Rayakan Keperempuanan, Perjuangkan Kesetaraan...
Pameran di Australia diramaikan dengan sejumlah kegiatan yang mengulas berbagai sisi perempuan. Pada saat yang bersamaan, kaum perempuan yang bekerja di media massa memperjuangkan kesetaraan.
Sejak 8 Desember 2022 hingga 27 Agustus 2023, di Museum Nasional Australia, kaum wanita di ”Negeri Kangguru” tengah merayakan keperempuanan. Kekuatan dan keberagaman perempuan di berbagai sisi spiritualisme dan tradisi, sepanjang masa, ditakuti dan dihormati oleh makhluk lainnya. Kuasa feminin itu mencerminkan sifat ketuhanan hingga suasana kengerian.
Pameran yang digelar bersama British Museum itu menampilkan kuasa perempuan yang bisa tampil sebagai dewi, penyihir, orang suci, atau sosok yang sadis, tidak mengenal ampun, dan membuat suasana kengerian di mana-mana. Pameran di Australia itu bertemakan ”Feared and Revered: Feminine Power through the Ages” (Ditakuti dan Dihormati: Kuasa Keperempuanan di Segala Masa).
Tema berbeda diusung pada pameran serupa di Inggris, yaitu ”Feminine Power: The Divine to the Demonic” (Kuasa Keperempuanan: Sisi Ketuhanan dan Kejahatan). Pameran itu menampilkan beragam karya seni dan kisah terkait keperempuanan, yang ganas, cantik, kreatif, atau menginspirasi. Baik dan buruk yang tersebar dalam berbagai masa. Lebih dari 160 benda bersejarah koleksi British Museum tersebar di enam benua dan berusia lebih dari 5.000 tahun. Sebab, museum ini sudah ada sejak tahun 2800 sebelum Masehi hingga saat ini.
Laporan kondisi perempuan dalam industri media ini adalah seruan bagi pimpinan (pemilik) media untuk memperhatikan dan bertindak pada isu yang menempatkan perempuan di urutan teratas untuk segera ditangani.
Harian The Canberra Times edisi 11 Desember 2022 menuliskan, pameran yang melintasi masa sangat lama itu menampilkan wajah dan karakter wanita yang berkuasa dan berpengaruh. Perempuan bisa menjadi sosok yang sangat ditakuti, seperti Medusa, Dewi Permoni, atau Rangda, tetapi juga bisa menjadi sosok yang teramat didambakan makhluk hidup di dunia ini, seperti Guanyin (Dewi Welas Asih dalam tradisi China), Venus yang menyebarkan cinta, atau Bunda Maria dalam agama Katolik.
Di Indonesia, perempuan juga tampil dalam berbagai ragam kuasa, baik yang mulia dan menyejukkan maupun yang digambarkan selalu menyebarkan ketakutan dan kengerian. Seperti sosok Dewi Sri yang memberikan kesuburan atau Srikandi, panglima perang dari Pandawa yang mewarnai Baratayuda. Namun, ada pula Betari Durga yang menyebarkan kengerian atau Sarpakenaka, saudara perempuan Rahwana yang hidupnya dipenuhi nafsu belaka. Gambaran perempuan yang beragam itu juga ada hingga saat ini.
Leigh, pemandu dari Museum Nasional Australia, yang menemani editor senior dari Indonesia yang berkunjung ke Australia, Jumat (17/3/2023), menerangkan, pameran itu menampilkan berbagai patung, artefak sakral, dan karya seni kontemporer yang menampilkan tokoh perempuan, termasuk dari Australia dan belahan dunia lainnya.
Khusus dari Australia, ada sosok Yawkyawk dari Arnhem Barat, yang menurut legenda suku Kunijku merupakan nenek moyang kaum wanita muda yang mendiami kolam dan sungai air tawar. Ia menjadi dewi kesuburan. Dipajang pula kostum yang dipakai penyanyi ternama Kylie Minogue saat tur Aphrodite: Les Folies tahun 2011. Bagi warga Australia, Kylie Minogue menjadi representasi dari perempuan hebat negeri itu, yang dipuja oleh jutaan orang dari seluruh dunia. Ia menjadi dewi Australia.
Baca juga : Kylie Minogue Mengentak Panggung Glastonbury
Perempuan selalu memunculkan dua sisi yang menarik dan bisa mengundang perdebatan. Lilith, misalnya, yang dalam mitologi Yahudi disebutkan sebagai istri pertama Adam, diusir dari Taman Eden atau surga gegara tidak mau menuruti nasihat suaminya. Sebagian orang menilai, Lilith atau Hawa —dalam pemahaman di Indonesia—merupakan sosok lemah sehingga bisa mudah tergoda setan, yang berbentuk ular, dan menjadikan manusia pertama jatuh dalam dosa. Namun, sebagian orang juga menilai, Hawa adalah figur yang berjasa sehingga manusia bisa menjadi seperti saat ini, mengetahui kebaikan dan kejahatan.
Proyek 50:50
Memang tidak ada habisnya membicarakan perempuan. Sebab itu, pameran di Australia itu juga diramaikan dengan sejumlah kegiatan yang mengulas berbagai sisi perempuan. Dan, pameran itu menjadi terasa tepat waktu karena pada saat yang bersamaan kaum perempuan yang bekerja di media massa di negeri berpenduduk sekitar 26,3 juta jiwa itu tengah memperjuangkan kesetaraan. Perimbangan ”kekuasaan” dengan kaum pria, yang selama ini dinilai mendominasi dunia media, baik dari sudut kepemimpinan, perimbangan jumlah, atau narasumber.
Dalam diskusi terbatas dengan editor senior dari Indonesia yang diundang Pemerintah Australia di National Press Club, Canberra, Kamis (16/3/2023), empat perempuan jurnalis Australia menggambarkan situasi tak seimbang yang dihadapi kaum perempuan di media massa di negeri itu. Mereka adalah Wakil Ketua Public Interest Journalism Initiative (PIJI) Virginia Haussegger AM, wartawan dan penulis buku Catherine Fox AM, wartawan Australian Broadcasting Corporation (ABC) Rhiannon Hobbins, serta Petra Buchanan dari Women in Media dan mantan pemimpin Discovery Channel.
Keempat perempuan jurnalis di Australia itu sepakat mengakui, masih ada perlakuan berbeda bagi perempuan di Australia yang menjadi jurnalis. Kondisi itu juga terjadi pada bidang lain yang sampai saat ini masih didominasi kaum pria. Petra menyebutkan, mayoritas wanita, sekitar 56 persen, tidak yakin atau tidak puas dengan tingkat kemajuan kariernya. Khusus di media, kaum perempuan merasakan ada kurangnya kesempatan, tanggung jawab yang tak sepadan, dan keterbatasan promosi yang membuat kariernya terhambat atau tak berkembang.
Perempuan di media massa bertahan menjalani profesinya di Australia umumnya karena memiliki peluang promosi nan terbuka dan berpeluang untuk tumbuh. Namun, lanjut Petra, perlakuan berbeda dalam penggajian membuat perempuan meninggalkan pekerjaannya tersebut.
Dalam survei dan analisis yang melibatkan 18.346 liputan media di Australia pada Juli tahun lalu, Petra menambahkan, mayoritas responden menilai industri media mempunyai komitmen yang rendah untuk melakukan kesetaraan jender, termasuk di ruang redaksi. Responden yang terlibat dalam survei itu sebanyak 250 orang. Sebanyak 14 persen di antaranya bahkan menilai, komitmen industri pers sangat lemah dalam kesetaraan jender, selain 42 persen yang menyatakan komitmen itu lemah.
Baca juga : Yang Menyebalkan Jadi Perempuan Wartawan
”Laporan kondisi perempuan dalam industri media ini adalah seruan bagi pimpinan (pemilik) media untuk memperhatikan dan bertindak pada isu yang menempatkan perempuan di urutan teratas untuk segera ditangani,” ujar Petra. Dalam survei itu, 84 persen responden mendorong adanya audit atas sistem penggajian yang menimbulkan kesenjangan berdasarkan status jender. Laporan ”Women in Media” itu dipresentasikan pada Februari lalu, bersama lembaga pemantau media Isentia, dan menggambarkan kondisi perempuan kini di media massa Australia.
Kaum pria sampai saat kini masih mendominasi media di Australia, baik di ruang redaksi maupun di kepemimpinan. Suara perempuan juga terbatas dalam pemberitaan di media. Namun, nilai kesetaraan jender di media di Australia terus meningkat. Skor pada tahun 2016 sebesar 78 dan meningkat menjadi 86 pada tahun lalu. Nilai itu diharapkan meningkat menjadi 92 pada tahun 2028 dan 98 pada tahun 2034.
”Sesungguhnya terlalu lama waktu yang dibutuhkan, lebih dari 10 tahun, untuk mewujudkan kesetaraan jender pada media di negeri ini,” kata Petra. Ia pun mempertanyakan situasi kesetaraan jender di media di Indonesia yang rasanya hingga saat ini memang belum ada penilaian secara terbuka.
Mayoritas (70 persen) media di Australia tahun lalu masih mengutip narasumber pria dan hanya 30 persen narasumber wanita yang diberi tempat. Namun, angka ini sudah lebih baik dibandingkan tahun 2016 yang menempatkan 77 persen narasumber pria dibandingkan 23 persen wanita.
Rhiannon menambahkan, pada 2019, sejumlah media di Australia, termasuk ABC, bergabung dalam Proyek 50:50 untuk kesetaraan bagi perempuan. Tahun lalu, kian banyak media di Australia yang memberikan tempat bagi perempuan di redaksi dan manajemen.