Organisasi Profesi Pertanyakan Urgensi Pembahasan RUU Kesehatan
Sejumlah organisasi profesi di bidang kesehatan menilai pembahasan RUU Kesehatan tidak memiliki urgensi bagi kepentingan masyarakat. Penguatan pada implementasi dari kebijakan yang sudah eksisting lebih dibutuhkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Spanduk bertuliskan penolakan RUU Kesehatan Omnibus Law yang terpasang di mobil komando saat demo menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/11/2022). Demo digelar untuk mendesak anggota DPR mencabut RUU Kesehatan Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di tahun 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi profesi kesehatan mempertanyakan urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang memasuki penyusunan daftar inventarisasi masalah dari pemerintah. Penguatan implementasi aturan yang berlaku dinilai lebih dibutuhkan, terutama isu pendidikan kedokteran.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Ketua Konsil Kedokteran Indonesia periode 2009-2014 Menaldi Rasmin dalam acara ”Mimbar Publik Menyikapi RUU Kesehatan (Omnibus Law)”, di Jakarta, Selasa (28/3/2023), mengatakan, RUU Kesehatan perlu dicermati. Kebijakan yang diatur jangan sampai menghilangkan kesetaraan peran pemerintah, profesi kedokteran, dan masyarakat.
”Dalam kedokteran ada konsep tiga tungku. Pemerintah sebagai fasilitator, profesi sebagai pembuat standar, serta masyarakat sebagai pengguna dan kritisi. Jika peran profesi dan masyarakat dihilangkan, penyangga pelayanan dan pendidikan kedokteran akan roboh,” ujarnya.
Menurut Menaldi, Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang berlaku saat ini sudah baik. Rancangan UU Kesehatan yang baru dikhawatirkan menurunkan mutu dan kuantitas layanan kesehatan di masyarakat. ”(Kebijakan) yang diatur sekarang itu downgrade (menurunkan level), sementara kita di titik ultimate (akhir),” katanya.
(Kebijakan) yang diatur sekarang itu downgrade (menurunkan level), sementara kita sebenarnya sudah di titik ultimate (akhir).
Terkait dengan persoalan kekurangan sumber daya dokter, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Moh Adib Khumaidi menyampaikan, pembukaan fakultas kedokteran secara masif tak akan menyelesaikan masalah itu. Analisis kebutuhan tenaga kesehatan dan tenaga medis harus dilakukan berbasis dengan pendekatan kewilayahan.
IVAN DWI KURNIA PUTRA
Tenaga kesehatan membawa poster saat demo tolak RUU Kesehatan Omnibus Law di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/11/2022). Demo digelar untuk mendesak anggota DPR mencabut RUU Kesehatan Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada tahun 2023. Selain itu, massa aksi juga menuntut menolak adanya kapitalisasi kesehatan karena dianggap mengorbankan hak kesehatan rakyat. Massa aksi juga menolak pelemahan profesi dan penghilangan peran organisasi profesi melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Jika produksi dokter tidak berdasarkan penilaian kebutuhan akan berisiko pada jumlah dokter yang berlebihan dan penumpukan di satu wilayah. Dengan rasio ideal satu dokter untuk 1.000 penduduk, kekurangan dokter di Indonesia tercatat 78.290 dokter.
Adapun produksi dokter di Indonesia rata-rata 12.000 dokter per tahun di 92 fakultas kedokteran. Untuk memenuhi kekurangan tersebut, artinya kebutuhan dokter baru bisa dipenuhi 6-7 tahun mendatang.
”Apabila kita buka moratorium (fakultas kedokteran) sekitar 10 FK, masalah itu akan selesai lebih singkat, hanya tiga tahun. Akan tetapi, yang kita hadapi nanti adalah masalah overload dokter karena produksi dokter akan terus terjadi,” tutur Adib.
Penyusunan peta jalan kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia lebih dibutuhkan dibandingkan dengan undang-undang yang baru. Peningkatan produksi dokter harus tetap dibarengi dengan distribusi yang baik.
KEMENTERIAN KESEHATAN
Draf RUU Kesehatan
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Budi Santoso yang juga Dekan FK Universitas Airlangga mengatakan, Indonesia memiliki Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang mengamanatkan pemberian remunerasi atau honor untuk peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Namun, implementasi dari kebijakan tersebut belum berjalan baik. Itu sebabnya, penguatan pada implementasi lebih diperlukan dibandingkan dengan membuat aturan yang baru.
Hal lain disampaikan oleh Ketua Ikatan Bidan Indonesia Emi Nurjasmi. Undang-Undang Kebidanan menjadi salah satu undang-undang yang akan dihilangkan dengan adanya RUU Omnibus Kesehatan.
”Perjalanan untuk menghasilkan UU Kebidanan perlu waktu hampir 15 tahun. Itu pun atas inisiatif pemerintah. Kami pun baru menata dan menyosialisasikannya. Namun, kenapa sekarang justru dihapuskan?” katanya.