Anak yang Sering Dihukum Keras Lebih Berisiko Alami Masalah Kesehatan Mental
Kesehatan mental anak tidak hanya dipengaruhi pola asuh. Namun, anak-anak yang sering mendapatkan hukuman disiplin yang keras dari orangtuanya lebih berisiko mengembangkan masalah kesehatan mental.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yang sering mendapatkan hukuman disiplin yang keras dari orangtuanya lebih berisiko mengembangkan masalah kesehatan mental. Hukuman disiplin ini bisa berupa psikis ataupun fisik.
Temuan ini dipublikasikan di Epidemiology and Psychiatric Sciences pada Jumat (31/3/2023) oleh Ioannis Katsantonis, peneliti doktoral di Faculty of Education Universitas Cambridge, dan Jennifer Symonds, Associate Professor di University College Dublin School of Education.
Kedua peneliti menggunakan data dari 7.507 peserta dalam studi longitudinal ”Growing up in Ireland” terhadap anak-anak dan remaja. Data kesehatan mental diambil menggunakan alat penilaian standar yang disebut Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan. Setiap anak diberi skor gabungan dari 10 untuk gejala eksternalisasi dan internalisasi mereka pada usia tiga, lima, dan sembilan tahun.
Penilaian standar kedua digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan anak yang dialami pada usia tiga tahun. Orangtua diprofilkan berdasarkan seberapa jauh mereka cenderung terhadap masing-masing dari tiga gaya: pengasuhan yang hangat (mendukung dan memperhatikan kebutuhan anak mereka); konsisten (menetapkan ekspektasi dan aturan yang jelas); dan bermusuhan.
Dalam kajian ini, pola asuh yang bermusuhan sering melibatkan perlakuan dan disiplin yang keras, baik bersifat fisik maupun psikologis. Contoh dari perilaku ini di antaranya sering meneriaki anak-anak, hukuman fisik rutin, mengucilkan anak-anak ketika mereka berperilaku buruk, merendahkan harga diri mereka, atau menghukum anak-anak secara tidak terduga tergantung suasana hati orangtua.
Para peneliti memetakan gejala kesehatan mental anak-anak pada usia tiga, lima, dan sembilan tahun. Mereka mempelajari gejala kesehatan mental internal, seperti kecemasan dan penarikan sosial serta gejala eksternal, seperti perilaku impulsif dan agresif serta hiperaktif.
Kesehatan mental
Para peneliti menemukan bahwa, berdasarkan lintasan ketika gejala kesehatan mental mereka berkembang antara usia tiga dan sembilan tahun, anak-anak tersebut terbagi dalam tiga kategori besar. Sebagian besar (83,5 persen) berisiko rendah, dengan skor gejala internalisasi dan eksternalisasi yang rendah pada usia tiga tahun yang kemudian turun atau tetap stabil.
Beberapa di antaranya (6,43 persen) memiliki risiko ringan, dengan skor awal tinggi yang menurun dari waktu ke waktu, tetapi tetap lebih tinggi daripada kelompok pertama. Sisanya 10,07 persen berisiko tinggi, dengan skor awal tinggi yang meningkat pada usia sembilan tahun.
Sekalipun menetapkan batasan tegas untuk perilaku anak-anak mereka kadang dibutuhkan, sulit untuk membenarkan seringnya disiplin keras, mengingat implikasinya terhadap kesehatan mental.
Peneliti juga menemukan, pola asuh yang bermusuhan meningkatkan kemungkinan seorang anak berada dalam kategori berisiko tinggi sebanyak 1,5 kali dan kategori berisiko ringan sebanyak 1,6 kali pada usia sembilan tahun.
Pengasuhan yang konsisten ditemukan memiliki peran protektif yang terbatas, tetapi hanya terhadap anak-anak yang termasuk dalam kategori ”berisiko ringan”. Namun, yang mengejutkan para peneliti, pengasuhan yang hangat tidak meningkatkan kemungkinan anak-anak berada dalam kelompok berisiko rendah, mungkin karena pengaruh faktor lain terhadap hasil kesehatan mental.
Berdasarkan data ini, kedua peneliti menyebutkan, kesehatan mental anak tidak semata-mata dipengaruhi pola pengasuhan. Hal ini juga dibentuk oleh berbagai faktor risiko, termasuk jenis kelamin, kesehatan fisik, dan status sosial ekonomi.
Penelitian sebelumnya telah menyoroti pentingnya faktor-faktor lain ini, banyak di antaranya juga dikonfirmasi oleh penelitian baru ini. Anak perempuan, misalnya, lebih cenderung berada dalam kategori berisiko tinggi daripada anak laki-laki; anak-anak dengan orangtua tunggal 1,4 kali lebih mungkin berisiko tinggi, dan mereka yang berasal dari latar belakang lebih kaya cenderung tidak menunjukkan gejala kesehatan mental yang mengkhawatirkan pada masa remaja.
Sekalipun demikian, anak-anak yang mengalami pengasuhan yang bermusuhan jauh lebih mungkin untuk masuk ke dalam kelompok berisiko mengalami masalah kesehatan mental.
Katsantonis dan Symonds berpendapat bahwa profesional kesehatan mental, guru, dan praktisi lain harus waspada terhadap potensi pengaruh pola asuh pada anak yang menunjukkan tanda-tanda memiliki kesehatan mental yang buruk. Mereka menambahkan bahwa dukungan ekstra untuk orangtua dari anak-anak yang sudah dianggap berisiko dapat membantu mencegah berkembangnya masalah ini.
”Fakta bahwa satu dari 10 anak berada dalam kategori risiko tinggi untuk masalah kesehatan mental menjadi perhatian dan kita harus menyadari peran orangtua dalam hal itu,” kata Katsantonis.
Menurut Katsantnois, sekalipun menetapkan batasan tegas untuk perilaku anak-anak mereka kadang dibutuhkan, sulit untuk membenarkan seringnya disiplin keras, mengingat implikasinya terhadap kesehatan mental.
Symonds berkata, temuan ini menggarisbawahi pentingnya melakukan segala kemungkinan guna memastikan bahwa orangtua didukung untuk memberikan pengasuhan yang hangat dan positif kepada anak-anak mereka, terutama jika keadaan yang lebih luas menempatkan anak-anak tersebut pada risiko hasil kesehatan mental yang buruk.
”Menghindari iklim emosional yang tidak bersahabat di rumah tidak serta-merta mencegah terjadinya hasil kesehatan mental yang buruk, tetapi mungkin akan membantu,” tuturnya.