Resep Panjang Umur ala Sentenarian: Gen hingga Gaya Hidup Sehat ala Biarawati
Jumlah sentenarian atau orang berumur lebih dari 100 tahun akan terus naik hingga mencapai 3,6 juta orang pada 2050. Mereka memiliki gen khusus penanda umur panjang ekstrem, hidup optimistis, dan bergaya hidup sehat.
Hingga tahun 2021, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan ada lebih dari 573.000 sentenarian atau manusia yang berumur lebih dari 100 tahun di seluruh dunia. Jumlah itu dipastikan akan terus meningkat seiring makin bertambahnya usia harapan hidup di negara-negara maju dan berkembang. Namun, penyebab panjang umur ekstrem itu belum diketahui pasti.
Jumlah sentenarian itu akan terus meningkat secara eksponensial. World Population Prospects 2022 menyebut usia harapan hidup (UHH) rata-rata global telah mencapai 72,8 tahun pada 2019 atau naik 9 tahun dibandingkan UHH tahun 1990. Pada 2050, UHH rata-rata global diprediksi 77,2 tahun. UHH perempuan lebih tinggi dari laki-laki sehingga sebagian besar sentenarian adalah perempuan.
Peningkatan UHH itu otomatis akan meningkatkan jumlah sentenarian atau orang yang memiliki usia lebih dari 100 tahun. World Population Prospects 2015 Revision menyebut ada 95.000 sentenarian pada 1990. Pada 25 tahun berikutnya atau 2015, jumlah sentenarian itu naik hampir 5 kali lipat mencapai 451.000 orang. Diproyeksikan akan ada 3.676.000 sentenarian pada 2050.
Resep panjang umurnya ada banyak macam, mulai dari menikmati alam, membangun relasi sosial yang baik, hingga menjauhi orang-orang yang dianggap ’toksik’.
Mengutip data Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2021, Amerika Serikat menjadi negara dengan jumlah sentenarian terbanyak yang mencapai 97.000 orang.
Posisi kedua negara dengan jumlah sentenarian terbanyak diduduki Jepang. Namun, Jepang juga menjadi negara dengan rasio sentenarian tertinggi yang mencapai 0,06 persen dari total populasi negara tersebut. Jepang juga memiliki 30 supersentenarian atau orang yang berumur lebih dari 110 tahun.
Pada 4 Maret 2023, María Branyas Morera genap berumur 116 tahun. Sejak Januari 2023, perempuan yang lahir di San Francisco, AS, pada 1907 dan kini tinggal di panti jompo di Catalonia, Spanyol, itu dinobatkan sebagai manusia tertua di dunia. Dia menggantikan rekor manusia tertua sebelumnya yang dipegang biarawati Perancis, Suster André, yang meninggal pada 17 Januari 2023 dalam usia 118 tahun.
Morera dianggap sebagai nenek super. Dia mampu bertahan dari pandemi flu Spanyol. Dia juga mampu melewati Perang Dunia I dan II serta perang saudara di Spanyol. Bahkan dia mampu bertahan dari serangan Covid-19 yang mulai menyerang saat usianya mencapai 113 tahun.
Menurut Morera, seperti disampaikan kepada Guinness World Records dan dikutip Livescience, 31 Maret 2023, resep panjang umurnya ada banyak macam, mulai dari menikmati alam, membangun relasi sosial yang baik, hingga menjauhi orang-orang yang dianggap ”toksik”. Belakangan, dia memuji pemicu panjang umur ekstrem adalah keberuntungan dan genetika yang baik.
Hingga kini, rekor manusia tertua yang pernah tercatat dipegang oleh Jean Louise Calment yang meninggal dalam usia 122 tahun pada 1997. Namun, studi dengan pemodelan matematika yang dipubliksikan di jurnal Nature Communications, 25 Mei 2021, memprediksi umur manusia masih dapat diperpanjang lagi hingga berkisar antara 120 tahun dan 150 tahun.
Genetika
Lantas, apa resep panjang umur para sentenarian dan supersentenarian tersebut? Apakah umur panjang yang ekstrem itu hanya sebuah keberuntungan atau ada persoalan genetika atau kondisi lain yang memicunya?
Gaya hidup biarawati juga cenderung sehat, seperti tidak merokok, makan dengan makanan sehat, serta menjalani hidup komunal yang damai.
Gen jelas berperan penting dalam membentuk manusia berumur panjang. Anak dan saudara kandung dari sentenarian juga cenderung memiliki usia yang lebih panjang dibanding UHH rata-rata. Studi Consuelo Borras dan rekan di jurnal Aging, 28 Oktober 2016, menemukan gen yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh dan perbaikan sel menjadi lebih aktif pada orang-orang dengan panjang umur ekstrem.
Secara umum, ilmuwan percaya bahwa 25 persen masa hidup manusia ditentukan oleh gen. Pada 2011, profesor genetika dari Universitas Salerno, Italia, Annibale Puca, menemukan gen manusia yang disebut BPIFB4 mampu menghentikan proses penuaan kardiovaskular dan membalikkan sejumlah aspek penuaan saat dimasukkan dalam tubuh tikus.
Selanjutnya, dalam jurnal Circulation Research, 1 Juni 2015, Puca dan rekan menemukan bahwa variasi tertentu dari gen BPIFB4 dikaitkan dengan umur panjang yang luar biasa pada para sentenarian. Orang yang memiliki dua salinan variasi gen ini memiliki lebih sedikit risiko menderita penyakit kardiovaskular, tekanan darah rendah, dan arteriosklerosis (penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan plak) dibanding yang tidak memiliki variasi gen ini.
Sekitar 10 persen manusia diperkirakan memiliki variasi tertentu dari gen BPIFB4 sehingga mereka bisa berumur panjang ekstrem. ”Anda tidak akan bisa hidup sampai usia 110 tahun tanpa memiliki gen yang baik ini,” kata Puca.
Dalam studi lanjutan yang dilakukan, Puca dan tim memasukkan variasi gen tertentu tersebut pada tikus. Hasilnya, keberadaan gen itu tidak hanya menghentikan kerusakan jantung tikus paruh baya dan lanjut usia, tetapi juga mampu membalikkan usia biologis jantung tikus hingga setara dengan usia jantung manusia yang menjadi lebih muda 10 tahun.
”Di laboratorium, kami menemukan bahwa fungsi kardiovaskular tikus bisa diperbaiki. Kami mampu meregenerasi pembuluh darah dan sistem vaskular (peredaran darah) sehingga mampu mengubah sel radang menjadi sel antiradang,” tambahnya.
Baca juga: Cegah Penuaan Dini dengan Aneka Hidangan Segar
Selanjutnya, dalam jurnal Cardiovascular Research, 13 Januari 2023, Puca dan tim memasukkan gen terkait panjang umur ekstrem itu ke dalam sel jantung yang dikumpulkan dari donor organ yang telah meninggal akibat gagal jantung. Hasilnya, sama seperti pada tikus di laboratorium, gen tersebut mampu membalikkan proses penuaan jantung hingga meningkatkan fungsi kardiovaskular antara 20 persen dan 60 persen. Sel radang juga berubah menjadi sel sehat.
”Kami sekarang tahu bahwa sel terkait umur panjang ekstrem itu juga bekerja pada jaringan manusia,” ujar Puca.
Rekan Puca, profesor kedokteran kardiovaskular eksperimental di Universitas Bristol, Inggris, Paolo Madeddu, mengatakan, di masa depan, BPIFB4 berpotensi dimasukkan sebagai terapi gen ke sel orang lain yang tidak memiliki gen tersebut. Syaratnya, butuh lebih banyak riset yang mendukung hal itu. Namun terapi ini harus dilakukan berulang secara berkala karena terapi itu tidak bertahan selamanya.
Meski demikian, BPIFB4 bukanlah satu-satunya gen yang terkait dengan umur panjang. Studi yang dipimpin Xiao Tian dan dipublikasi di jurnal Cell, 18 April 2019, juga menemukan gen yang jadi penanda umur panjang, yaitu Sirtuin 6 atau SIRT6. Gen ini membantu memperbaiki asam deoksiribonukleat (DNA). Gen ini akan membantu sel-sel yang menua dan tidak bisa memperbaiki diri secara efisien sehingga bisa mencegah terjadinya mutasi gen yang bisa memicu kanker dan penyakit lain.
Baca juga: Ingin Panjang Umur dan Awet Muda
Efisiensi aktivitas SIRT6 itu diuji pada sejumlah hewan pengerat, mulai dari tikus hingga berang-berang. Hasilnya, hewan dengan usia paling panjang memiliki kemampuan memperbaiki DNA mereka secara efisien karena protein SIRT6 mereka menjadi lebih kuat.
Selain itu, riset Matthew Simon dan rekan di The EMBO Journal, 10 Oktober 2022 menemukan varian gen yang lebih langka terkait umur panjang, yaitu centSIRT6. Variasi gen ini dua kali lebih mudah ditemukan pada para sentenarian dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki riwayat umur panjang. Di laboratorium, centSIRT6 tidak hanya berfungsi memperbaiki DNA yang rusak, tetapi juga membunuh sel kanker dengan lebih kuat dibandingkan variasi SIRT6 yang lebih umum.
Pengaruh lingkungan
Namun, bukan hanya gen yang memengaruhi usia panjang para sentenarian. Faktor lingkungan juga sangat memengaruhi. Sejumlah studi menunjukkan, orang-orang dengan sikap optimis, diet sehat, dan tidak merokok juga cenderung hidup lebih lama.
Sebelum Morera, orang tertua di dunia adalah biarawati Perancis, Suster André. Entah kebetulan atau tidak, banyak biarawati Katolik menjadi sentenarian dan supersentenarian.
Antropolog Anna Corwin penulis buku Embracing Age: How Catholic Nuns Became Models of Aging Well (2021) dan dosen di California Institute of Integral Studies, San Francisco, AS, menulis penyebab umur panjang para suster tersebut bukan secara khusus karena mereka adalah biarawati, tetapi karena praktik budaya hidup yang mereka jalankan.
Secara umum, biarawati menjalani kehidupan dengan penuh makna. Mereka juga tinggal di komunitas dengan hubungan erat dan suportif. Mereka juga cenderung menolak stigma seputar penuaan. ”Mereka tidak serta-merta menganggap diri mereka tua. Karena itu, mereka tetap berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari, seperti berdoa dan bersosialisasi, hingga usia lanjut,” katanya.
Para biarawati juga menemukan kepuasan dan makna hidup dengan membantu orang lain. Pada saat bersamaan, dia juga memandang dirinya memiliki otonomi dan hak untuk memilih.
Baca juga: Tak Cukup dengan ”Skincare” untuk Lebih Percaya Diri
Kondisi itu juga didukung riset lama yang dilakukan ahli epidemiologi Alzheimer David Snowdon tahun 2003. Biarawati memiliki tingkat kematian lebih rendah dari populasi umum pada semua penyebab kematian. Keuntungan akan tingkat kematian yang rendah itu terus meningkat seiring bertambahnya rentang usia yang diperbandingkan.
Dalam studi tersebut, Snowdon menemukan 27 persen biarawati memiliki potensi hidup lebih panjang hingga usia 70-an tahun dibanding orang yang tidak menjadi biarawati. Gaya hidup biarawati juga cenderung sehat, seperti tidak merokok, makan dengan makanan sehat, serta menjalani hidup komunal yang damai.
Selain itu, Corwin juga menemukan, biarawati yang tinggal di biara dengan komunitas internal yang kuat dan jadwal ibadah yang padat, cenderung hidup lebih lama dibanding biarawati yang banyak berinteraksi dengan dunia luar.
Meski demikian, banyak hal yang belum jelas apa yang membedakan biarawati dengan populasi umum yang menjadi sentenarian. Beberapa studi menunjukkan, setiap anak yang dilahirkan seorang perempuan akan memangkas umur kehidupan seorang perempuan. Sedangkan studi lain menunjukkan perempuan yang memiliki anak berumur lebih panjang dibanding perempuan yang tidak memiliki anak.
Baca juga: Ketulusan Hati Biarawati Merawat Pasien Kusta
Kehidupan para biarawati sejalan dengan studi yang pertama, tetapi bertentangan dengan studi kedua. Biarawati telah bersumpah hidup selibat dan tidak memiliki anak. Namun nyatanya, mereka justru berumur lebih panjang.
Karena itu banyak hal tentang penyebab umur panjang belum sepenuhnya dipahami ilmuwan. Secara genetika, penyebab umur panjang mungkin lebih bisa dipahami. Namun, genetika hanya memberi pengaruh 25 persen pada usia panjang manusia. Faktor lingkungan yang mendukung usia panjang, belum sepenuhnya dipahami ilmuwan.