Keberhasilan pendidikan anak usia dini selama ini disempitkan hanya memperkuat kemampuan calistung anak agar siap masuk SD. Mulai tahun 2023, tes calistung di SD ditiadakan untuk transisi PAUD ke SD yang menyenangkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Guru di SD Negeri Waikelo di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, memperkuat literasi dan numerasi siswa dengan hal yang konkret sebagai hasil pelatihan dan pendampingan Kelas Lentera Kuark. Terlihat siswa kelas 1 SD mendampingi siswa untuk menghitung daun kangkung di kebun sekolah saat belajar numerasi tentang simbol angka dan nama bilangan, Senin (30/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan anak usia dini dan kelas awal sekolah dasar yang selama ini lebih berfokus pada penguasaan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung atau calistung dihentikan. Sebab, kemampuan calistung bukan satu-satunya kemampuan dasar yang harus disiapkan di tahap awal pendidikan anak agar mereka mampu berkembang menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Akibat penguasaan calistung di kelas 1 SD sudah menjadi persyaratan, maka proses belajar pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia pun dianggap berhasil jika membuat anak menguasai calistung. Ditambah lagi, tes calistung juga masih diterapkan sebagai syarat masuk SD.
Padahal, tidak semua anak yang hendak masuk SD melalui PAUD terlebih dulu. Selain itu, pendidikan yang hanya fokus pada kemampuan calistung dengan cara instan atau drilling membuat pembelajaran dianggap beban dan tidak menyenangkan bagi anak sejak usia dini.
”Masa pendidikan dari PAUD ke SD ini harusnya menjadi masa transisi. Karena itu, kita harus membuat transisi jenjang PAUD ke kelas 1-2 SD menjadi satu napas dan berkelanjutan sehingga anak-anak senang belajar,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim di acara peluncuran Merdeka Belajar Episode 24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan di Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Nadiem menegaskan, untuk penerimaan siswa PAUD ke kelas awal SD mulai tahun ajaran 2023/2024 tidak boleh lagi mengadakan tes calistung sebagai bagian dari proses penerimaan peserta didik baru di SD. Jenjang PAUD dan kelas awal SD harus menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama, serta menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak.
”Selama ini kita suka bangga anak Indonesia bisa jago membaca, tetapi sekadar membunyikan huruf. Tetapi aneh, giliran di kelas 3-4 SD jadi ketinggalan tingkat literasi. Hal ini karena pendidikan di PAUD dan kelas awal SD terburu-buru mengajar kompetensi dalam arti yang sempit dengan fokus calistung, tetapi juga tanpa metode yang menyenangkan dan memahami konsep. Kompetensi literasi dan numerasi dipaksakan dengan cara menghafal,” kata Nadiem.
Anak-anak bermain di PAUD Generasi Maju di kompleks Taman Pintar, Yogyakarta, Jumat (1/7/2022). Danone Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Yogyakarta meluncurkan kembali PAUD Generasi Maju untuk mendukung pengembangan kecerdasan, pengetahuan, dan motorik bagi anak-anak usia dini pengunjung Taman Pintar. Acara itu juga diisi dengan sosialisasi gerakan Isi Piringku yang digencarkan oleh Pemerintah antara lain untuk menurunkan angka stunting.
Tidak menjadi fokus
Menurut Nadiem, kebijakan Merdeka Belajar untuk mendukung transisi PAUD ke SD yang menyenangkan bukan berarti pengenalan calistung di PAUD tidak bisa dilakukan. Namun, hal tersebut tidak boleh lagi menjadi fokus. Proses pendidikan di PAUD dan kelas awal SD mesti berfokus untuk membangun enam kemampuan fondasi anak.
Anak-anak dari jenjang PAUD hingga kelas awal SD harus didukung untuk mengenal nilai agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi, serta kematangan emosi untuk berkegiatan di lingkungan belajar. Selain itu, kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar, seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi; pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri; dan pemaknaan terhadap belajar yang positif.
Menurut Nadiem, jika pembelajaran di PAUD lebih berfokus pada calistung-karena pendidikan di kelas 1 SD sudah menuntut anak-anak menguasai calistung-dibiarkan, berarti hal tersebut merampas hak anak-anak Indonesia untuk bertumbuh dan berkembang sesuai kodratnya. Anak-anak bisa mengasosiasikan sekolah dan belajar merupakan hal yang tidak menyenangkan.
Anak-anak bisa menjadi tidak percaya diri sejak awal akibat merasa tidak pintar dalam calistung. Padahal, di usia dini ada kemampuan lain yang jauh lebih penting dari penguasaan calistung yang diajarkan secara tidak menyenangkan seperti menghafal.
”Ini fatal jika fokus calistung secara sempit terus jadi fokus di PAUD. Jadi kita harus mengakhiri miskonsepsi dalam pendidikan di PAUD. Transisi PAUD ke SD harus berjalan mulus dan selaras, dengan satu nafas yang terus berkelanjutan. Kemampuan fondasi anak untuk belajar harus dibangun secara holistik dan menyenangkan karena belajar di sekolah itu bukan tentang hasil, tapi proses,” ujar Nadiem.
Selama ini kita suka bangga anak Indonesia bisa jago membaca, tetapi sekadar membunyikan huruf. Tetapi aneh, giliran di kelas 3-4 SD jadi ketinggalan tingkat literasi.
Psikolog Anak dari Universitas Indonesia, Lucia Royanto, mengatakan, pembelajaran di PAUD yang lebih menekankan calistung sudah dianggap kebenaran, padahal tidak benar. ”Calistung bukan satu-satunya fondasi yang bisa diajarkan di PAUD. Namun, ada enam kemmapuan dasar di fase transisi antara PAUD dan SD yang harus disiapkan dalam diri tiap anak. Kematangan kognitif dengan program calistung sebagai yang pertama di PAUD tidak tepat,” kata Lucia.
Menurut Lucia, dengan pengembangan keenam kompetensi dasar sejak PAUD hingga kelas awal, penting sebagai dasar bagi anak untuk cinta belajar atau kasmaran belajar. Mereka pun mengalami belajar sebagai proses yang menyenangkan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan surat edaran tentang kebijakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan agar bisa dilaksanakan di semua daerah. Proses pendidikan di PAUD dan SD kelas awal harus selaras dan berkesinambungan.
Kemendikbudristek, ujar Iwan, meminta satuan pendidikan untuk menghilangkan tes calistung dari proses penerimaan peserta didik baru di jenjang SD/MI. Sebenarnya larangan ini sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.
Seorang guru PAUD membacakan buku cerita berbahasa ibu kepada siswa dalam Festival dan Kreativitas Anak Usia Dini 2017 bertema Bahasa Ibu Membangun Keadaban Keaksaraan sejak Dini di Jakarta, Rabu (10/5).
Lebih lanjut Iwan mengatakan, di PAUD dan SD kelas awal menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama. Tidak kalah penting, menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak yang dibangun secara kontinyu dari PAUD hingga kelas dua pada pendidikan dasar.
”Kebijakan ini memandatkan satuan pendidikan menghilangkan tes calistung dari proses penerimaan siswa di SD, tidak ada abu-abu. Ini hak anak. Jangan sampai SD merasa tidak punya tanggung jawab mengajarkan calistung di kelas awal karena menganggap tugas guru PAUD. Padahal, masih banyak anak yang belum mengakses PAUD. Karena itu, perlu dipastikan anak-anak dari transisi PAUD ke kelas awal SD untuk mendapatkan penguatan kemampuan fondasi menyeluruh ketika di kelas awal. Pembelajaran PAUD dan kelas awal harus satu nafas dan berkelanjutan,” ujar Iwan.
Nadiem mengatakan, dengan Kurikulum Merdeka, transisi PAUD ke SD sudah disiapkan. Buku-buku teks sesuai Kurikulum Merdeka, sudah diubah dan dikurasi sehingga di kelas awal SD tidak ada asumsi anak sudah menguasai calistung. Buku-buku teks disertai banyak gambar sehingga anak-anak kelas 1 SD bisa mengerti alur cerita maupun konsep Matematika karena dukungan visualnya kuat.
”Kami benar-benar ingin bisa menuntun generasi berikut dan memastikan anak-anak dalam masa emasnya tumbuh menjadi pelajar Pancasila yang sesuai kodratnya di berbagai bidang, sesuai bakat dan minat, dan mengasosiasikan sekolah dan belajar sebagai hal yang positif dan menyenangkan,” kata Nadiem.
I Wayan Wirawan dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Badung, Bali, mengakui, masalah miskonsepsi anak-anak PAUD ke SD harus menguasai calistung memang terjadi. Guru SD pun menuding guru PAUD tidak mampu menyiapkan siswanya menguasai calistung, sedangkan orangtua sibuk mencari cara dengan mengirim anak PAUD ke bimbingan belajar calistung.
”Kami membentuk Forum Komuniaksi PAUD-SD yang melibatkan berbagai unsur di Kabupaten Badung. Kini, mulai ada kesepahaman pendidikan di PAUD tidak fokus hanya calistung, tetapi membangun kemampuan fondasi anak. Apalagi kami juga ada wajib pra-SD satu tahun di umur 5-6 tahun,” kata Wayan.