Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di sejumlah daerah terus terjadi. Karena itu, perlu adanya regulasi untuk memberi jaminan perlindungan hukum bagi mereka.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pekerja rumah tangga menantikan jaminan hukum berupa Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Sudah hampir dua dekade nasib mereka digantung tanpa adanya kepastian hukum. Sebagai bagian dari perjuangan mendapat perlindungan hukum, para pekerja rumah tangga didukung berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi dengan mendirikan tenda di depan gedung parlemen di Jakarta.
Puluhan perempuan berbaju hitam dan merah berkumpul di depan pintu gerbang Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR), Senayan, Jakarta, Sabtu (11/3/2023) siang. Mereka adalah Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang terdiri dari serikat pekerja rumah tangga, aktivis perempuan, berbagai organisasi masyarakat, dan mahasiswa.
Sebagai simbol yang melekat pada pekerjaan PRT, wajan, solet, panci, teflon, dan kemoceng tak luput dari genggaman tangan mereka. Teriknya matahari siang itu memaksa sebagian dari mereka berteduh di bawah naungan payung hitam bertuliskan ”Sahkan RUU PPRT”.
Fanda Puspitasari, koordinator aksi, menyampaikan, dalam rangka mendesak pemerintah untuk mengesahkan Rancangan UU PPRT, Koalisi Sipil UU PRT menggelar aksi bertajuk ”Tenda Perempuan” selama lima hari ke depan hingga Rabu (15/3/2023). Aksi tersebut dilakukan untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah yang sampai saat ini belum memberikan jaminan hukum kepada para PRT.
”Konsepnya aksi tenda. Secara filosofis, tenda ini menjadi lambang penantian para PRT. Di sini, kami menunggu Mbak Puan untuk datang dan berdialog dengan kami,” ujarnya. Pada tenda tersebut turut terpampang spanduk bergambar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani. Selama ini, menurut Fanda, Puan tak pernah datang menyambangi untuk sekadar berdialog dengan perwakilan para PRT.
Sebelumnya, DPR dalam Rapat Pimpinan memutuskan untuk menunda pembahasan mengenai RUU PPRT ke dalam Rapat Badan Musyawarah. Itu berarti RUU PPRT belum dapat dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk kemudian disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. ”DPR RI akan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat dengan memperhatikan situasi yang berkembang saat ini,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/3/2023).
Menurut Fanda, keputusan tersebut sangat mengecewakan para PRT yang selama ini menanti-nantikan pengesahan RUU PPRT tersebut. Adapun usulan mengenai RUU PPRT sudah masuk dalam agenda pembahasan di DPR sejak tahun 2004. ”Sudah hampir 20 tahun tapi RUU ini masih terlunta-lunta dan nasib para PRT ini masih digantung. Harapan kami, DPR punya rasa empati yang tinggi dan memiliki keberpihakan pada para PRT yang notabene adalah wong cilik,” lanjut Fanda.
Kekerasan
Salah satu urgensi pengesahan RUU PPRT ialah agar para PRT memperoleh perlindungan hukum dari kekerasan selama bekerja. Menjelang akhir tahun 2022, seorang PRT disiksa oleh majikan dan PRT lainnya di sebuah apartemen di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Siti Khotimah (23) yang baru bekerja selama enam bulan itu sampai harus dirawat di rumah sakit setelah diperlakukan tak manusiawi.
Supaya PRT itu bisa hidup layak dan punya perlindungan hukum. Adanya perlindungan hukum itu bisa bikin kami merasa nyaman dan tidak merasa waswas lagi saat bekerja.
Sejumlah kasus kekerasan tersebut bermula dari tuduhan bahwa Khotimah mencuri makanan dan pakaian milik majikan. Tak sebanding dengan upah Rp 2 juta yang diterimanya setiap bulan, Khotimah justru diperlakukan sadis mulai dari disiram air panas, disundut puntung rokok, ditendang dan dipukul beramai-ramai, hingga disekap di kandang anjing (Kompas.id, 15/2/2023).
Siti Muslikhah (54), anggota Serikat PRT Sapu Lidi, menceritakan, Khotimah masih dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, setelah mendapatkan rujukan dari RS di Pemalang. Meski luka fisik Khotimah perlahan membaik, Khotimah masih trauma. ”Kondisinya mengenaskan. Banyak temen saya yang enggak tega melihatnya. Sudah sekitar empat bulan dirawat,” ujarnya.
Khotimah adalah satu dari sekian banyak PRT yang mengalami kekerasan. Terhitung sejak tahun 2005 sampai 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, terdapat 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.
Kasus kekerasan PRT yang turut menjadi perhatian publik kala itu dialami oleh Sunarsih (14). Berdasarkan pemberitaan Kompas, Sunarsih yang baru bekerja selama 10 bulan di Surabaya mengalami penyiksaan oleh majikannya hingga berujung maut dengan kondisi yang mengenaskan (Kompas, 6/12/2001).
Oleh sebab itu, Siti yang telah bekerja sebagai PRT selama 30 tahun di Jakarta berharap, dengan adanya RUU PPRT ini kasus-kasus kekerasan yang dialami rekan seprofesinya tidak terjadi lagi. Meski tidak mengalami tindak kekerasan, Siti turut merasakan apa yang dialami oleh rekan-rekannya sehingga perempuan asal Kebumen, Jawa Tengah, itu pun tergerak untuk memperjuangkan hak-hak para PRT.
”Supaya PRT itu bisa hidup layak dan punya perlindungan hukum. Adanya perlindungan hukum itu bisa bikin kami merasa nyaman dan tidak merasa waswas lagi saat bekerja,” lanjut Siti.
Desakan berbagai pihak
Selain para PRT, berbagai pihak turut mendorong penetapan RUU PPRT, mulai dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komnas Perempuan, bahkan Presiden. Presiden Joko Widodo menyampaikan, pemerintah berkomitmen mendorong percepatan penetapan UU PPRT.
”Untuk mempercepat penetapan Undang-Undang PPRT ini saya perintahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Ketenagakerjaan untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan dengan semua stakeholder (para pemangku kepentingan),” ujar Jokowi dalam keterangan resminya, Rabu (18/1/2023).
Menteri PPPA Bintang Puspayoga, dalam keterangan resmi, turut menegaskan, RUU PPRT dapat mengatur pemberi kerja dan penyalur pekerja sehingga dapat memberikan perlindungan kepada para PRT. Tidak hanya melindungi dari kekerasan dan diskriminasi, UU tersebut juga mengatur soal pemberian upah serta jaminan sosial kepada PRT.
Saat ini, perlindungan PRT telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, Menaker Ida Fauziyah mengatakan, perlu ada regulasi yang lebih tinggi dari peraturan tersebut.
Desakan lain datang dari Komnas Perempuan. Dalam siaran pers bertajuk Hari PRT Nasional yang diperingati setiap tanggal 15 Februari, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal, di antaranya mendorong DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT. Lalu, Komnas Perempuan meminta fraksi-fraksi di Badan Legislasi DPR berkomitmen, berpihak, dan berupaya melindungi kelompok rentan, khususnya perempuan PRT, dengan mendukung pengesahan RUU PPRT.