Perjuangan Agnes, sejak Usia 13 Tahun Berdamai dengan Diabetes
”Saya bertahan karena banyak orang yang sayang saya, Tuhan sayang saya. Saya masih punya masa depan, saya yakin ini tidak akan selamanya, dan saya bisa bahagia,” kata Agnes.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
STEPHANUS ARANDITIO
Agnes Elisa Adiningrum, anak remaja 16 tahun pengidap diabetes melitus tipe 1, saat ditemui di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Dia didiagnosis dokter mengidap diabetes sejak usia 13 tahun atau empat tahun lalu.
Setiap hari dia bersyukur bisa kembali terbangun dan beraktivitas bersama teman sebayanya. Sebab, setelah melewati permenungan yang panjang, dia mengartikan penyakit yang diidapnya sebagai ujian untuk terus berbuat baik selama hidup. Dia adalah Agnes Elisa Adiningrum, anak remaja 16 tahun yang selama empat tahun terakhir berjuang untuk berdamai dengan diabetes melitus tipe 1.
Sekilas Agnes dengan potongan rambut pixie-nya tidak tampak seperti orang sakit. Cara berdirinya tegap, langkah kakinya mantap, dan gaya berbicaranya lugas. Menjelang makan siang di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, Kamis (16/3/2023), dia membuka bagian bawah jaketnya lalu menyuntik pena insulin ke perut dengan tangannya sendiri. Setelah 30 menit, Agnes melakukan pemeriksaan gula darah.
Jarum suntik sudah tidak asing lagi bagi Agnes, dalam sehari dia juga menjalani tes gula darah 4-10 kali. Rutinitas itu menyisakan beberapa bekas luka kecil di jemari dan perutnya. Setiap kali tes dia berharap glukometer menunjukkan angka terkontrol di bawah 100 miligram (mg) per desiliter (dl).
”Puji Tuhan hari ini masih terkontrol, tinggal makan siang, pulang dan istirahat,” kata Agnes sambil memegang tisu alkohol yang menutupi bekas luka di jarinya.
Anak kalau banyak makan, banyak minum, banyak kencing, berat badan turun, hal yang dipikirkan pertama adalah diabetes.
Kisah hidup Agnes berubah saat dia divonis dokter mengidap satu dari lima penyakit yang mematikan di Indonesia, diabetes melitus tipe 1, pada 2019. Agnes tidak memiliki riwayat keluarga yang mengidap diabetes. Namun, saat itu dia masih duduk di bangku SMP kelas I yang hobi mengonsumsi bola tapioka atau boba, minuman tinggi gula dan kalori. Boba memang sedang tren saat itu di Indonesia.
”Dulu dia minum boba hampir setiap hari setiap pulang sekolah. Sama sering makan makanan manis, tetapi tidak mau makan sayur. Sekarang begini, kami hanya bisa menerima. Semoga bisa sembuh,” kata Anton, ayahnya.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Pengunjung sebuah mal di Jakarta berbincang sambil menikmati minuman boba, awal Januari 2020. Minuman boba yang menjadi favorit termasuk salah satu minuman berkalori tinggi.
Gejala awal muncul, Agnes menjadi sering buang air ke kamar kecil dan selalu haus. Suatu malam dia merasa mual hingga muntah-muntah. Orangtuanya lantas membawa ke rumah sakit. Namun, dokter di puskesmas hanya mengecek darahnya ke laboratorium, tetapi bukan tes gula darah. Dokter menilai Agnes hanya mengalami gangguan perut, lalu diberi obat dan suplemen.
Sepulang dari puskesmas, kondisi Agnes semakin menjadi. Setelah makan malam dengan menu bebek bakar, remaja yang kini duduk di bangku sekolah menengah kejuruan itu tiba-tiba mengalami sesak napas. Orangtuanya lalu membawanya ke rumah sakit.
Tidak mudah mendapatkan perawatan di rumah sakit kala pandemi Covid-19. Agnes berkeliling Jakarta mencari bantuan, pertama ke Rumah Sakit Tanah Abang di Jakarta Pusat, menuju selatan ke RS Fatmawati, lalu kembali ke pusat di RS Bunda Mulia. Semua menolak karena tempat tidur sudah penuh pasien korona.
”Akhirnya saya diterima di RS Tarakan, langsung masuk IGD. Dokter tanya hasil lab, semua normal. Baru di situ saya disuruh cek gula. Saat itu ketahuan gula darah saya itu tingginya 570 mg/dl. Saya kejang-kejang karena gula terlalu tinggi, mata saya sudah memutih, dipakaikan oksigen. Langsung disuntik insulin satu jam sekali baru tenang,” tuturnya.
Setelah tenang, Agnes dibawa ke ruang rawat inap dan harus dirawat selama tiga pekan. Dokter-dokter silih berganti mencari metode yang tepat untuk merawat Agnes. Hingga satu dokter memutuskan untuk memasang kateter vena sentral (CVC), selang infus untuk pembuluh darah besar di pahanya.
”Dengan CVC itu, badan saya mulai normal, tidak pucat lagi, dan seminggu saya sudah boleh pulang. Untuk kontrol selanjutnya, karena RS Tarakan kurang lengkap, saya dirujuk ke RSAB Harapan Kita ini sampai sekarang,” ucap Agnes.
Tim Teman Diabetes juga menyediakan pengecekan gula darah gratis pada acara peluncuran aplikasi di Jakarta, Agustus 2018.
Sejak saat itu, Agnes berserah. Dia harus menjalani pengobatan diabetes seumur hidup, jarum suntik insulin dan glukometer sudah jadi hal biasa baginya. Dia hanya bisa berharap mukjizat Tuhan nyata.
”Kini saya bergantung kuasa Tuhan saja. Ingat, di dunia ini tidak hanya saya saja yang hidupnya berat, masih banyak orang yang sakitnya lebih berat daripada saya. Saya bertahan karena banyak orang yang sayang saya, Tuhan sayang saya. Saya masih punya masa depan, dan saya yakin ini tidak akan selamanya, saya bisa bahagia,” kata Agnes.
Agnes benar, dia tidak sendirian. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibandingkan 2010. Jumlah kasus diabetes melitus pada anak di Indonesia hingga tahun 2023 mencapai 1.645 jiwa.
Dari kasus tersebut, 46,23 persen merupakan anak usia 10-14 tahun, 31,05 persen anak usia 5-9 tahun, 19 persen usia 0-4 tahun, dan 3 persen anak usia di atas 14 tahun. Kasus diabetes pada anak kebanyakan terjadi bawaan sejak lahir, tetapi kebanyakan orangtua tidak mengetahuinya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Sedunia Aman Bhakti Pulungan mengungkapkan, banyak kesalahan prosedur diagnosis saat mendeteksi diabetes pada anak, seperti yang dialami Agnes. Banyak anak yang mengalami gejala diabetes tidak dites gula darah dan dikira terjangkit penyakit lain.
”Perhatian kita pada diabetes anak masih rendah sekali. Diabetes anak meningkat tinggi lagi. Beberapa dianggap asma atau dianggap usus buntu, sampai dioperasi ternyata diabetes. Jadi, anak kalau banyak makan, banyak minum, banyak kencing, berat badan turun, hal yang dipikirkan pertama adalah diabetes,” kata Aman.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan
Anak dengan diabetes melitus perlu membatasi kalori dengan proporsi 50-55 persen karbohidrat, 15-20 persen protein, dan 30 persen lemak. Kebutuhan kalori bisa dihitung dengan 1.000 kalori ditambah usia (tahun) dikalikan 100. Kalori juga perlu dihitung sesuai dengan berat badan yang ideal.
Jumlah makan juga perlu dibagi 20 persen untuk sarapan, 10 persen untuk camilan pagi, 25 persen makan siang, 10 persen camilan siang, 25 persen makan malam, dan 10 persen camilan malam. Pengaturan makanan pada anak dengan diabetes melitus disarankan sesuai dengan konsultasi dari ahli gizi.
Riset Kesehatan Dasar dari Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan, 47,8 persen responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu. Pada anak usia 3-4 tahun juga ditemukan pola konsumsi makanan manis lebih dari satu kali sehari sebanyak 59,6 persen dan konsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari sebanyak 68,5 persen. Oleh karena itu, Kemenkes menganjurkan asupan gula per hari dibatasi sekitar 50 gram atau empat sendok makan untuk usia dewasa.