Puasa selama 12-13 jam tidak akan mengganggu kesehatan anak dengan diabetes melitus tipe 1. Namun, mereka perlu melakukan beberapa penyesuaian dalam hal diet, penggunaan insulin, dan aktivitas fisik.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak dengan diabetes melitus tipe 1 atau DMT1 diperbolehkan berpuasa selama Ramadhan asalkan kadar gula darahnya terkontrol baik dan tidak memiliki penyakit serius lain. Jika tidak terkontrol dan tetap memaksakan diri berpuasa, mereka berisiko mengalami komplikasi akut.
Kontrol gula darah harus dilakukan secara mandiri dan rutin selama berpuasa dengan alat pengukur gula darah. Pemeriksaan gula darah dapat dilakukan 2-4 kali sehari, yaitu setelah sahur, selama berpuasa, dan setelah berbuka puasa.
Hal tersebut penting untuk menghindari penurunan atau kenaikan kadar gula secara ekstrem. Jika kadar gula darah kurang dari 70 mg/dl (hipoglikemia) atau lebih dari 300 mg/dl (hiperglikemia), dianjurkan untuk membatalkan puasa.
Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Anak Bunda (RSAB) Harapan Kita Jakarta, Endang Triningsih, Kamis (16/3/2023), menjelaskan, anak dengan DMT1 harus menyegerakan berbuka dan sahur paling akhir serta menghidari mengonsumsi makanan secara berlebihan, terlebih gula murni.
Mereka juga harus menjaga asupan cairan 1,5-2 liter untuk modal berpuasa seharian. Jumlah asupan kalorinya harus disesuaikan dengan jumlah kebutuhan sehari-hari dengan komposisi 15-20 persen protein, 60-65 persen karbohidrat, dan 20-25 persen lemak.
”Buka puasa jangan balas dendam. Sebelum buka puasa atau sebelum shalat Maghrib itu snack dan minum dulu, 10 persen dari total kalori. Setelah shalat baru makan lagi 40 persen. Setelah Tarawih snack atau buah lagi 10 persen kalori. Kemudian, saat makan sahur 40 persen kalori,” kata Endang di RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Sementara anak dengan diabetes yang tidak dianjurkan untuk berpuasa adalah mereka yang mengalami hipoglikemia dan komplikasi ketoasidosis diabetik (KAD) dalam tiga bulan terakhir sebelum Ramadhan, memiliki riwayat hipoglikemia yang tidak bergejala secara berulang, serta yang sedang sakit lain, seperti demam, diare, dan muntah-muntah.
Puasa selama 12-13 jam memang tidak akan mengganggu kesehatan anak dengan DMT1. Namun, mereka perlu melakukan beberapa penyesuaian dalam diet, penggunaan insulin, dan aktivitas fisik.
Saat berpuasa, pengidap dapat beraktivitas seperti biasa, tetapi dianjurkan istirahat sejenak setelah Zuhur. Olahraga sebaiknya dilakukan setelah shalat Tarawih dengan tetap memerhatikan asupan kalori dan tanda-tanda hipoglikemia saat sedang berolahraga. Tanda hipoglikemia, antara lain, rasa lemas, berdebar, pandangan kabur, dan keringat dingin.
”Jangan olahraga dua atau tiga jam sebelum buka puasa karena ini jam kritis risiko terjadi hipoglikemia sangat tinggi. Aktivitas fisik yang ringan saja setelah shalat Tarawih boleh bermain bersama teman,” ucapnya.
Jika terjadi hipoglikemia, segera hentikan olahraga dan langsung konsumsi makanan kecil atau minuman yang mengandung gula. Para penyandang DM tipe 1 juga harus segera membatalkan puasanya jika didapatkan gejala hipoglikemia pada siang hari.
Total insulin yang diberikan selama berpuasa harus 70-80 persen dari total dosis harian saat tidak berpuasa. Insulin kerja pendek dan menengah (split-mixed) diberikan dua kali; dua pertiga dosis sebelum berbuka dan sepertiga saat sahur.
Sementara insulin kerja panjang (basal) dan pendek (bolus) juga diberikan dua kali; 80 persen dosis basal saat tidak puasa dan dosis insulin bolus diberikan sesuai kalori makanan. Pengidap dengan pompa insulin: dosis insulin basal diturunkan menjadi 80 persen dosis tidak puasa. Dosis bolus disesuaikan dengan kalori makanan.
Namun, anak dengan DMT1 sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang merawatnya agar bisa diputuskan mampu menjalani puasa Ramadhan atau tidak. Penyesuaian waktu minum obat minum ataupun suntikan tetap memerlukan keputusan dokter.
Jangan olahraga dua atau tiga jam sebelum buka puasa karena ini jam kritis risiko terjadi hipoglikemia sangat tinggi. Aktivitas fisik yang ringan saja. Setelah shalat Tarawih boleh bermain bersama teman.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibanding 2010. Jumlah kasus diabetes melitus pada anak di Indonesia hingga tahun 2023 mencapai 1.645 jiwa.
Dari kasus tersebut, 46,23 persen di antaranya merupakan anak usia 10-14 tahun, 31,05 persen anak usia 5-9 tahun, 19 persen usia 0-4 tahun, dan 3 persen anak usia di atas 14 tahun. Kasus diabetes pada anak kebanyakan terjadi bawaan sejak lahir, tetapi kebanyakan orangtua tidak mengetahuinya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Sedunia Aman Bhakti Pulungan menyoroti banyaknya kesalahan prosedur diagnosis saat deteksi dini diabetes pada anak. Banyak anak yang mengalami gejala diabetes tidak dites gula darah dan dikira terjangkit penyakit lain.
”Perhatian kita pada diabetes anak masih rendah sekali. Diabetes anak meningkat tinggi lagi. Beberapa dianggap asma atau dianggap usus buntu sampai dioperasi ternyata diabetes. Jadi, anak kalau banyak makan, banyak minum, banyak kencing, berat badan turun, hal yang dipikirkan pertama adalah diabetes,” kata Aman.