Legislasi RUU Ditunda, PRT Aksi Mendirikan Tenda di Depan DPR
Perjuangan mendapatkan payung hukum perlindungan pekerja rumah tangga kembali terhenti. Meski demikian, para PRT tak berhenti dan terus mengetuk pintu hati pimpinan DPR agar segera mengesahkan undang-undang tersebut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Aktivis membawa poster dalam aksi bersama Komnas HAM saat berlangsung hari bebas kendaraan bermotor di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (12/1/2023). Aksi ini digelar untuk mendukung percepatan pengesahan RUU PPRT yang sudah 19 tahun belum kunjung disahkan DPR. Rancangan UU PPRT ini sudah masuk-keluar daftar Prolegnas DPR sejak 2004 silam.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati kecewa dengan keputusan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang menunda proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, para pekerja rumah tangga dan organisasi pendukung terus bersuara. Mereka meminta Ketua DPR Puan Maharani membuka pintu dialog mengenai RUU tersebut.
Para pekerja rumah tangga bersama Koalisi Sipil untuk UU PPRT juga menyatakan akan melakukan aksi dengan menggelar tenda di depan gerbang Kompleks Parlemen, Senayan, selama tiga hari, mulai Sabtu (11/3/2023) hingga Senin (13/3/2023). Aksi tersebut sebagai tanggapan atas penundaan proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Mutiara Ika, koordinator aksi, pada konferensi pers, Jumat kemarin, menyatakan aksi tersebut untuk mengajak Puan Maharani berdialog dengan para PRT menjelang Rapat Paripurna DPR pada tanggal 14 Maret 2023.
Aspirasi masyarakat untuk pengesahan RUU PPRT tersebut tidak terjeda. Bahkan sejak 19 tahun yang lalu, semenjak RUU PPRT mulai diajukan.
Sehari sebelumnya, Kamis (9/3/2023), Ketua DPR Puan Maharani, dalam keterangan tertulis, menyampaikan soal penundaan proses RUU PPRT. Puan menyatakan RUU tersebut belum dapat dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR karena belum dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus).
Alasannya, berdasarkan mekanisme di DPR, untuk bisa dibawa ke rapat Paripurna, RUU PPRT harus terlebih dahulu dibahas dalam rapat Bamus dan mendapatkan persetujuan.
Penundaan, menurut Puan, diputuskan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) DPR sekitar 1,5 tahun yang lalu, yakni 21 Agustus 2021. Pada rapim tersebut, pimpinan DPR menyetujui untuk melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu. Saat itu, RUU tersebut dirasa belum tepat untuk diagendakan dalam rapat Bamus dan masih memerlukan pendalaman.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini (depan) berbicara kepada peserta aksi dari komunitas PRT yang memperjuangkan RUU PPRT, Rabu (15/2/2023), di Jakarta.
Mengajak berdialog
Keputusan tersebut mengundang protes dari para PRT dan Koalisi Sipil untuk UU PPRT. Mereka pun menggelar konferensi pers dengan mengusung tema ”Mbak Puan, Berdialoglah Langsung dengan Para PRT.
Beberapa PRT yang pernah mengalami penyiksaan oleh majikan, seperti Sri Siti Marni, Toipah, dan Khotimah, juga ikut bersuara memohon Ketua DPR segera mengagendakan sidang penetapan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR, lalu dilanjutkan ke pembahasan dan pengesahan RUU tersebut menjadi UU.
Toipah mengaku menjadi korban kekerasan pada 2016 di sebuah apartemen di Jakarta dan masih mengalami trauma. ”Kalau malam sering terganggu. Saya mohon orang seperti saya, PRT, dilindungi dan tak ada lagi yang disiksa seperti saya. Mohon DPR sahkan UU PPRT. Semoga kami bisa bertemu dengan Ibu Puan Maharani,” tuturnya.
Hal yang sama diutarakan Sri Siti Marni, korban kekerasan majikan di Jakarta Timur pada tahun 2007-2016 dalam bentuk penyiksaan dan penyekapan. ”Selama sembilan tahun saya mengalami kekerasan, disiram air panas dan lain-lain. Saya meminta DPR dan Ibu Puan agar UU PPRT segera disahkan agar tidak ada lagi korban,” kata Marni.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini meminta Ketua DPR untuk tidak berpikir mundur dengan mempersoalkan rapim yang dulu. Puan menyatakan DPR akan pertimbangkan aspirasi masyarakat.
Lita kembali mengingatkan DPR bahwa beberapa waktu lalu pemerintah pun sudah mendukung RUU PPRT. Bahkan sudah ada pernyataan Presiden Jokowi yang meminta percepatan pembahasan RUU tersebut.
Harapan kepada Ketua DPR juga disampaikan Koordinator Koalisi Sipil untuk UU PPRT Eva K Sundari. Eva berharap Puan selaku pemimpin DPR mau membuka dialog dengan PRT.
Penundaan RUU PPRT juga mendapat tanggapan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menyesalkan keputusan Rapim DPR tersebut. Padahal, usulan payung hukum untuk PRT sudah berjalan hampir dua dekade.
”Mengingat kerentanan pekerja rumah tangga, yang mayoritasnya adalah perempuan, pada kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi, keputusan penundaan ini akan semakin membuat kondisi mereka terpuruk,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan.
Penundaan RUU tersebut juga menjauhkan negara dari pelaksanaan mandat konstitusional untuk memastikan penikmatan hak atas pekerjaan yang layak bagi penghidupan dan kemanusiaan.
”Kondisi keterpurukan ini semestinya dijawab dengan langkah percepatan, apalagi komitmen pemerintah untuk pembahasan telah disampaikan langsung oleh Presiden beberapa waktu lalu,” kata Andy.