Peran Perempuan di Sektor Energi Masih Dipandang Sebelah Mata
Pandangan stereotip bahwa sektor energi adalah pekerjaan laki-laki membuat perempuan dipandang sebelah mata ketika bekerja di sektor energi. Padahal, potensi perempuan dalam mewujudkan energi terbarukan sangat besar.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan perempuan dalam sektor energi hanya 32 persen dibandingkan dengan laki-laki. Mereka masih dipandang sebelah mata karena pandangan stereotip bahwa sektor energi adalah pekerjaan laki-laki. Padahal, potensi perempuan untuk terlibat mewujudkan transisi energi terbarukan menuju target nol emisi 2060 sangat besar.
Hal itu tercatat dalam temuan The International Renewable Energy Agency (IRENA) tahun 2019 yang menunjukkan pekerjaan sektor energi masih didominasi laki-laki yang mencapai 68 persen. Bahkan, 32 persen perempuan itu pun lebih banyak ditempatkan pada bagian administratif, seperti sekretaris, bukan posisi strategis di sektor energi.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Khoiria Oktaviani mengatakan, hal ini disebabkan isu kesetaraan jender memang belum banyak dipelajari dan diterapkan di sektor energi. Akibatnya, tidak banyak contoh perempuan yang sukses di sektor energi.
”Perempuan belum dilibatkan secara maksimal dalam pelaksanaan proyek. Manfaat serta akses perempuan dan laki-laki tidak sama terhadap pekerjaan di sektor energi terbarukan. Perempuan juga belum banyak berpartisipasi dalam pertemuan resmi, kuasa pengambilan keputusan lebih banyak pada laki-laki,” kata Khoiria dalam diskusi Bincang Energi secara daring, Minggu (2/4/2023).
Pemerintah telah mengupayakan isu kesetaraan jender di berbagai bidang pembangunan melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Kultur dan norma sosial yang menganggap perempuan sebaiknya hanya mengurus rumah tangga membuat posisi perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Namun, Khoiria menyebut, aturan-aturan ini masih mencakup pekerjaan secara umum, untuk bidang energi terbarukan belum ada aturan tegas yang mewajibkan kesetaraan jender.
”Kalau di beberapa BUMN itu sudah ada peraturan bahwa manajerial di BUMN harus berapa persennya adalah perempuan, sementara di sektor energi belum ada aturan tersebut,” ucapnya.
Peneliti Society of Renewable Energy Women, Ravinska Minerva Azura, menilai, kultur dan norma sosial yang menganggap perempuan sebaiknya hanya mengurus rumah tangga membuat posisi perempuan tidak setara dengan laki-laki. Padahal, rumah tangga seharusnya diurus bersama dengan laki-laki agar perempuan juga bisa berbagi dan fokus dengan pekerjaannya di sektor energi.
”Seperti laki-laki, partisipasi perempuan sangat penting untuk mencapai nol emisi. Perempuan juga punya pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan inovasi di sektor energi,” kata Ravinska.
Sementara jika perempuan dianggap hanya mengurus rumah tangga, maka dapat dikatakan perempuan adalah konsumen utama dari penggunaan energi yang membuat mereka akan sangat mengerti menghemat energi. Pengetahuan ini akan sangat bermanfaat dalam pekerjaan di sektor energi terbarukan.
Pekerja perempuan di sektor energi, Yunita Diah, bercerita, memang tidak mudah bekerja di lingkungan yang sangat maskulin. Perempuan yang bekerja di perusahaan migas Inggris, Harbour Energy, itu mengakui secara fisik perempuan dan laki-laki memang berbeda, tetapi secara pola pikir perempuan bisa setara atau bahkan melebihi laki-laki.
Selama 18 tahun bekerja dengan rekan kerja laki-laki, Yunita mengaku sebenarnya tidak pernah mengalami diskriminasi jender. Namun, keberadaan dirinya justru memberikan nilai lebih pada sektor energi.
”Memberikan warna perempuan dalam pekerjaan laki-laki itu sangat kontributif. Keberagaman jender ini meningkatkan produktivitas, kreativitas, bahkan pendapatan perusahaan karena pegawai yang beragam. Jadi kaya rasa sehingga kerja tim semakin solid dan industrinya semakin maju,” kata Yunita.
Dia mencontohkan, perempuan pekerja energi yang biasanya juga mengurus rumah tangga akan lebih detail dalam bekerja. ”Pekerjaan kurang rapi bisa kami bikin lebih terorganisir yang memberikan dampak positif bagi perusahaan,” ucap ibu dua anak tersebut.
Menurut Yunita, perempuan sangat berpotensi untuk bekerja di sektor energi terbarukan. Selain demi menyetarakan jender, sektor energi juga masih menjadi pekerjaan yang terjamin secara pendapatan dan pengembangkan karier.