Praktik perdagangan orang terus mengancam anak-anak di Tanah Air. Namun, di lapangan, penegakan hukum yang tegas dan upaya pencegahan yang melibatkan semua pihak masih lemah.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan orang merupakan kejahatan extraordinary atau luar biasa yang melanggar harkat dan martabat manusia. Karena itu, pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang harus dilakukan secara komprehensif mulai dari hulu hingga ke hilir. Pencegahan dan penanganan juga harus dilakukan melalui kerja kolaborasi secara terus-menerus antara pemerintah pusat dan daerah dan semua pihak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPTPPO) mengecam keras segala bentuk praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang merupakan pelanggaran terburuk terhadap hak asasi manusia.
Melalui keterangan pers, Jumat (10/3/2023), Menteri PPPA menyatakan, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada Oktober 2022 tercatat 2.356 korban TPPO yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, 50,97 persen adalah anak-anak dan 46,14 persen perempuan.
”Modus operandi yang digunakan sindikat TPPO saat ini paling tinggi adalah melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korbannya,” ujar Bintang Darmawati.
Teknologi memberikan kemudahan dan peluang bagi para pelaku untuk berkomunikasi dengan calon korban, bahkan tanpa harus bertemu langsung secara tatap muka. Karena itulah, kerja semua pihak dalam menemu kenali atau mengidentifikasi modus operandi TPPO menjadi penting.
Untuk mencegah TPPO, Kementerian PPPA terus berkoordinasi dengan Gugus Tugas PPTPPO baik di pusat maupun daerah, dengan dinas pengampu urusan perempuan dan anak serta unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA) di sejumlah daerah di Indonesia.
Adapun bentuk-bentuk penanganannya antara lain pendampingan konsultasi hukum, layanan psikologi, konseling kepada korban maupun orangtua korban, rujukan rehabilitasi kesehatan, serta mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Modus operandi yang digunakan sindikat TPPO saat ini paling tinggi adalah melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korbannya.
Hingga kini, lanjut Bintang Darmawati, sejumlah langkah dilakukan pemerintah. Pada pekan lalu, Jumat (3/3/2023), Kementerian PPPA memulangkan dua perempuan korban TPPO asal Jawa Barat. Keduanya ditemukan petugas imigrasi dan kepolisian sesaat sebelum menyeberang ke Malaysia melalui Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau.
Selain kerja kolaborasi yang berlangsung terus-menerus antara pemerintah pusat dan daerah, agar kasus TPPO tidak berulang, Kementerian PPPA juga terus mendorong pelibatan masyarakat dari berbagai institusi, khususnya yang tergabung dalam Gugus Tugas PPTPPO secara aktif.
Dari sisi regulasi, lanjutnya, pada 22 Februari 2023, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2020-2024.
Harapannya, RAN tersebut menjadi panduan bagi semua anggota Gugus Tugas PPTPPO untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan TPPO.
Menanggapi hasil investigasi Kompas tentang perdagangan anak-anak, Kementerian PPPA pada Jumat pagi langsung menggelar rapat koordinasi teknis bersama pihak terkait. Selain membahas potret perdagangan anak di Indonesia, rapat yang dipimpin Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar itu juga membahas tindak lanjut penanganan kasus-kasus TPPO yang dilaporkan.
Selain itu, penegakan hukum dan pencegahan harus dioptimalkan, salah satunya dengan memperkuat komitmen kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. ”Kementerian PPPA akan mendorong dan merumuskan gerakan bersama dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani (perdagangan) anak,” ujar Nahar.
Pada rakor teknis tersebut hadir juga Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), staf khusus menteri, sejumlah asisten deputi, Unit TPPO Polri dan Polda Metro Jaya, serta kepala UPTD PPPA di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menegaskan, perlu ada komitmen yuridis dan politis dari penyelenggara negara sehingga semua pihak terkait terikat dan sungguh-sungguh menjalankan mandat melindungi anak dan menentang TPPO. Penegakan hukum di area asal, transit, dan tujuan TPPO harus ditingkatkan.
Selain itu, harus terus-menerus dilakukan berbagai upaya pencegahan berkesinambungan di keluarga, dunia pendidikan, dan relasi sosial masyarakat serta media digital untuk menutup rapat tindakan eksploitasi anak dan mengarusutamakan perlindungan anak.
”Dunia usaha juga harus memastikan untuk tidak melibatkan anak dalam berbagai pekerjaan, terutama yang rentan perdagangan orang,” ucap Ai.