Membekali Anak dengan Pengetahuan Kesehatan Jiwa Sedini Mungkin
Perhatian orangtua dan sekolah terhadap anak sangatlah penting untuk menjaga kesehatan mental anak agar tetap stabil dan sejalan dengan tumbuh kembangnya.
Peristiwa penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17) oleh Mario Dandy Satrio (20) menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama keluarga dan lembaga pendidikan. Kasus ini perlu mendapatkan perhatian, apalagi melibatkan anak-anak baik sebagai korban maupun pelaku.
Kasus tersebut mengingatkan betapa pentingnya memberikan pemahaman dan kesadaran tentang kesehatan jiwa pada anak-anak sedini mungkin. Mereka perlu diberi pengetahuan apa yang terjadi pada dirinya secara fisik, psikis, dan sosial yang bisa memengaruhi perkembangannya.
Anak-anak juga perlu dikenalkan dengan keterampilan untuk menghadapi tekanan dalam kehidupan (coping-mechanism) yang sehat ketika menghadapi kondisi yang mereka rasa sulit atau cukup menekan.
”Keterampilan coping tentang kapan harus jeda, istirahat, napas, berbicara dengan teman atau orang yang dipercaya, mengenali mood dan emosinya, dan lain-lain. Hal ini untuk jangka pendek bisa membantu anak untuk mengatasi tekanan emosionalnya,” ujar Nurul Eka Hidayati, social worker Mental Health Advocate, Senin (27/2/2023).
Kendati demikian, Nurul mengingatkan, untuk masalah yang bersifat jangka panjang dan anak-anak mulai kewalahan, mereka perlu diberi pengetahuan tentang sistem sumber yang ada di sekitarnya, yang bisa diakses ketika mereka membutuhkan bantuan lebih lanjut. Sistem sumber dimaksud seperti psikiater profesional, psikolog, pekerja sosial, perawat kesehatan jiwa, atau tenaga profesional bidang kesehatan jiwa lainnya.
Oleh karena itu, memastikan lingkungan rumah (pengasuhan) dan lingkungan sekolah serta pertemanan anak menjadi penting untuk menjaga kesehatan mental anak remaja stabil sejalan dengan tumbuh kembangnya.
Baca juga : Status A Naik Jadi Pelaku
Nurul menyatakan, masyarakat hendaknya menjadikan peristiwa tersebut sebagai pembelajaran karena apa yang anak-anak tunjukkan dalam perkataan dan perilaku mereka adalah respons atas suatu peristiwa yang menimbulkan tekanan bagi mereka.
Dalam konteks A, misalnya. Ia adalah anak di bawah umur yang seharusnya mendapatkan perlindungan karena peristiwa ini juga pasti menimbulkan trauma bagi dirinya yang bisa berdampak lama di masa depannya. ”Ini tidak berarti membenarkan apa yang A lakukan. Ia tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tetapi tentunya dengan cara yang mendidik dan mempertimbangkan umurnya,” katanya.
Karena itu, A harus belajar menerima bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Intervensinya yang tidak hanya fokus untuk ”mengoreksi”, tetapi lebih mengembangkan (improve and develop). Namun, Nurul mengingatkan, penting untuk mendalami dulu akar permasalahannya agar bisa dicari intervensi yang tepat.
Maka, latar belakang kehidupan A perlu didalami oleh psikolog, psikiater, dan pekerja sosial, termasuk aspek biopsikososial A. Sebab, kita tidak bisa menilai kondisi seseorang hanya dari informasi melalui media massa.
Aspek biopsikososial A dan Shane adalah aspek di mana kondisi biologis dan neurologis serta kondisi psikologis dan sosial saling berinteraksi. Hasil interaksi tersebut memengaruhi pembentukan karakter atau kepribadian seorang anak.
Karena otak remaja belum sepenuhnya berkembang, beberapa area tidak sepenuhnya ”menyambung”. Prefrontal-korteks anak remaja, yang mengontrol penalaran dan emosi remaja serta pengaturan diri atau self-regulation-nya, belum sepenuhnya berkembang.
Akibatnya, remaja bisa lebih impulsif dan moody. Karena perkembangan otak bagian itu juga terkait erat dengan pengambilan keputusan, maka remaja bisa tidak pandai membuat perencanaan ke depan dan membuat keputusan yang hati-hati. Hal ini penting karena penghayatan anak atas masalah yang sedang terjadi pada dirinya bisa saja berbeda satu dengan lainnya.
Peran sekolah
Di sisi lain, peranan sekolah juga penting sekali untuk membangun budaya yang ramah akan kesehatan jiwa, menciptakan alur pengaduan yang tepercaya dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak-anak, alur rujukan ketika berhadapan dengan kasus yang bersifat emergency atau krisis atau mungkin layanan yang berkelanjutan.
Sekolah bisa memberikan pelatihan penguatan kapasitas anak dalam membangun coping-mechanism yang sehat. ”Staf sekolah dan pengajar diberikan pengetahuan dan keterampilan dalam mengidentifikasi gejala-gejala dan masalah kesehatan jiwa agar dapat cepat ditindaklanjuti, sekaligus membangun budaya It’s ok not to be ok dan sebagainya,” tandas Nurul.
Tak hanya itu, sekolah perlu mengajarkan keterampilan dalam merespons keluhan-keluhan yang bersifat empatik dan aman buat anak, misalnya pelatihan psychological first aid dan konseling.
Sementara itu, orangtua perlu diberikan pemahaman tentang hal tersebut dan bagaimana melakukan pengasuhan yang ramah akan kesehatan jiwa karena tekanan pada remaja akibat ”tuntutan” atau ekspektasi dari orangtua juga menjadi faktor yang dapat menyebabkan anak mengalami tekanan.
Orangtua harus mengawal dan mengajar anak-anaknya dalam pengelolaan penggunaan gadget serta membangun relasi sehat antara anak dan orangtua. Pemahaman orangtua untuk mengenali tanda-tanda tekanan atau stres atau depresi juga penting. Sebab, masih ada stigma dan mitos seputar kesehatan mental.
Kasus kekerasan terhadap anak mestinya membuka mata kita semua, betapa serius, mendalam, dan kompleksnya budaya kekerasan di masyarakat dan khususnya yang melibatkan anak.
Situasi tersebut akan memengaruhi akses orangtua dan anak kepada profesional ketika mereka sebenarnya membutuhkan layanan profesional kesehatan jiwa.
Di sisi lain, ada kecenderungan anak-anak mencari informasi segala macam, termasuk tentang kesehatan mental, melalui internet. ”Langkah ini tentu saja bisa mengarah mereka kepada self-diagnosis dan akhirnya self-stigma yang tentu saja bisa membahayakan perkembangan jiwa mereka. Penggunaan media sosial juga menambah pada depresi mereka,” kata Nurul.
Tumbuh kembang anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan, kasus tersebut haruslah menjadi perhatian dan pengingat pada orangtua dan pemerintah untuk lebih fokus melihat tumbuh kembang anak-anak, khususnya anak-anak di usia remaja.
Pada masa remaja, secara psikologis anak-anak mengalami fase pencarian jati diri. Jika tidak dibimbing dan mendapatkan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembangnya, dikhawatirkan terjadi gangguan terkait kesehatan mental anak dalam masa transisi dari anak menjadi dewasa.
Maka, memahami kesehatan anak remaja di masa transisi dari anak ke dewasa ini sangat penting agar pengalaman hidup yang dialami dan melekat pada diri anak di fase ini baik, aman, dan membahagiakan.
”Karena jika mereka mengalami kekerasan yang berpotensi menimbulkan rasa malu atau tersinggung akibat perlakuan salah dari orang lain, apalagi orang terdekat, maka potensi balas dendam sebagai pembuktian jati diri bisa saja dilakukan,” ujar Bintang Darmawati, Sabtu (25/2/2023).
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Apituley, menegaskan, kasus penganiayaan Mario terhadap David, yang juga melibatkan anak A, menunjukkan bahwa dunia anak tidak sesederhana yang kita lihat.
”Ini pekerjaan rumah yang serius bagi kita semua. Kasus kekerasan terhadap anak mestinya membuka mata kita semua, betapa serius, mendalam, dan kompleksnya budaya kekerasan di masyarakat dan khususnya yang melibatkan anak,” ujar Sylvana.
Baca juga : Polisi Terus Dalami Kasus Penganiayaan David
Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dan daya kritis untuk mengenali dengan baik fenomena kekerasan terhadap atau oleh anak agar mampu melihat interseksi faktor usia (anak) dan faktor sosial lain, seperti jender dan kelas sosial.
”Diperlukan kesediaan dan kerendahan hati orang-orang dewasa untuk mengakui bahwa mereka mau tidak mau, diakui atau tidak, berperan dalam meluasnya budaya kekerasan di lingkungan anak-anak,” katanya.
Kasus tersebut juga mengingatkan betapa anak-anak seolah kehilangan empati dan miskin imajinasi tentang budaya damai. Situasi dan kondisi di sekitar anak, baik keluarga, komunitas, maupun sekolah, terutama gaya hidup dan pola asuh orangtua, yang tidak optimal dan jauh dari ideal sangat memengaruhi proses tumbuh kembang anak.
Sebab, kondisi tersebut juga dapat berakibat anak kehilangan kapasitas untuk bertumbuh menjadi manusia dengan nilai-nilai budi pekerti yang luhur. ”Belum lagi pengaruh utama dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan keamanan di mana anak-anak tumbuh kembang,” ujar Sylvana.
Untuk itulah, KPAI berkomitmen mengawasi proses hukum agar berjalan transparan dan akuntabel serta mampu menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, memastikan aparat penegak hukum bekerja profesional dan tetap presisi dalam melaksanakan tugasnya.
KPAI juga mengingatkan agar pemenuhan hak anak atas pemulihan melalui berbagai layanan, seperti layanan medis, bantuan psikososial, dan rehabilitasi/restitusi, harus menjadi perhatian.
Kasus penganiayaan Mario terhadap David hanyalah salah satu dari sekian kasus yang melibatkan anak-anak. Peristiwa ini seharusnya membangunkan semua pihak, baik orangtua, pendidik, tokoh agama, maupun pemerintah, untuk semakin meningkatkan perhatian khusus pada tumbuh kembang anak-anak di Tanah Air. Sebab, merekalah masa depan bangsa Indonesia.