Kecerdasan Buatan Tidak Akan Gantikan Peran Tenaga Kesehatan
Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam kedokteran adalah keniscayaan. AI membantu mengurangi subyektivitas dokter sehingga pelayanan terhadap pasien semakin baik. Namun, penggunaan AI tidak akan menggusur peran dokter.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Pandemi Covid-19 mempercepat pemanfaatan kecerdasan buatan di sektor kesehatan. Kecerdasan buatan banyak membantu dokter menapis, mendiagnosis, dan menentukan tata laksana pengobatan pasien. Meski peran kecerdasan buatan dalam kedokteran akan semakin besar di masa depan, peran dokter dan tenaga kesehatan lain tetap tidak akan tergantikan.
Kecerdasan buatan (AI) akan semakin berperan penting membantu kerja dokter dalam menilai gejala atau penyakit pasien secara lebih tepat serta memberikan tata laksana pelayanan kesehatan terbaik melalui kedokteran presisi. Namun, AI tetaplah hanya instrumen yang dirancang manusia, untuk mempermudah manusia, dan memberikan manfaat lebih besar bagi kesejahteraan manusia.
”Fungsi utama AI adalah untuk mengurangi subyektivitas dokter,” kata Ketua Riset Grup Kecerdasan Buatan dan Kesehatan Digital, Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Eric Daniel Tenda, Senin (6/3/2023). Karena itu, peran dokter dan tenaga kesehatan lain tetap diperlukan.
AI adalah salah satu bidang ilmu komputer yang berusaha menciptakan mesin pembelajar dengan tingkat kecerdasan seperti manusia yang bisa berpikir dan bernalar. Pola kerja AI adalah meniru proses pikir manusia ahli. Mesin ini memang belum secanggih seperti gambaran di film-film fiksi ilmiah, tetapi mesin ini sudah mampu menganalisis teks, mengenali ucapan dan wajah, hingga mengklasifikasi gambar.
Tingkat sensitivitas AI akan sangat bergantung pada algoritma yang dibuat dan banyaknya data yang dimasukkan dalam algoritma tersebut. Data tersebut berasal dari rekam medis pasien dan berbagai data kesehatan lain. Semakin banyak kasus atau data yang dimasukkan, sensitivitas AI dalam menilai kondisi atau penyakit pasien akan semakin baik pula.
Guru Besar bidang Ilmu Rekayasa Perangkat Lunak dan Kepala Laboratorium Manajemen Cerdas Infomasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Riyanarto Sarno mengingatkan, kepintaran AI hanyalah sebatas meniru hal-hal rutin yang dilakukan manusia. AI baru mampu memahami makna tekstual atau tersurat, tetapi sulit menentukan makna tersirat atau kontekstual.
Dalam tingkatan kemampuan berpikir, AI baru mampu berpikir pada tahapan mengingat (memorising) sebagai kemampuan berpikir paling dasar, memahami (understanding), dan analisis sederhana. ”Untuk analisis kritis yang kompleks, apalagi berpikir kreatif sebagai kemampuan berpikir tertinggi, AI tidak bisa melakukannya,” katanya.
Kondisi itulah yang memberi harapan bahwa pekerjaan-pekerjaan dengan kemampuan berpikir tinggi akan sulit digantikan AI. Situasi ini juga memberi tantangan apakah manusia mampu berpikir lebih baik, berpikir dalam tingkatan lebih tinggi, dibanding cara berpikir robot yang dibuat oleh manusia lain.
Pengembangan AI untuk kedokteran perlu dilakukan bersama antara dokter, perekayasa, dan para pihak lainnya. Dokter yang terlibat dalam riset harus memahami teknologi, sedangkan perekayasa atau insinyurnya juga harus mendalami ilmu kedokteran.
Di luar kemampuan berpikir, peran dokter tidak akan tergantikan oleh AI karena AI tidak bisa berempati, mendengarkan saksama, memperhatikan perasaan dan kebutuhan pasien, hingga membangun hubungan saling percaya antara dokter dan pasien. Meski teknologi ini berkembang pesat dan memberi banyak solusi masalah manusia, AI belum mampu membangkitkan semangat welas asih dan responsif yang membuat manusia merasa dipahami.
Giovanni Briganti dan Olivier Le Moine di Frontiers in Medicine, 5 Februari 2020, menyebut, kecerdasan buatan sudah diterapkan dalam deteksi penyakit atrial fibrilasi (FA) atau gangguan irama jantung, memprediksi risiko penyakit kardiovaskular, mendeteksi infeksi dan kanker paru, memantau berkelanjutan kadar gula darah, mendeteksi penyakit di ginjal, hingga mendeteksi epilepsi.
Karena tidak akan tergantikan, lanjut Eric, dokter di masa depan justru harus makin melek dan akrab dengan teknologi digital, termasuk AI. Terlebih, Kementerian Kesehatan pun telah mendorong pemanfaatan AI bukan hanya untuk menopang kedokteran presisi, tetapi juga mengatasi sejumlah kendala atau keterbatasan layanan kesehatan.
Di Indonesia, AI yang sudah digunakan, antara lain, Computer-Aided Detection for Tuberculosis (CAD4TB) untuk mendeteksi tuberkulosis menggunakan foto rontgen yang alatnya banyak dimiliki rumah sakit. ”Dengan CAD4TB, di daerah-daerah yang tidak mungkin melakukan pemeriksaan lengkap, seperti pemeriksaan bakteriologis dari sediaan dahak, maka dengan foto rontgen saja sudah bisa menentukan apakah seorang menderita tuberkulosis atau tidak,” kata Eric.
Selain itu, metode serupa juga dikembangkan Eric dan rekan bersama tim dari Delft Imaging, Belanda untuk menapis pasien-pasien yang dicurigai positif Covid-19 menggunakan pencitraan radiologi atau foto rontgen dada. Teknik ini menjadi terobosan untuk mengatasi mahal dan sulitnya tes PCR (polymerase chain reaction) untuk memastikan Covid-19 di awal pandemi tahun 2020.
Pengembangan
Selain mendorong penerimaan tenaga kesehatan, tantangan lain dalam pemanfaatan AI dalam bidang kesehatan di Indonesia adalah pembuatan mesin, instrumen, atau robot cerdas untuk menunjang layanan kedokteran. Selama ini, tambah Riyanarto, peralatan kedokteran berbasis AI di Indonesia masih mengandalkan impor yang mahal meski sejatinya bisa dibuat di dalam negeri.
”Riset dan produksi peralatan kedokteran canggih masih sangat terbatas,” katanya. Kendala persoalan ini masih sama seperti masalah-masalah riset lain di Indoensia, yaitu terbatasnya dana penelitian sehingga riset sulit berkelanjutan. Selain itu, industri masih enggan memproduksinya karena besarnya beban dan risiko yang mereka tanggung dan terbatasnya insentif pemerintah.
Kalaupun ada industri yang mau menghilirisasi hasil riset tersebut, sulit untuk mendapat kepercayaan dari tenaga medis agar mereka mau menggunakan produk dalam negeri. Meski mahal dan memicu ketergantungan, peralatan impor dipilih karena dinilai lebih handal dan teruji.
Karena itu, pengembangan AI untuk kedokteran perlu dilakukan bersama antara dokter, perekayasa, dan para pihak lainnya. Dokter yang terlibat dalam riset harus memahami teknologi, sedangkan perekayasa atau insinyurnya juga harus mendalami ilmu kedokteran. Dengan demikian, mesin yang dihasilkan bisa diterima pasar dan memenuhi harapan pengguna, yaitu dokter dan tenaga kesehatan.
Investasi sumber daya manusia juga harus dilakukan, termasuk dengan mendorong periset yang sudah ada untuk terus meningkatkan dan mengembangkan keterampilannya. Aspek peningkatan keterampilan periset ini jarang diperhatikan karena periset dianggap sudah memiliki kemampuan yang memadai. Padahal, sama seperti profesi lain, kemampuan periset juga perlu terus ditingkatkan secara berjenjang.
Dibanding pemanfaatan AI dalam bidang lain, pemanfaatan AI untuk kedokteran memiliki karekater yang berbeda. AI dalam kedokteran membutuhkan sensitivitas yang baik karena menentukan kesehatan dan keselamatan pasien langsung. Untuk itu, diperlukan algoritma yang baik dan data yang sangat besar sehingga mesin yang tercipta memiliki keterampilan yang spesifik.
Karena data berperan besar, maka inisiasi Kementerian Kesehatan untuk membangu Satu Data Kesehatan Nasional akan mempercepat proses dan meningkatkan sensitivitas AI yang dikembangkan. Partisipasi dari fasilitas kesehatan di tingkat dasar akan sangat bermakna sehingga data yang diperoleh tidak hanya banyak, tetapi juga memberikan gambaran tentang penyakit secara lengkap dan beragam.
”Dibanding negara-negara Asia Tenggara lain, Indonesia memiliki peluang lebih besar mengembangkan AI untuk kedokteran karena memiliki data kasus lebih besar,” kata Eric.
Riyanarto menambahkan, meski perekayasa Indonesia memiliki kemampuan dalam membangun AI, kebijakan afirmasi diperlukan hingga perekayasa mampu mengembangkan riset AI secara terus-menerus, tanpa perlu khawatir riset terhenti di tengah jalan karena seretnya pendanaan atau sibuk membuat laporan keuangan. Industri yang mau melakukan hilirisasi juga perlu mendapat insentif dari negara.
”Pengalaman selama pandemi Covid-19 menunjukkan Indonesia sejatinya mampu membuat dan menghilirisasi riset peralatan medis hingga bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat,” katanya. Karena itu, persoalan klasik dalam riset di Indonesia seharusnya bisa segera tertangani, tidak menjadi masalah menahun yang tak terselesaikan meski pemerintahan berganti.
Senyampang negara-negara ASEAN lain juga baru memulai pengembangan AI untuk kedokteran, Indonesia dengan segala potensinya berkesempatan menghasilkan mesin-mesin AI untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, sekaligus meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, mesin AI yang dihasilkan bisa diekspor.
Meski masih banyak celah dalam pemanfaatan AI, seperti soal etika dan hukum, toh, keberadaan AI dalam kedokteran adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, edukasi tenaga kesehatan dan masyarakat tentang AI perlu terus dikuatkan sehingga mampu mendorong pemanfaatan dan pengembangan AI lebih cepat dan lebih sensitif lagi.