD menggelar tes calistung saat PPDB. Sekolah kecil dengan penerimaan 25 siswa tiap tahunnya punya kebijakan menerima siswa baru meskipun bukan lulusan PAUD.
Aturan larangan calistung sebagai syarat masuk SD sejak 2010 hingga kini seperti ’macan kertas’, tegas tertulis tetapi lemah dalam implementasi, pengawasan, bahkan tak adanya sanksi.
”Di desa kan tidak semua anak mulai dari PAUD sebelum SD. Ada juga yang ikut PAUD, tetapi ya asal ada kegiatan saja. Untuk kondisi di daerah kami, guru kelas 1 SD juga harus siap mengajari anak-anak yang belum bisa calistung,” ujarnya.
Menurut Basuki, dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka, para guru mulai mengenal pembelajaran berdiferensiasi. Guru kelas 1 SD membagi siswa dalam kelompok dari yang belum mengenal huruf, sudah mulai mahir, sampai yang mahir.
Kemampuan fondasi
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode 24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan mengatakan, sudah banyak keluhan tentang tes calistung saat masuk SD. Dampaknya di PAUD, fokus belajar lebih banyak ke penyiapan calistung.
Padahal, kemampuan calistung/kognitif hanya satu dari enam kompetensi dasar yang seharusnya diperkuat di jenjang PAUD hingga kelas 1 sampai 2 SD. Untuk itulah, ada kebijakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan supaya anak merasa tetap senang belajar dan kemampuan dasar/fondasi untuk siap belajar terbentuk secara utuh.
Adapun enam kemampuan fondasi anak yaitu mengenal nilai agama dan budi pekerti; keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi; kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar; kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi; pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri; serta pemaknaan terhadap belajar yang positif.
”Karena dominasi tes calistung, pembelajaran PAUD jadi tidak menyenangkan. Ini kampanye masif bahwa tidak boleh lagi tes calistung untuk diterima masuk SD. Kebijakan ini memanandatkan di jenjang PAUD dan SD nanti ada orientasi selama dua minggu yang tidak langsung belajar bagi siswa baru,” jelas Nadiem.
Baca juga: Mencari Rumus Belajar Calistung untuk PAUD
Sanksi sosial
Berdasarkan Buku Saku Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, jika ada SD yang masih melakukan tes calistung unutk PPDB, masyarakat dapat melaporkan pelanggaran dalam pelaksanaan PPDB melalui laman http://ult.kemdikbud.go.id. Untuk tahun 2023, bagi sekolah yang melanggar akan dikenakan sanksi sosial.
Melalui advokasi dan kampanye, orangtua memahami bahwa SD yang bagus adalah SD yang tidak menerapkan tes calistung. Proses pemantauan juga akan dilakukan oleh pengawas dan penilik sekolah.
Disebutkan, asesmen awal dilakukan pada dua minggu pertama di tahun ajaran baru dan diterapkan melalui pelaksanaan kegiatan pembelajaran (bukan dalam bentuk tes). Saat anak berkegiatan, guru melakukan observasi dan mencatat peserta didik yang perlu pendampingan lebih atau memiliki kemampuan lebih dibandingkan rekannya.
Hasil asesmen tersebut digunakan oleh guru untuk merancang kegiatan pembelajaran selanjutnya. Penyesuaian kegiatan pembelajaran untuk mengakomodasi keragaman capaian anak merupakan bentuk pembelajaran berdiferensiasi yang selama ini marak diserukan lewat Merdeka Belajar dan diakomodasi dalam Kurikulum Merdeka.
Nadiem mengatakan, saat ini sudah ada Kurikulum Merdeka. Buku teks dan nonteks untuk siswa kelas 1 SD dapat diikuti oleh siswa yang belum mampu calistung karena dibantu dengan gambar-gambar. Buku nonteks juga ada penjenjangan dalam level membaca siswa.
Bukan kebijakan baru
Secara terpisah, koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengapresiasi peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-24: Transisi PAUD ke SD yang menyenangkan dengan melarang praktik tes calistung sebagai syarat masuk SD. Namun, sebenarnya larangan calistung 4 ini bukan kebijakan baru.
Larangan calistung sebagai syarat masuk SD sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010. Saat itu, regulasinya dibuat pada era kepemimpinan Mendikbud Mohammad Nuh. Dalam Pasal 69 Ayat 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan disebutkan, ”Seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung”.
Kemudian di era Mendikbudristek Muhadjir Effendi, tes calistung juga dilarang melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB, khususnya Pasal 12 Ayat 4, yaitu ”Dalam seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan tes membaca, menulis, dan berhitung”.
Bahkan, di masa awal Nadiem menjabat, larangan tersebut tegas termaktub dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB Pasal 30 Ayat 3 yang isinya, ”Seleksi calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD tidak boleh dilakukan berdasarkan tes membaca, menulis, dan/atau berhitung”.
”Bagi kami, upaya Mendikbudristek untuk kembali menekankan pentingnya transisi PAUD ke SD yang menyenangkan harus diapresiasi. Namun, pertanyaannya, mengapa praktik syarat calistung masuk SD masih terus terjadi belasan tahun meskipun sudah dilarang dalam peraturan?” ujar Satriwan.
Baca juga: Pendidikan Anak Usia Dini Masih Tertinggal
Menurut Satriwan, dengan adanya aturan larangan tes calistung sejak 2010, Kemendikbudristek dan dinas pendidikan memiliki kewenangan melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkala terhadap praktik tes calistung yang merupakan bagian dari pelaksanaan PPDB di daerah. Namun, monitoring, pengawasan, dan evaluasi berkala terhadap praktik tes calistung di daerah tidak dilakukan pemerintah.
Praktik yang berdampak buruk bagi perkembangan mental anak demikian tumbuh subur merata di banyak sekolah, lebih parah lagi dinas pendidikan membiarkannya. ”Jadi, maraknya tes calistung sebagai syarat masuk SD juga disebabkan tidak adanya sanksi dari kementerian dan dinas pendidikan terhadap sekolah yang masih mempraktikkannya. Aturan larangan calistung sebagai syarat masuk SD sejak 2010 hingga kini seperti ’macan kertas’, tegas tertulis tetapi lemah dalam implementasi, pengawasan, bahkan tak adanya sanksi,” kata Satriwan.
Satriwan menambahkan, desain pembelajaran SD hendaknya berorientasi pada pembangunan karakter anak, penanaman dan pembentukan nilai. ”Sekolah adalah arena bermain dan kegiatan pembelajaran berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak,” ujarnya.
Guru juga harus sabar menghadapi anak-anak dalam belajar. Guru mendesain pembelajaran agar anak-anak berkembang secara baik, membangun rasa percaya diri, mengenali lingkungan, mengelola emosi, serta secara bertahap memahami dasar literasi dan angka. Semua ini dicapai dengan metode pembelajaran yang menyenangkan, membangun partisipasi anak, dan memfasilitasi rasa ingin tahu anak.
Hal tersebut akan tercapai jika buku-buku teks yang disediakan Kemendikbudristek terdistribusikan sampai ke pelosok daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) dengan baik. Tampilan dan konten buku harus mendukung pembelajaran yang menyenangkan itu. Pelatihan bagi guru mutlak dilakukan.